Bangunjiwo dan Bangun-Jiwo
Pada gelaran aktivitas pertama
ini Bangun-Jiwo menjadi tema pilihan untuk membingkai “Ruang“ (berkaitan dengan
lokasi Lapak36 di daerah Kelurahan Bangunjiwo) dan proses kesenian (seni rupa) yang
dilakukan oleh 15 orang seniman di Lapak36. Bangun-Jiwo diambil dari kata
Bangunjiwo; nama Kelurahan yang menandai suatu keluasan wilayah yang diatur
oleh sistem pemerintahan desa.
Berdirinya Kelurahan Bangunjiwo diawali
oleh penyatuan 4 kalurahan yaitu; Kalurahan Paitan, Kalurahan Sribitan,
Kalurahan Kasongan dan Kalurahan Bangen pada 6 Desember 1946. Nama Bangunjiwo
sendiri lahir dari usulan lurah terpilih kala itu, Sastro Sukarno. Luasan wilayahnya
1.543,4320Ha yang terbagi dalam 19 pedukuhan dan pada tahun 2012 tercatat
dihuni oleh 26.890 jiwa.
Kelurahan Bangunjiwo juga memiliki beberapa peninggalan sejarah,
monumen dan petilasan seperti; Sendang Banyutemumpang yang di dalam buku besar
200 tahun Yogyakarta disebutkan bahwa Sultan Hamengku Buwono II pernah
membangun pensanggrahan yang bernama Banyu Tumpang, dan tercatat di Balai
Purbakala Provinsi DIY sebagai peninggalan purbakala. Berikutnya adalah Goa
Wurung yang menjadi tempat persembunyian Pangeran Diponegoro saat melawan
penjajah Belanda sebelum bersembunyi di Goa Selarong. Kemudian Monumen Bibis,
situs sejarah yang dikenal sebagai tempat perencanaan dan strategi serangan
umum 1 Maret 1949. Lalu Monumen Apsari, merupakan monumen Keluarga Berencana berbentuk
Joglo tradisional Jawa yang dibangun oleh BKKBN dan diresmikan oleh Sri Paku
Alam VIII, 13 Oktober 1986. Selanjutnya, selain Kawasan Wisata Kajigelem yang
dibangun demi mengangkat potensi kerajinan Bangunjiwo, Sendang Sekatul, Sendang
Semanggi, Sendang Pangkah, Kedung Pengilon memiliki berbagai mitos yang
berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat Bangunjiwo[1].
Lalu pertanyaannya, bagaimana
Bangun-Jiwo dalam konteks Pameran Seni Rupa di Lapak36?
Jiwa atau psyche
dalam bahasa Yunani memiliki tiga pengartian kata dalam bahasa Inggris yaitu; soul,
mind, spirit. Yang menarik adalah pengertian Jiwa
atau Jiva dari bahasa
sanskerta yang berarti “benih kehidupan”. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
jiwa memiliki arti roh
manusia atau seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan,
pikiran, angan-angan, dan sebagainya)
Sedangkan untuk menjawab pertanyaan
di atas, saya ingin memaparkan sebuah cerita pewayangan yang berjudul “Semar
mbangun Kahyangan atau Imaya (Semar) Bangun Jiwa”. Singkatnya begini, kala itu di
Kerajaan Amarta telah kehilangan keutamaannya, sehingga situasinya tidak
tenteram dan bencana pun datang silih berganti. Oleh karena hal tersebut Semar bertekad
mendirikan perguruan di Padepokan Klampisireng. Dewa – dewa dan Bathara
Guru tidak setuju dengan Semar, sebab
Bathara Guru mengira Semar akan membangun kahyangan seperti kahyangan
Jonggringsaloka. Kemudian Bathara Guru menyuruh para Dewa untuk menggagalkannya,
karena Semar tetap kukuh terjadilah perang dan semua Dewa pun dikalahkan oleh
Semar. Akhirnya Bathara Guru mendatangi Padepokan Semar, dia bertanya kenapa
Semar mau membangun Kahyangan? Semar menjawab bahwa diriya tidak sedang membangun
kahyangan seperti kahyangan Jonggringsaloka, dia ingin membangun kahyangan
dirinya sendiri dengan tujuan untuk mengubah sikapnya dengan melawan angkara
murka dan hawa nafsunya, serta melakukan manembah yang kemudian dapat membangun
jiwa-nya. Mendengar jawaban tersebut Bathara Guru meminta maaf dan kembali pulang
ke kahyangan.
Terlepas dari cerita
di atas yang menggambarkan tentang “Bangun-Jiwo” yang tak kalah menarik adalah “respon-ruang” dalam proses
kreatif seniman yang terlibat diproses ini. Sadar maupun tidak disadari kawan –
kawan seniman tidak sekedar memperlakukan ruang sebagai tempat atau wadah
elemen objek, melainkan ruang sebagai konsep visual yang meng-inisiasi ide dan
gagasan, rekreasi dimensi yang tidak terjebak pada sudut pandang tunggal atau
sempit “keutuhan-diri” yang berkaitan dengan soul, mind, spirit,
kreativitas dan lain sebagainya (sedikit, sebagian ataupun seutuhnya).
Sukses selalu untuk Afif AF, Allatief, Arce Priangsari, Arwin
Hidayat, DJ Harianto, Iaubadio Piko, Oel Gustian, Oktaravianus Bakara, Puji
Utomo, M.A. Roziq, Marsoyo, M. Fikri Muaz, Marsoyo, Riri Suheri, Sarah
Kuswarningtias, Seppa Darsono, Tri Pamuji (Pandrong) yang telah menjadi bagian
dari sebuah konstruksi “Bangun-Jiwo” ala
lapak36, sehingga publik dapat
mengapresiasi ke 15 karya seni yang disajikan dalam pameran ini. Spirit
Glocalization…!
Bayu W
[1]
Baca Sejarah dan Profil Desa Bangunjiwo,2012. Tim Penyusun, Pemerintah Desa
Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar