Pengantar Kuratorial oleh Mikke Susanto
Inklinasi merupakan sebuah kata yang kerap dipakai
dalam bidang geografi. Hal ini menunjuk pada penyimpangan kedudukan sumbu bumi
terhadap bidang datar dan membentuk bidang ekliptika. Adapun dalam arti lain, “inklinasi” berarti penyimpangan atau sejumlah penyimpangan dari
kebiasaan normal, atau berarti posisi dan kondisi dengan kecenderungan tertentu: tindakan, pikiran, tubuh, dan lain-lain. Kamus Merriam-webster
mengartikulasi “inklinasi” sebagai perasaan ingin melakukan sesuatu, atau seseorang yang memiliki kecenderungan untuk melakukan sesuatu. Kamus Oxford Dictionary mengartikan “inklinasi”
sebagai kecenderungan alami seseorang atau dorongan untuk
bertindak atau merasa dengan cara tertentu. Akan tetapi harus
diingat dalam konteks filosofis, kata ini terkadang
tidak saja memiliki kecenderungan harfiah,
dalam kebanyakan kasus hal
ini juga dalam arti kiasan.
Dipakainya judul di atas
didasari oleh pikiran pematungnya, Jhoni Waldi. Secara tersirat dalam berbagai
perbincangan saya dengannya, ia menyatakan kesenangannya terhadap persoalan
kemanusiaan (yang diwakili oleh tubuh). Ia sering berpikir mengenai persoalan
manusia dan alam lingkungan yang mengitarinya. Ia menandai berbagai peristiwa
yang lebih terkait pada manusia ketika berbagai masalah datang dan berkecamuk
di dalamnya.
Sudah tak terhitung lagi
peristiwa yang mengakar pada persoalan manusia sebagai subjek sekaligus objek.
Dewasa ini masyarakat Indonesia disibukkan oleh peristiwa “perbudakan” gaya
baru (human trafficking) yang
terjadi di pada
sebuah pabrik pembuatan alat rumah tangga di Kampung Bayur Opak RT 03 RW 06,
Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur, Tangerang (4/5/2013). Peristiwa ini menyuguhkan drama mengenai eksploitasi tubuh
manusia tanpa ditopang dengan adab dan etik. Mereka (para laki-laki
pekerja) harus bekerja dari pukul 06.00 WIB sampai tengah malam dengan hanya
diberi dua kali makan, bahkan, mereka tak diberi gaji.
Kasus di atas menjadi salah satu diantara kasus
lain. Hal yang bisa dicontohkan lagi antara lain adalah kasus penggunaan tubuh
perempuan sebagai komoditas ekonomi, wisata, dan industri. Mereka menjadi
subjek sekaligus objek (tontonan). Mereka “dipaksa” oleh keadaan untuk
melakukan gerakan tubuh tertentu, agar mampu dan menjadi menarik perhatian.
Tubuh perempuan ditarik sebagai sebuah “karya seni” pendamping produk (barang
dan jasa) publik. Meskipun tidak sampai melukai tubuh secara fisik mereka,
perlakuan tubuh dalam konteks semacam ini telah melibatkan serangkaian alur
pikir yang kompleks dan bermasalah (setidaknya bagi pelaku).
Jadi dalam hal ini, posisi tubuh (manusia) memang sangat
vital. Penyebabnya adalah karena tubuh (manusia) merupakan ruang perjumpaan
antara individu dan publik, ide dan materi, sakral dan profan, transenden dan
imanen, serta idealisasi dan komodifikasi. Tubuh mampu menjadi ruang ambang
yang berbatas secara fisik, namun “tak berbatas” secara konseptual.
Hal ini sepadan dengan persepsi bahwa tubuh dengan
posisi ambang seperti itu tidak saja disadari sebagai medium bagi merasuknya
pengalaman ke dalam diri, tetapi juga merupakan medium bagi terpancarnya
ekspresi dan aktualisasi diri. Tubuh manusia memungkinkan segalanya terjadi. Bahkan
lewat dan dalam tubuh, pengalaman dan ekspresi terkait secara dialektis.
Intensi kita terhadap tubuh juga tidak bisa
dilepaskan dari persoalan medis. “Bio-medis” atau kadang
disebut “bio-etika” menawarkan medan dimana tubuh memiliki hubungan penting
antara (tata) kehidupan dan ilmu kedokteran. Dalam hal ini etika lebih
sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dari sudut norma dan
nilai-nilai moral.
Masalah ini mewujudkan sebuah
strategi berpikir mengenai tubuh yang merespons--misalnya terhadap obat--sebuah
zat yang seharusnya menjamin hidup dan sehatnya tubuh. Tubuh akhirnya berada di
zona ambang batas yang aneh dan memiliki fungsi medis/biologis. Tidaklah
mengherankan, bila kemudian konsep "etika-tubuh" akhirnya lebih
merujuk pada hubungan dokter dengan pasien/individu beserta konvensi/adat/sistem/undang-undang
yang mengaturnya.
Patung-patung Jhoni Waldi yang tersaji dalam
pameran ini merupakan implementasi atas respon dan kesadaran Jhoni tentang
posisi vital tubuh manusia, baik sebagai medium pengalaman, medium ekspresi,
ekplorasi dan eksploitasi, dan bio-etika itu. Jhoni dengan segala pengalaman
artistiknya mencoba untuk menguatkan konsep tentang situasi dan kondisi serta
perilaku tubuh dimana ia mengalami berbagai persoalan.
Singkatnya, pameran ini ingin
mengartikulasi respons subjek yakni manusia (melalui tubuhnya) untuk mengalami
benturan tata aturan (biologis, konsepsi-konsepsi, konvensi, atau sistem tradisi). Tentu saja
respons atas tata aturan ini akan berdampak pada pikiran, lalu berlanjut pada
aspek fisik manusia. Jadi, pertanyaan yang sekaligus menjadi penanda penting
dalam pameran ini adalah sejauh mana manusia mampu menerima atau menolak tata
aturan tersebut? Akankah ia hanya mampu berlaku sebagai subjek (pelaku) atau
justru sebagai objek (korban)? Sejumlah 17 patung Jhoni Waldi menggambarkan
situasi ini sebagai “inklinasi”.
Dalam proses kreatif teknis, Jhoni mengeksplorasi
sebuah temuan yang khas. Pada sudut bahan, ia menggunakan kayu, alumunium dan
resin sebagai batang tubuh utama yang dipakainya. Sampai pada tataran ini,
teknik yang dipakainya masih tergolong umum. Teknik yang lebih khas adalah
pemakaian lembaran kuningan yang dipergunakan sebagai “kulit” tubuh. Ia
menggunakan teknik tempel dengan lem khusus, satu persatu. Dengan demikian ia
dapat mempermainkan lahirnya sosok-sosok yang unik sesuai dengan narasi yang
hendak dibangunnya.
Dengan teknik menempel lembaran kuningan yang telah
dipotong-potong, ia mengubah tubuh (berbahan mentah berupa kayu dan/atau resin)
menjadi sosok yang berbeda. Sekilas tubuh manusia terkesan mengalami alienasi.
Anatomi yang amat kuat, ditopang dengan “kulit” khusus tersebut, semakin
meyakinkan bahwa persoalan lingkungan amat menentukan konsepsi atau cara pikir
Jhoni. Dalam hal ini, saya meresepsi sebuah upaya, bahwa “kulit” tubuh pada
sebagian patung-patung Jhoni adalah sebuah “catatan kelam” mengenai hilangnya
rasa dan jiwa manusia.
Karya paling ikonik dalam pameran ini berjudul Hilang Akal Sehat (kayu Jati dan logam,
2013). Karya ini berujud berupa 5 potongan kepala yang diinjak oleh kaki, dan
diletakkan pada pustek. Kelima kepala tersebut sudah tak tampak lagi bagian
otaknya, karena telah “di/terpotong”. Lalu ada kaki yang menginjak muka, kepala
bagian belakang, tengah dan depan. Satu lagi, tampak sebuah kaki menekannya
dengan tenaga ekstra.
Kepala-kepala tanpa otak ini, bagi saya adalah
manusia yang terserang oleh kompleksitas hidup. Adapun kaki-kaki (logam) adalah
perumpamaan mengenai situasi yang menekan dan melahirkan kompleksitas. Apa yang
diharapkan dari situasi semacam ini. Muka mereka tak tergambar lagi, apakah
tengah bergembira atau bersedih ria, suka atau duka, bugar atau lelah? Semua memungkinkan.
Jangan-jangan, inilah wujud manusia hari ini yang ditimpa terlalu banyak
kompleksitas: tanpa ekspresi dan artikulasi.
Adapun karya Tergoda
(kayu Jati & lebaran kuningan,73x30x30cm) adalah suguhan yang
mengimplementasi perihal penggunaan tubuh (perempuan) sebagai komoditas
ekonomi, wisata, dan industri. Karya yang bertarikh 2011 ini selain memberi pemahaman
mengenai sosok yang dianggap sebagai simbol kecantikan (baru), juga
menceritakan tentang upaya manusia yang telah mengalami alienasi terhadap
perkembangan zaman (teknologi, kecantikan, atau bidang lainnya).
Karya Minuman
Untuk Penguasa (alumunium, kayu jati dan gelas,190cm x 60cm x 20 cm, 2013)
adalah sesosok yang menyimbolkan gestur yang mengalami benturan etika dan
konvensi. Karya ini seakan-akan bertugas untuk menyajikan sikap kritis kita terhadap
penguasa yang dianggapnya sebagai musuh atau orang yang memperlakukan manusia
tidak pada umumnya. Sebuah tugas berat
bila sebuah sindiran dan kritik harus dilakukan dengan menggunakan gestur tubuh
semacam ini. Sungguh!
Maka pada saat manusia terbentur dan mengalami
pergeseran peran dan makna, apa yang bisa diperbuat? Melawan, mengadaptasi atau
mengimplementasi perubahan? Sebuah karya yang bertajuk Bertahan (kayu jati dan logam, 75x25x25, 2013) adalah salah satu
jawabannya. Karya ini memvisualisasikan seseorang tengah bersikap seperti
seorang petinju yang siap bertarung. Dengan tubuh yang atletis ia tetap
melakukan simbolisasi gesture “siap-sedia”, meskipun ia tak memiliki otak lagi.
Inilah keindahan sejumlah karya yang dilahirkan
karena sikap-sikap kritis terhadap perubahan dan alienasi manusia. Bertahan dan
melakukan sesuatu, adalah sebuah harapan untuk mendapatkan kesempatan untuk
bertahan. Persoalan kita akan menang atau kalah, mampu atau musnah, berhasil
atau gagal, merdeka atau mati adalah persoalan berikutnya. Sekali lagi, yang
penting dan harus disadari terlebih dulu adalah adanya sikap untuk “melakukan
sesuatu”, meskipun seperti tanpa daya. Inilah makna penting melakukan “inklinasi”
itu. Selamat mengapresiasi. +++
Postingan yang bermanfaat dan keren..
BalasHapus