Senin, 17 November 2014

“On-Klik” Exhibition


Doni Fitri, M.A. Roziq, dan Iabadiou Piko;  Eksplorasi Teknik Dan Keliaran Ide Yang Memprovokasi
Sekarang ini teknologi fotografi telah berkembang dengan pesat, sehingga semua orang yang memiliki kamera dapat melakukan aktivitas fotografi. Ketika orang – orang melakukan aktivitas tersebut (dengan jenis kamera apapun) yang familiar terdengar adalah suara “klik”, saat tombol Shutter ditekan.
Namun yang menarik dari pameran “On-Klik ini adalah; Perubahan dari suara “klik” menjadi “on-klik”. Suara “klik” merupakan suara yang terdengar saat tombol Shutter ditekan, menandakan bahwa image yang ditangkap lensa telah direkam. Sedangkan “on-klik” sengaja dikemukan sebagai gambaran “peristiwa” sebelum ataupun sesudah tombol shutter ditekan. Dan atau, bagaimana menghadirkan atau menggambarkan proses kreatif seniman yang memilih fotografi sebagai media ungkap atas ide dan gagasan. 
“On-Klik” dapat dilihat sebagai suatu “petanda-relasi” antara seniman dengan media yang digunakan (ketika menciptakan karya seni), dan juga subyek/objek karya seninya. Yaitu hubungan yang bersifat ajeg dan bersumber pada seniman sebagai pemilik ide dan pengambil keputusan. Terutama hubungan yang terkait dengan pemilihan ide, penggunaan teknik dan perlakuan terhadap objek/subyek yang akan dieksplorasi oleh seorang seniman.
Berikutnya adalah perbedaan proses yang dihadirkan oleh masing - masing seniman. Meskipun sama – sama memilih fotografi sebagai media penciptaan karya seni, pada dasarnya setiap seniman memiliki sudut pandang dan selera artisitik yang berbeda, disebabkan oleh perbedaan latar belakang dan pengalaman yang dilalui oleh Iabadiou Piko, MA Roziq dan Doni Fitri.
Bermain – main dengan benda, begitu ucap Doni Fitri ketika berdialog tentang karya seni yang akan ditampilkan dalam pameran ini. Proses bermain tersebut tampak jelas pada subyek/objek karyanya yang terdiri dari rangkaian daging, kapas, dan rambut, walaupun dia tidak membatasi proses kreatifnya pada rangkaian objek – objek tersebut.
Setelah merangkai objek tersebut, permainan berlanjut keteknik foto over exposure yang dia gunakan. Menurut penuturannya, teknik memotret dengan kelebihan cahaya ini sangat menarik, dan dia tidak mengandalkan proses editing yang sering dilakukan oleh orang lain tatkala membuat visual over exposure. Ada tiga komponen dalam mengeksplorasi foto over exposure, yaitu; Diafragma, Kecepatan atau Shutter speed, dan ASA. ASA yang digunakan adalah ASA 100, sedangkan diafragma besar untuk mempersempit ketajaman disesuaikan dengan jauh – dekatnya jarak memotret. Kemudian shutter speed yang normalnya dikisaran 250 sengaja dikurangi menjadi 50 – 60. Selain ketiga hal tersebut, berikutnya adalah penggunaan reflector cahaya. Doni sengaja menggunakan cahaya tunggal (matahari), namun posisi dan penempatan reflector cahaya yang ciamik membuat refleksi cahaya tidak lagi menjadi cahaya pengisi (fill-inlight), tapi menjadi kreasi yang menimbulkan kesan multi light pada objek/subjek karya seninya.
Terlepas dari proses bermain yang dilakukan oleh Doni Fitri di atas, proses kreatif yang dilakukan oleh M.A. Roziq berawal dari pertanyaannya tentang, Apa yang abadi di dunia ini? Setelah melewati proses refleksi diri, pertanyaannya tersebut bermuara pada objek Es, Air membeku yang dapat mencair. Sedangkan pemilihan mainan anak – anak, umpan pancing, dan senjata menjadi konstruksi cerita realitas yang dia temui.   
Ekplorasi tentang es menuntutnya untuk mendalami karakter air dan mesin pendingin (freezer). Roziq menggunakan air matang untuk membuat es yang berwarna jernih, atau air mentah untuk membuat es yang berwarna keruh, dan apabila dia menginginkan es yang berwarna jernih dan keruh dia mengkombinasikan keduanya dengan teknik “pembekuan-berulang”. Sedangkan untuk membentuk komposisi objek yang sesuai dengan keinginannya Roziq menggunakan solder dan hair dryer, baru kemudian dia menggunakan kamera untuk menangkap visual tersebut. Karena sifat dasar es yang mudah mencair, aktivitas memotret tidak membutuhkan waktu lama. Moment dengan waktu singkat inilah yang menjadi tantangan tersendiri baginya. 
Tantangan tersebut belumlah usai, sebab aplikasi teknik cetak dan pemilihan material cetak adalah perihal penting baginya. Selama ini dia pernah menggunakan material kertas, akrilik, kanvas, Stainles,HPL, dan alumunium. Khusus untuk pameran ini Roziq mengolah alumunium komposit  sebagai media cetak. Sedangkan teknik cetak yang diaplikasikan adalah cetak UV Print.
Berbeda dengan Doni Fitri dan M.A. Roziq, Iabadiou Piko dalam pameran ini sengaja mengetengahkan material kanvas dan eksplorasi setereofom sebagai media cetak. Penjelajahannya terhadap material ini dimulai dari ketertarikan terhadap tekstur. Piko menggabungkan tekstur yang dia potret, tekstur yang dibuat (saat pengolahan image/editing), dan memanfaatkan karakter tekstur dari kanvas dan setereofom itu sendiri. Tekstur di sini menjadi kombinasi antara tekstur semu dan tekstur nyata.

Tak lepas dari persoalan tekstur semu dan nyata sebagai metafora “ruang-realitas”, proses kreatif piko merupakan “rekam-jejak” dari ingatannya dikehidupan sehari – hari. Ingatan saat bertemu dengan orang – orang yang “ada” dalam sebuah peristiwa. Perhatian terhadap ruang realitas keberadaanya menjadi pemicu tumbuhnya kreasi diri dalam kekaryaan yang dominan abstrak figurative ini. Dapat dikatakan, bagi Piko ingatan bukan hanya sebagai prasasti pikiran, melainkan fenomena kompleks yang disajikan oleh setiap peristiwa. Tantangan proses kreatifnya berada antara titik kemauan dan kesadaran, mau untuk memperhatikan hal – hal yang terjadi di sekeliling kita secara mendalam, dan sadar akan kemampuan sekaligus keterbatasan kita sebagai individu.
 Karya – karya Piko yang hadir di pameran ini menjadi refleksi dari tumpukan memori pribadinya. Melalui karyanya dia merekonstruksi kembali berbagai ingatan yang dimiliki menggunakan bahasa visual, sebuah peristiwa (lain) yang multi interpretasi. Dan gagasan ini jua lah yang mendasarinya untuk memilih teknik editing “sandwich” dalam mengolah image. Teknik editing “sandwich” yang digunakan Piko adalah penumpukan beberapa image yang bertujuan mengkonstruksi satu image dengan komposisi yang sesuai dengan keinginannya. 
Dibalik segala perbedaan yang memisahkan proses kreatif kekaryaan Iabadiou Piko, MA Roziq dan Doni Fitri, pameran “On-Klik” ini seperti menyatakan sebuah kesamaan, bahwa “Klik” pertama dari profesi mereka sebagai seorang seniman adalah; “daya jelajah”, proses kreatif yang lahir dari hubungan timbal balik antara eksplorasi teknik dan keliaran ide yang dapat memprovokasi persepsi dan imajinasi kita.
Bayu W

Pengantar; Proyek Seni Tentang Hutan


Tentu kita akan membayangkan hijaunya pepohonan dan udara yang segar saat kata “Hutan” dikemukakan. Secara umum Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi oleh pepohonan dan beraneka tumbuhan lainnya. Berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink) dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting. 

Sebagai suatu ekosistem hutan menyimpan beragam sumberdaya alam, dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebab hutan berperan sebagai penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berbagai flora dan fauna. Dan yang lebih utama, peran hutan adalah penyeimbang lingkungan, seperti mencegah timbulnya pemanasan global yang dekade terakhir ini telah menjadi persoalan kita bersama.

Tak dapat dipungkiri, saat ini di seluruh dunia, hutan-hutan sedang dalam krisis akibat meningkatnya pola produksi dan kurang apiknya pengelolaan hutan. Supaya hal demikian tidak semakin parah, tentu menuntut kepedulian kita agar dapat menjaganya, karena “karunia” Indonesia adalah hutan tropis yang paling luas dibanding Negara lainnya. Puluhan juta masyarakat Indonesia mengandalkan hidup dengan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, baik dari mengumpulkan berbagai jenis hasil hutan, mengelola pertanian (tumpangsari) ataupun bekerja pada sektor industri pengolahan kayu. Sekarang ini kita menjadi pusat perhatian dunia, sebab belum mampu melakukan pengelolaan hutan yang dapat mensejahterakan masyarakatnya. Bahkan “Keajaiban ekonomi” Indonesia pada tahun 1980-an dan 1990-an ternyata dapat terwujud dengan menghancurkan lingkungan, termasuk pelanggaran hak dan tradisi mayarakat lokal yang notabene diyakini mampu memelihara keseimbangan hubungan antara manusia dan alamnya.

Namun kondisi dan situasi yang demikian bukanlah alasan untuk saling menyalahkan antar sesama pemangku kepentingan terkait pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Karena pada dasarnya semua manusia memiliki keterhubungan yang mendasar dengan hutan atau lingkungan. Erich Fromm, salah seorang ahli psikologi menggunakan istilah Biophilia untuk mengungkapkan hal tersebut. Biophilia adalah kebutuhan biologis manusia untuk berinteraksi dengan alam, dan atau, respon positif manusia secara genetis dengan alam. Bersandar pada hal tersebut, mungkin inilah saatnya untuk meningkatkan kepedulian kita terhadap kelestarian hutan dan lingkungan. Spirit kepedulian yang dapat kita tuangkan sesuai dengan kemampuan dan tanggung jawab profesi kita masing – masing.

Dengan kacamata personal saya, setidaknya inilah salah satu alasan kenapa Proyek Seni Tentang Hutan ini dilaksanakan. Bagaimana seniman – seniman yang terlibat dalam kegiatan ini dapat merespon fenomena kehidupan yang berkaitan langsung dengan hutan, melalui karya seni.

Terlaksananya kegiatan ini tidak dapat dilepaskan dari berbagai pihak yang telah memberikan support mereka. Atas hal tersebut, saya mewakili GUprod mengucapkan terima kasih yang sedalam – dalamnya, kepada Bapak Kyai Manzhur, Mbak Ani, Jajaran Perangkat Desa dan Masyarakat Desa Ngadisono, Mbak Yayuk, Seniman (Ferial Afif, Fitri DK, DJ Har, Allatief, Isrol, Harlen, Hirosi Mehata, Seppa D), Para Sponsor dan Partnership, dan kepada seluruh teman - teman yang telah membantu terlaksananya program kegiatan “Proyek Seni Tentang Hutan” ini..
Bayu W

Jumat, 15 Agustus 2014

FOREST ART PROJECT

Proyek seni “Tentang Hutan” terinspirasi oleh cerita Dwi Any Marsiyanti mengenai keberhasilan masyarakat Desa Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah mengelola hutan. Pada tahun 2012, Dwi Any Marsiyanti melakukan riset dalam hal jaminan sosioekonomi di desa tersebut. Hasil risetnya yang berjudul “Keberhasilan Gerakan Sosial di Desa Ngadisono, Kecamatan Kaliworo, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia, dalam Pengelolaan Bersama Hutan Negara” selanjutnya dijadikan landasan proyek seni ini.

Proyek seni dengan hastag ForestProject mulai dilaksanakan pada Januari 2014. Para seniman bersama tim kerja #ForestProject tak hanya memahami pengelolaan hutan melalui hasil riset, tetapi juga melakukan proses tinggal di dalam masyarakat Desa Ngadisono selama 3 minggu di bulan Februari 2014 (2 minggu) dan Mei 2014 (1 minggu). Untuk berbagi temuan-temuan dan hal-hal menarik selama proses tinggal di dalam masyarakat atau live in, serta mendapatkan masukan dan kritikan dari publik, diadakanlah diskusi publik pada bulan Juni 2014 di halaman belakang kantor Tribun Jogja, Jl. Jenderal Sudirman No. 52, DI Yogyakarta.
Dari proses live in dan diskusi publik, ada banyak hal yang diperoleh dan dialami para seniman yang kemudian dituangkan menjadi karya-karya seni.  Hal-hal itu tak melulu berkisar hasil riset yang menjadi dasar proyek seni ini, malah berkembang sesuai dengan fokus ketertarikan masing-masing seniman. Proyek seni ini kemudian tak lagi bertutur tentang pengelolaan hutan di Desa Ngadisono, Wonosobo; juga diperkaya dengan tangkapan seniman atas makna filosofis, kehidupan masyarakat desa, keindahan alam, keprihatinan atas lingkungan tanpa melepaskan diri dari landasan proyek seni ini.

Ketujuh seniman yang terlibat; Allatief, DJ Har, Ferial Afiff, Fitri DK, Harlen Kurniawan, Hiroshi Mehata, Isrol Medialegal; menterjemahkan berbagai cerapan mereka dalam wujud lukisan, instalasi, performance art, video art, dan karya-karya grafis. Sebelum karya-karya hasil proyek seni “Tentang Hutan” diapresiasi publik secara luas, terlebih dahulu dipresentasikan pada masyarakat tempat proyek seni berasal di Balai Desa pada tanggal 16 – 17 Agustus 2014. Kegiatan presentasi ini juga menjadi bagian perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia Desa Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah.

Dilengkapi dengan dokumentasi foto, video, dan hasil riset Dwi Any Marsiyanti; karya-karya hasil proyek seni “Tentang Hutan” ini dipajang di Jogja National Museum,  Jl. Prof. Ki. Amri Yahya No. 1, Gampingan, DI Yogyakarta selama 7 hari. Pembukaan pameran berlangsung pada tanggal 23 Agustus 2014, jam 20.00WIB, dengan menampilkan Sisir Tanah yang juga turut serta dalam kegiatan presentasi karya proyek seni di Desa Ngadisono. Di akhir pameran, tanggal 29 Agustus 2014, diselenggarakan diskusi proyek seni pada jam 16.00WIB yang menghadirkan para seniman, Dwi Any Marsiyanti (periset Roromendoet), dan perwakilan warga Desa Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah. Selanjutnya, pameran ini ditutup dengan pertunjukkan musik Sisir Tanah dan wayang oleh Dalang Wahono, sekaligus peluncuran katalog pameran proyek seni ini.


Pameran Seni Rupa Hasil Proyek Seni “Tentang Hutan”

Foto, Grafis, Lukis, Instalasi, Musik, Performance Art, Video Art.

Berdasarkan Hasil Riset "THE IMPACT OF SOCIAL MOVEMENT ON THE SOCIOECONOMIC SECURITY"

Artist :
DJ Har 
Ferial Afif
Hiroshi Mehata 
Harlen Kurniawan
Allatief 
Isrol MediaLegal 
Fitri DK 
Seppa D 

Penulis :
Opee Wardany 

Opening :
Sabtu, 23 Agustus 2014
Pukul 19.00 WIB

Tempat :
JOGJA NATIONAL MUSEUM 
Jl. Prof. Ki Amri Yahya No 01
Yogyakarta indonesia

Dimeriahkan oleh :
Sisir Tanah
Wahono simbah

Diskusi dan Peluncuran Katalog
Jumat, 29 Agustus 2014
Pukul : 16.00 WIB
Jogja National Museum

Pameran Berlangsung :
23 - 29 Agustus 2014

Info :
www.gerimisungu.com
info@gerimisungu.com
gerimisungu@gmail.com
0274 911 7696 (GUprod)
+62 813 9009 4058 (Bayu W)

Support
JogjaNews.com
Jogja National Museum 
Art_Merdeka
Sudut Niaga
Insist Press
Oxen Free
Roromendoet Indonesia
Travelinx

Selasa, 22 Juli 2014

"GasPool RemPoll" Fine Art Exhibition at Lapak36 Yogyakarta


Gas Pol, Rem Pol….!


Candaan ABCDE
Sebelum kita bertanya tentang apa yang akan dibuat dan didapatkan dari sebuah pameran (seni rupa) bersama? Mungkin lebih baik kita bertanya bagaimana sebuah pameran bisa digelar? Latah rasanya kalau hanya menyeragamkan satu cara, buka pendaftaran (open application), seleksi dan kemudian dipamerkan, dan penting kiranya untuk mengedepankan cara lain. Meskipun setiap cara, pola atau metode memiliki kekurangan dan kelebihan masing – masing. 

Cara inilah yang menarik di pameran seni rupa Gas Pol Rem Pol di lapak36 kali ini. Polanya seperti ini, si A datang menemui B, B menghubungi C, C meng-SMS D, lalu D mengontak E, begitu seterusnya hingga 16 orang seniman akhirnya sepakat untuk melakukan pameran bersama.  Ide dan gagasan “Gas Pol Rem Pol” pun lahir dari obrolan yang penuh canda, saling seloroh, ejek – ejekkan dan tunjuk – tunjukkan (candaan ABCDE). Di sela – sela suasana riuh tersebut Danin Jati A melontarkan kata – kata “Gas Pol Rem Pol” ae!, kemudian dilanjutkan oleh tanggapan teman – teman lainnya, opo kae?, maksud e opo?di gas kenceng mung di rem kenceng yo mandek to yo…! Lah koyok ngono wae wes artistic tho, tukas Danin sambil berdiri menirukan gaya pengendara motor yang tubuhnya bergetar dan bergerak berputar akibat di-gas dan di- rem sekaligus. Apik kae..! Apik kae..! tanggapan beberapa kawan diantara derai tawa menyaksikan polahnya tersebut.
Setidaknya ada dua hal yang dapat ditarik dari peristiwa tersebut: Pertama, nilai pertemanan dan persahabatan. Apabila kita lemparkan pada ruang yang lebih lebar, bukankah hal ini yang menjadi pondasi dari keguyupan khas seniman Yogyakarta! Sebab, jenuh rasanya selalu mendengar seniman itu harus seperti ini, seperti itu, harus bisa ini dan bisa seperti itu. “Ruang canda” (bagi saya) adalah ruang yang sesungguhnya mencerminkan kemenjadian diri, karena dia tercipta oleh interaksi/interrelasi-individu yang sederhana, alami, tidak pura – pura dan apa adanya sehingga individu dapat merefleksikan dirinya melalui setiap “candaan” ataupun menanggapi “candaan”. Kedua, di balik spontanitas munculnya ide dan gagasan tentang tajuk pameran ini ada baiknya kita simak apa yang ditulis oleh Danin Jati A (Gambar berikut ini).

Proses Bung…!
Kembali pada pertanyaan di awal,  tentang apa yang akan di buat dan didapatkan dari sebuah pameran (seni rupa) bersama? Secara umum, sebuah pameran bersama tentu merangkai keberagaman ekspresi, proyeksi-nya terllihat dari setiap karya yang diciptakan oleh masing - masing seniman. Secara positif dapat saling melengkapi, berkompetisi dan mengeksplorasi masing – masing gaya ataupun teknik tertentu. Terutama pada proses ini, aktivitas penciptaanya berada pada satu ruang yang sama, termasuk rentang waktu yang telah ditentukan (sebagian besar seniman yang terlibat dalam pameran ini memilih untuk berproses di Lapak36)

Selaras dengan hal tersebut, saya mencoba memaparkanya ke dalam beberapa bagian; Bagian pertama saya sebutkan sebagai proses “Respon alam dengan pola inseminasi”. Kata inseminasi biasa digunakan dalam bidang peternakan untuk pembuahan pada hewan dengan teknik buatan atau memasukkan benih jantan ke rahim indukan betina. Kuncinya terletak pada persepsi tentang rahim (alam) dan tindakkan atau perilaku (proses penciptaan yang dilakukan). Persepsi ini merujuk pada karya dan proses yang dilakukan Bambang Widarsono (Pink Forest), Ronal Efendi (Meluruskan Cakrawala dan Mencari Sinyal), Idi Pangestu (Sinar Desa), Danin Jati A (Turangga Beksa), Aji Yuda Laga (GPMB (Golek Pirang Meter Bung)), dan Putra Eko Prasetyo (Bijak Air).
Berikutnya adalah; Respon Ruang. Memperlakukan ruang tidak sekedar sebagai tempat atau wadah elemen objek, melainkan ruang sebagai konsep visual yang meng-inisiasi ide dan gagasan, rekreasi dimensi yang tidak terjebak pada sudut pandang tunggal atau sempit. Seperti yang dilakukan oleh Merlyna AP dengan karya Kaki Besi, Miftahul Huda (Fragmentasi Tisue), Nur Hananta (Menunggu Kabar I dan II), Rully Rahim (Pohonku Malang), Stefan Sixio (Main Bagus dan After Display).
Berbeda dari dua bagian di atas, karya Drajat Wibowo (Makhluk Tengah Malam), Kartiko Prawiro (Anti Slip), Constantia Rika (Kasih) dan Vani Hidayatur Rahman (DramaTrees#2) melakukan Imajinasi ruang: yaitu mengandaikan ruang tertentu dan memprediksi hal apa yang dapat dilakukan terkait kekaryaan seniman untuk atributif-ruang (atau tujuan lainnya).

Sebelum tulisan ini usai yang menggelitik adalah skema kekaryaan Santi Saned yang berjudul Sould Out. Dia merespon karya sahabat – sahabatnya dengan sebuah pita merah, umumnya sebagai tanda apabila karya tersebut terjual saat pameran. Layaknya sebuah doa yang dihantarkan untuk nilai – nilai kebersamaan, sekaligus peringatan tentang “harga” yang tidak selalu dilihat dengan mata uang.  

Menarik memang! Dibalik keberagaman skema kekaryaan (bersifat personal) dan kekayaan “material-karya seni”, tampak jelas bahwasanya kontelasi spirit yang terkandung dalam pameran ini adalah penekanan terhadap proses kreatif yang bersifat eksperimental. Dan apabila kita melihatnya dari titik yang lain, aktivitas ini memiliki daya untuk mengkritisi hingar bingarnya budaya transaksional yang terjadi dalam dinamika perkembangan seni rupa saat ini. Perkembangan yang apabila tidak bijak saat melihatnya akan membawa seniman pada ambivalensi sikap, minimalnya pada komitmen ideologi yang telah dipilih dan konsistensi. Tentu saya tidak ingin membahas tentang hal tersebut, sebab dari bentangan 23 karya seni oleh 15 orang seniman ini kita sudah dihantarkan pada eksotisme-diri dan seni yang sesungguhnya. Cukup dua patah kata, Proses Bung!.....Spirit Glocalization!
Bayu W

Senin, 14 April 2014

MAMBANGKIK BATANG TARANDAM


Pameran Seni Rupa FORMMISI di Sekretariat Sakato
Menguak potensi diri dan dinamika kelompok dalam membangun Spirit-Kebangkitan


“Mambangkik batang tarandam” secara harfiah dapat diartikan: membangkit batang yang terendam atau terbenam. Dari sini tampak sebagai suatu upaya untuk mengobarkan semangat agar terus maju, dengan tetap berpijak pada kekuatan dan potensi – potensi yang dimiliki, mengolah dan membangkitkanya kembali sehingga nantinya dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Demikianlah, jargon tersebut dipandang sebagai hasrat seseorang atau kelompok untuk mengembalikan kejayaan mereka di masa lalu. Namun pada sisi lainnya, penggunaan kalimat “mambangkik batang tarandam” dapat mencerminkan perasaan imperior, rendah diri, dan nuansa pesimisme karena adanya beban akibat tuntutan terhadap “pengembalian kejayaan masa lalu” yang pernah dialami secara personal maupun kelompok.


Pada awalnya hal – hal yang tertulis pada kalimat terakhir di paragraf di atas menjadi asumsi pribadi saya ketika beberapa kali berdialog dengan Jhoni (Ketua FORMMISI saat ini) dan beberapa orang temannya. Perihal keinginan kelompoknya untuk melakukan sesuatu (sesuai dengan bidang mereka) yang merasa terbebani oleh “masa lalu”: dimana pada waktu yang lampau kelompok mereka (FORMMISI)dapat melakukan berbagai aktivitas seni yang mendapat apresiasi positif dari khalayak, sedangkan diperiode ini mereka belum dapat melakukan sesuatu hal. Namun akhirnya asumsi tersebut terpatahkan setelah lebih lanjut melihat proses mereka mempersiapkan agenda pameran ini. Dan sungguh saya ingin melihatnya pada satu titik “spirit-positif” dari pemaknaan terhadap “mambangkik batang tarandam”- Menguak potensi diri dalam dinamika kelompok (Forum, komunitas ataupun istilah lain yang memiliki kesamaan pengertian).


Karena berasal dari masyarakat Minangkabau, makna “mambangkik batang tarandam”  secara simbolik dapat dilihat dari proses membangun Rumah Gadang (rumah adat Minangkabau) seperti berikut : “Batang” adalah kayu (pohon) pilihan yang diambil dari hutan secara gotong royong. Kayu yang dipilih merupakan kualitas terbaik, tidak ditebang pada saat pohon  berbunga, pohon tersebut harus cukup usia dan benar - benar sudah tua. Setelah itu, kayu tersebut terlebih dahulu direndam dengan air mengalir untuk menghilangkan getah kayu, kemudian direndam dengan lunau (air yang bercampur lumpur) di sawah atau di kolam yang airnya mengalir dengan tenang. Proses perendaman ini bisa berlangsung bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun, dengan begitu kayu terbebas dari serangan jamur, bakteri kayu dan juga serangga sehingga didapatkan batang kayu yang sempurna. Selanjutnya adalah kegiatan untuk menggunakan kayu tersebut dengan mengangkatnya dari kolam atau tempat perendaman (menjadi kata dasar mambangkik) untuk digunakan sebagai bahan pokok bangunan Rumah Gadang. Singkat cerita tonggak rumah siap ditegakkan, dinding, lantai dibangun dari papan hasil olahan kayu tersebut, begitupun dengan talang atok (kayu konstruksi penyangga atap), kusen dan berbagai elemen bangunan lainnya dari Rumah Gadang yang dibangun berdasarkan kesempurnaan batang kayu.

Secara umum Rumah Gadang berfungsi sebagai tempat tinggal yang ukuran dan jumlah ruangnya tergantung dari banyaknya penghuni, dan biasanya terbilang ganjil, seperti tujuh ruang, sembilan ataupun lebih. Fungsi penting Rumah Gadang adalah sebagai “pusat kegiatan” adat dan tempat mufakat yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, seperti: Kelahiran, kematian, perkawinan, dan acara - acara kebesaran lainnya, termasuk tempat penyelesaian konflik. Dari sini sebenarnya kita telah diwajantahkan terhadap kehidupan sosial yang seutuhnya, dimana kepentingan bersama (umum) lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi

Menilik kepentingan bersama Forum Komunikasi Mahasiswa Minang Institute Seni Yogyakarta dalam agenda pameran ini tentu berdasarkan pada tiga faktor: kebutuhan, tujuan kelompok dan potensi anggota kelompok. Kebutuhan kelompok adalah kebutuhan yang dirasakan oleh sekelompok orang secara bersamaan. Tujuan kelompok dapat diartikan sebagai gambaran yang diharapkan anggota, dan akan dicapai secara kelompok. Maka dari itu tujuan kelompok harus jelas, diketahui oleh seluruh anggota kelompok, dan untuk meraihnya; diperlukan aktivitas bersama oleh para anggota dengan mengkesampingkan kepentingan – kepentingan individu.

Sedangkan potensi diri individu dalam kelompok ini (FORMMISI) dapat kita saksikan secara bersama – sama pada setiap karya dalam pameran yang bertajuk “Mambangkik Batang Tarandam”. “Batang” ibarat potensi diri yang apabila diaplikasikan ke “Rumah Gadang” dapat menjadi tonggak, dinding, lantai, talang atok (kayu konstruksi penyangga atap), kusen dan berbagai elemen bangunan lainnya untuk menjadi satu kesatuan yang utuh.


Harapan inilah yang menjadi cikal bakal “spirit-kebangkitan” seperti yang diucapkan Ega Budaya (saat berdiskusi dengan beberapa anggota FORMMISI, Selasa 02 April 2014 di Sewon) “Pameran ini bertemakan “Mambangkik Batang Tarandam” berasal dari filosofi minangkabau. Batang tarandam mempunyai pengertian sebagai potensi yang ada tapi belum bangkit. Mungkin filosofi ini bisa menggambarkan semangat baru dari FORMMISI YK (Forum Mahasiswa Minang Institut Seni Indonesia Yogyakarta) . Oleh karena itu kami dari FORMMISI YK ingin kembali membangkitkan spirit serta potensi yang ada dari para anggota untuk di tunjukkan melalui acara pameran seni  rupa”.

Terlepas dari perihal di atas. Apabila kita hantarkan pada dimensi yang lebih luas sebenarnya “Mambangkik Batang Tarandam” adalah: tentang cara, tanggung jawab dan kemauan untuk merubah diri dan kelompok untuk menjadi yang lebih baik. Ataupun kita dapat mengadopsi spirit ini kala menyadari bahwa perubahan – perubahan dalam tatanan masyarakat kita yang telah tergerus oleh api Globalisasi dan Modernitas. Tentu dengan kembali menumbuhkan rasa bangga terhadap berbagai potensi lokalitas masyarakat Nusantara. Setidaknya ini Apresiasi pribadi yang dapat saya berikan pada Pameran Seni Rupa “Mambangkik Batang Tarandam” FORMMISI ini, dan semoga publik dapat mengapresiasinya dengan lebih….. Spirit Glocalization…!
Bayu W