Selasa, 24 Desember 2013

"Inklinasi Tubuh" Patung-Patung Joni Waldi




Pengantar Kuratorial oleh Mikke Susanto


Inklinasi merupakan sebuah kata yang kerap dipakai dalam bidang geografi. Hal ini menunjuk pada penyimpangan kedudukan sumbu bumi terhadap bidang datar dan membentuk bidang ekliptika. Adapun dalam arti lain, “inklinasi” berarti penyimpangan atau sejumlah penyimpangan dari kebiasaan normal, atau berarti posisi dan kondisi dengan kecenderungan tertentu: tindakan, pikiran, tubuh, dan lain-lain. Kamus Merriam-webster mengartikulasi “inklinasi” sebagai perasaan ingin melakukan sesuatu, atau seseorang yang memiliki kecenderungan untuk melakukan sesuatu. Kamus Oxford Dictionary mengartikan “inklinasi” sebagai kecenderungan alami seseorang atau dorongan untuk bertindak atau merasa dengan cara tertentu. Akan tetapi harus diingat dalam konteks filosofis, kata ini terkadang tidak saja memiliki kecenderungan harfiah, dalam kebanyakan kasus hal ini juga dalam arti kiasan.
Dipakainya judul di atas didasari oleh pikiran pematungnya, Jhoni Waldi. Secara tersirat dalam berbagai perbincangan saya dengannya, ia menyatakan kesenangannya terhadap persoalan kemanusiaan (yang diwakili oleh tubuh). Ia sering berpikir mengenai persoalan manusia dan alam lingkungan yang mengitarinya. Ia menandai berbagai peristiwa yang lebih terkait pada manusia ketika berbagai masalah datang dan berkecamuk di dalamnya.
Sudah tak terhitung lagi peristiwa yang mengakar pada persoalan manusia sebagai subjek sekaligus objek. Dewasa ini masyarakat Indonesia disibukkan oleh peristiwa “perbudakan” gaya baru (human trafficking) yang terjadi di pada sebuah pabrik pembuatan alat rumah tangga di Kampung Bayur Opak RT 03 RW 06, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur, Tangerang (4/5/2013). Peristiwa ini menyuguhkan drama mengenai eksploitasi tubuh manusia tanpa ditopang dengan adab dan etik. Mereka (para laki-laki pekerja) harus bekerja dari pukul 06.00 WIB sampai tengah malam dengan hanya diberi dua kali makan, bahkan, mereka tak diberi gaji.
Kasus di atas menjadi salah satu diantara kasus lain. Hal yang bisa dicontohkan lagi antara lain adalah kasus penggunaan tubuh perempuan sebagai komoditas ekonomi, wisata, dan industri. Mereka menjadi subjek sekaligus objek (tontonan). Mereka “dipaksa” oleh keadaan untuk melakukan gerakan tubuh tertentu, agar mampu dan menjadi menarik perhatian. Tubuh perempuan ditarik sebagai sebuah “karya seni” pendamping produk (barang dan jasa) publik. Meskipun tidak sampai melukai tubuh secara fisik mereka, perlakuan tubuh dalam konteks semacam ini telah melibatkan serangkaian alur pikir yang kompleks dan bermasalah (setidaknya bagi pelaku).
Jadi dalam hal ini, posisi tubuh (manusia) memang sangat vital. Penyebabnya adalah karena tubuh (manusia) merupakan ruang perjumpaan antara individu dan publik, ide dan materi, sakral dan profan, transenden dan imanen, serta idealisasi dan komodifikasi. Tubuh mampu menjadi ruang ambang yang berbatas secara fisik, namun “tak berbatas” secara konseptual.
Hal ini sepadan dengan persepsi bahwa tubuh dengan posisi ambang seperti itu tidak saja disadari sebagai medium bagi merasuknya pengalaman ke dalam diri, tetapi juga merupakan medium bagi terpancarnya ekspresi dan aktualisasi diri. Tubuh manusia memungkinkan segalanya terjadi. Bahkan lewat dan dalam tubuh, pengalaman dan ekspresi terkait secara dialektis.

Intensi kita terhadap tubuh juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan medis. “Bio-medis” atau kadang disebut “bio-etika” menawarkan medan dimana tubuh memiliki hubungan penting antara (tata) kehidupan dan ilmu kedokteran. Dalam hal ini etika lebih sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dari sudut norma dan nilai-nilai moral.
Masalah ini mewujudkan sebuah strategi berpikir mengenai tubuh yang merespons--misalnya terhadap obat--sebuah zat yang seharusnya menjamin hidup dan sehatnya tubuh. Tubuh akhirnya berada di zona ambang batas yang aneh dan memiliki fungsi medis/biologis. Tidaklah mengherankan, bila kemudian konsep "etika-tubuh" akhirnya lebih merujuk pada hubungan dokter dengan pasien/individu beserta konvensi/adat/sistem/undang-undang yang mengaturnya.
Patung-patung Jhoni Waldi yang tersaji dalam pameran ini merupakan implementasi atas respon dan kesadaran Jhoni tentang posisi vital tubuh manusia, baik sebagai medium pengalaman, medium ekspresi, ekplorasi dan eksploitasi, dan bio-etika itu. Jhoni dengan segala pengalaman artistiknya mencoba untuk menguatkan konsep tentang situasi dan kondisi serta perilaku tubuh dimana ia mengalami berbagai persoalan.
Singkatnya, pameran ini ingin mengartikulasi respons subjek yakni manusia (melalui tubuhnya) untuk mengalami benturan tata aturan (biologis, konsepsi-konsepsi,  konvensi, atau sistem tradisi). Tentu saja respons atas tata aturan ini akan berdampak pada pikiran, lalu berlanjut pada aspek fisik manusia. Jadi, pertanyaan yang sekaligus menjadi penanda penting dalam pameran ini adalah sejauh mana manusia mampu menerima atau menolak tata aturan tersebut? Akankah ia hanya mampu berlaku sebagai subjek (pelaku) atau justru sebagai objek (korban)? Sejumlah 17 patung Jhoni Waldi menggambarkan situasi ini sebagai “inklinasi”.
Dalam proses kreatif teknis, Jhoni mengeksplorasi sebuah temuan yang khas. Pada sudut bahan, ia menggunakan kayu, alumunium dan resin sebagai batang tubuh utama yang dipakainya. Sampai pada tataran ini, teknik yang dipakainya masih tergolong umum. Teknik yang lebih khas adalah pemakaian lembaran kuningan yang dipergunakan sebagai “kulit” tubuh. Ia menggunakan teknik tempel dengan lem khusus, satu persatu. Dengan demikian ia dapat mempermainkan lahirnya sosok-sosok yang unik sesuai dengan narasi yang hendak dibangunnya.
Dengan teknik menempel lembaran kuningan yang telah dipotong-potong, ia mengubah tubuh (berbahan mentah berupa kayu dan/atau resin) menjadi sosok yang berbeda. Sekilas tubuh manusia terkesan mengalami alienasi. Anatomi yang amat kuat, ditopang dengan “kulit” khusus tersebut, semakin meyakinkan bahwa persoalan lingkungan amat menentukan konsepsi atau cara pikir Jhoni. Dalam hal ini, saya meresepsi sebuah upaya, bahwa “kulit” tubuh pada sebagian patung-patung Jhoni adalah sebuah “catatan kelam” mengenai hilangnya rasa dan jiwa manusia.
Karya paling ikonik dalam pameran ini berjudul Hilang Akal Sehat (kayu Jati dan logam, 2013). Karya ini berujud berupa 5 potongan kepala yang diinjak oleh kaki, dan diletakkan pada pustek. Kelima kepala tersebut sudah tak tampak lagi bagian otaknya, karena telah “di/terpotong”. Lalu ada kaki yang menginjak muka, kepala bagian belakang, tengah dan depan. Satu lagi, tampak sebuah kaki menekannya dengan tenaga ekstra.
Kepala-kepala tanpa otak ini, bagi saya adalah manusia yang terserang oleh kompleksitas hidup. Adapun kaki-kaki (logam) adalah perumpamaan mengenai situasi yang menekan dan melahirkan kompleksitas. Apa yang diharapkan dari situasi semacam ini. Muka mereka tak tergambar lagi, apakah tengah bergembira atau bersedih ria, suka atau duka, bugar atau lelah? Semua memungkinkan. Jangan-jangan, inilah wujud manusia hari ini yang ditimpa terlalu banyak kompleksitas: tanpa ekspresi dan artikulasi.

Adapun karya Tergoda (kayu Jati & lebaran kuningan,73x30x30cm) adalah suguhan yang mengimplementasi perihal penggunaan tubuh (perempuan) sebagai komoditas ekonomi, wisata, dan industri. Karya yang bertarikh 2011 ini selain memberi pemahaman mengenai sosok yang dianggap sebagai simbol kecantikan (baru), juga menceritakan tentang upaya manusia yang telah mengalami alienasi terhadap perkembangan zaman (teknologi, kecantikan, atau bidang lainnya).
Karya Minuman Untuk Penguasa (alumunium, kayu jati dan gelas,190cm x 60cm x 20 cm, 2013) adalah sesosok yang menyimbolkan gestur yang mengalami benturan etika dan konvensi. Karya ini seakan-akan bertugas untuk menyajikan sikap kritis kita terhadap penguasa yang dianggapnya sebagai musuh atau orang yang memperlakukan manusia tidak pada umumnya.  Sebuah tugas berat bila sebuah sindiran dan kritik harus dilakukan dengan menggunakan gestur tubuh semacam ini. Sungguh!
Maka pada saat manusia terbentur dan mengalami pergeseran peran dan makna, apa yang bisa diperbuat? Melawan, mengadaptasi atau mengimplementasi perubahan? Sebuah karya yang bertajuk Bertahan (kayu jati dan logam, 75x25x25, 2013) adalah salah satu jawabannya. Karya ini memvisualisasikan seseorang tengah bersikap seperti seorang petinju yang siap bertarung. Dengan tubuh yang atletis ia tetap melakukan simbolisasi gesture “siap-sedia”, meskipun ia tak memiliki otak lagi.

Inilah keindahan sejumlah karya yang dilahirkan karena sikap-sikap kritis terhadap perubahan dan alienasi manusia. Bertahan dan melakukan sesuatu, adalah sebuah harapan untuk mendapatkan kesempatan untuk bertahan. Persoalan kita akan menang atau kalah, mampu atau musnah, berhasil atau gagal, merdeka atau mati adalah persoalan berikutnya. Sekali lagi, yang penting dan harus disadari terlebih dulu adalah adanya sikap untuk “melakukan sesuatu”, meskipun seperti tanpa daya. Inilah makna penting melakukan “inklinasi” itu. Selamat mengapresiasi. +++


1 komentar: