Selasa, 01 April 2014

Pameran Seni Rupa BANGUN-JIWO di Lapak36

Bangunjiwo dan Bangun-Jiwo


 Lapak36 merupakan sebuah “ Ruang ” seni dan budaya. Pengukuhan tersebut menjadi penanda identitas tempat yang berkaitan dengan aktivitas seni dan budaya. Lokasinya berada di atas perbukitan yang menyajikan eksotisme panorama alam, hamparan sawah hingga lanskap kota Yogyakarta yang di belakangnya terdapat jejeran dua gunung; Merapi dan Merbabu. Selain itu, rimbunnya pepohonan melengkapi kesegaran udara tatkala kita berada di tempat ini. Tepatnya tempat ini berada di Pedukuhan Bibis, Kelurahan Bangunjiwo, Kecamaan kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Pada gelaran aktivitas pertama ini Bangun-Jiwo menjadi tema pilihan untuk membingkai “Ruang“ (berkaitan dengan lokasi Lapak36 di daerah Kelurahan Bangunjiwo) dan proses kesenian (seni rupa) yang dilakukan oleh 15 orang seniman di Lapak36. Bangun-Jiwo diambil dari kata Bangunjiwo; nama Kelurahan yang menandai suatu keluasan wilayah yang diatur oleh sistem pemerintahan desa.

Berdirinya Kelurahan Bangunjiwo diawali oleh penyatuan 4 kalurahan yaitu; Kalurahan Paitan, Kalurahan Sribitan, Kalurahan Kasongan dan Kalurahan Bangen pada 6 Desember 1946. Nama Bangunjiwo sendiri lahir dari usulan lurah terpilih kala itu, Sastro Sukarno. Luasan wilayahnya 1.543,4320Ha yang terbagi dalam 19 pedukuhan dan pada tahun 2012 tercatat dihuni oleh 26.890 jiwa. 
Kelurahan Bangunjiwo juga  memiliki beberapa peninggalan sejarah, monumen dan petilasan seperti; Sendang Banyutemumpang yang di dalam buku besar 200 tahun Yogyakarta disebutkan bahwa Sultan Hamengku Buwono II pernah membangun pensanggrahan yang bernama Banyu Tumpang, dan tercatat di Balai Purbakala Provinsi DIY sebagai peninggalan purbakala. Berikutnya adalah Goa Wurung yang menjadi tempat persembunyian Pangeran Diponegoro saat melawan penjajah Belanda sebelum bersembunyi di Goa Selarong. Kemudian Monumen Bibis, situs sejarah yang dikenal sebagai tempat perencanaan dan strategi serangan umum 1 Maret 1949. Lalu Monumen Apsari, merupakan monumen Keluarga Berencana berbentuk Joglo tradisional Jawa yang dibangun oleh BKKBN dan diresmikan oleh Sri Paku Alam VIII, 13 Oktober 1986. Selanjutnya, selain Kawasan Wisata Kajigelem yang dibangun demi mengangkat potensi kerajinan Bangunjiwo, Sendang Sekatul, Sendang Semanggi, Sendang Pangkah, Kedung Pengilon memiliki berbagai mitos yang berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat Bangunjiwo[1].

Lalu pertanyaannya, bagaimana Bangun-Jiwo dalam konteks Pameran Seni Rupa di Lapak36?
Jiwa atau psyche dalam bahasa Yunani memiliki tiga pengartian kata dalam bahasa Inggris yaitu; soul, mind, spirit.  Yang menarik adalah pengertian Jiwa atau Jiva dari bahasa sanskerta yang berarti “benih kehidupan”.  Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jiwa memiliki arti roh manusia atau seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan sebagainya)
Sedangkan untuk menjawab pertanyaan di atas, saya ingin memaparkan sebuah cerita pewayangan yang berjudul “Semar mbangun Kahyangan atau Imaya (Semar) Bangun Jiwa”. Singkatnya begini, kala itu di Kerajaan Amarta telah kehilangan keutamaannya, sehingga situasinya tidak tenteram dan bencana pun datang silih berganti. Oleh karena hal tersebut Semar bertekad mendirikan perguruan di Padepokan Klampisireng. Dewa – dewa dan Bathara Guru  tidak setuju dengan Semar, sebab Bathara Guru mengira Semar akan membangun kahyangan seperti kahyangan Jonggringsaloka. Kemudian Bathara Guru menyuruh para Dewa untuk menggagalkannya, karena Semar tetap kukuh terjadilah perang dan semua Dewa pun dikalahkan oleh Semar. Akhirnya Bathara Guru mendatangi Padepokan Semar, dia bertanya kenapa Semar mau membangun Kahyangan? Semar menjawab bahwa diriya tidak sedang membangun kahyangan seperti kahyangan Jonggringsaloka, dia ingin membangun kahyangan dirinya sendiri dengan tujuan untuk mengubah sikapnya dengan melawan angkara murka dan hawa nafsunya, serta melakukan manembah yang kemudian dapat membangun jiwa-nya. Mendengar jawaban tersebut Bathara Guru meminta maaf dan kembali pulang ke kahyangan.

Terlepas dari cerita di atas yang menggambarkan tentang “Bangun-Jiwo” yang tak kalah menarik adalah “respon-ruang” dalam proses kreatif seniman yang terlibat diproses ini. Sadar maupun tidak disadari kawan – kawan seniman tidak sekedar memperlakukan ruang sebagai tempat atau wadah elemen objek, melainkan ruang sebagai konsep visual yang meng-inisiasi ide dan gagasan, rekreasi dimensi yang tidak terjebak pada sudut pandang tunggal atau sempit “keutuhan-diri” yang berkaitan dengan soul, mind, spirit, kreativitas dan lain sebagainya (sedikit, sebagian ataupun seutuhnya).

Sukses selalu untuk Afif AF, Allatief, Arce Priangsari, Arwin Hidayat, DJ Harianto, Iaubadio Piko, Oel Gustian, Oktaravianus Bakara, Puji Utomo, M.A. Roziq, Marsoyo, M. Fikri Muaz, Marsoyo, Riri Suheri, Sarah Kuswarningtias, Seppa Darsono, Tri Pamuji (Pandrong) yang telah menjadi bagian dari sebuah konstruksi “Bangun-Jiwo” ala lapak36, sehingga publik dapat mengapresiasi ke 15 karya seni yang disajikan dalam pameran ini. Spirit Glocalization…!
Bayu W    



[1] Baca Sejarah dan Profil Desa Bangunjiwo,2012. Tim Penyusun, Pemerintah Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar