Senin, 07 Oktober 2013

Cerita-Ku Solo Exhibition by Ambarwati Sri Lestari


Pilihan; Memaknai Kembali sang-Peristiwa
Dia adalah prototype dari seorang seniman yang melemparkan dirinya ke arena seni, dan mengabdikan talent-nya kepada suatu ideal yang tinggi untuk berjuang mati – matian.

Kalimat tersebut ditulis oleh Sudjojono, menggambarkan kekagumannya terhadap Vincent Van Gogh yang dimuat dalam kumpulan karangannya Seni Loekis, Kesenian, dan Seniman terbitan 1946[1]. Beberapa fragmen yang menarik dikehidupan Van Gogh seperti; menjadi misionaris dan menjalani hidup bersama buruh tambang di Borinage (Belgia), hubungan dengan adiknya Theo, penyakit - penyakit yang dideritanya, kisah cintanya dengan Sien[2], dan akhir kehidupannya yang tragis. Meskipun memiliki sikap “kaku” dan temperamen yang tinggi, kekaguman khalayak terhadap Van Gogh tak lepas dari upayanya untuk menjalani kehidupan dengan “empati” sehingga dapat menangkap realitas dari “dalam”. Narasi – narasi yang kemudian di-(ter)proyeksikan melalui karya seninya.  

Setelah lebih dari satu abad semenjak kematian Van Gogh, proses perjalanan hidupnya banyak menginspirasi pelaku seni, terutama “bagaimana menjalani kehidupan dengan empati dan menangkap realitas dari dalam”. Tentu saja dengan proses dan praktek yang berbeda. Lalu bagaimana dengan dengan praktek seni rupa kita saat ini? Secara umum, satu dekade terakhir praktik seni rupa kita hiruk – pikuk dengan perubahan secara fantasmagoria (fantasi = hayalan atau angan – angan, margore = elit atau, ekskulsif, pasukan elit[3]) yang dijumpai baik pada konsepsi – konsepsi seniman tentang seni, tawaran tema karya serta kualias estetik pada karya seni itu. Kita menuju percepatan dan menghapus banyak hal yang bersifat histories. Percepatan yang membawa keacakan (disorder) dan mengalami metafora Jean Baudrillard – obesitas, yakni gejala kepenuhan, kekenyangan estetik – atau dapat berarti kejenuhan akibat kondisi kontemporer yang frekuensi perubahannya semakin cepat – atau piknolepsi dalam analogi Paul Virilio.[4]
 
Dari dua paragraf di atas, menurut saya yang menarik dalam konteks “proses penciptaan karya seni” adalah; Bagaimana memaknai kembali peristiwa - peristiwa kehidupan, terutama peristiwa – peristiwa kehidupan yang dilakoni oleh seorang seniman. Tujuannya jelas, untuk menggali “makna” (bersifat subyektif-obyektif) agar karya seni menjadi ruang proyeksi yang “Bercerita” dan tidak terjebak pada “obesitas-estetik” akibat kreasi “dongeng – dongeng visual”. Meskipun demikian asumsi ini akan menimbulkan kontradiksi, melahirkan perdebatan panjang dengan berbagai cerita beserta argumentasi ataupun alibi berkaitan dengan kredo kontemporer yang “apapun boleh”. Selayaknya hal tersebut dihantarkan kembali kepada pilihan seniman. Memilih seperti kalimat di atas, atau menjatuhkan pilihan menjadi “pendongeng-visual”, sejatinya meng-alineasi diri tapi seolah - olah mempresentasi realitas kehidupan. Dan atau, memilih untuk diam karena tidak mau mengambil resiko atau menyadari bahwa hanya tertarik pada “kualitas-fisik” ataupun “economic-value”   
Ceritaku; titik kulminasi diri.
Sri Ambarwati Lestari adalah seorang seniwati yang lahir 16 September 1973 di Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikannya di Institute Seni Yogyakarta. Setelah tujuh bulan terakhir mengikuti prosesnya saya melihat Ambar sebagai seorang pribadi yang memiliki karakter khas plus temperamen yang tinggi, dan keunikan tersebut juga tampak dari pola – pola hubungan dengan sahabat – sahabatnya. 

Pada suatu waktu (Mei – Juli yang lalu) dia menceritakan bahwa menjatuhkan pilihan profesi sebagai seniman adalah pilihan yang tidak mudah. Ambarwati secara lugas mengurai beragam pengalaman hidup, baik yang pahit, getir, termasuk peristiwa - peristiwa menyenangkan. Dia pun pernah melalui berbagai pengalaman unik selama tinggal di Belanda, menjadi pengusaha meubel, dan terlibat di beberapa proyek seni. Diantara ceritanya tersebut, yang awalnya saya tangkap getir adalah; pelarangan - pelarangan untuk ber-karya seni. Lalu pemberontakkan dirinya terhadap situasi tersebut memberi konsekuensi terhadap pecahnya kehidupan rumah tangga dan terpisah dari anak yang sungguh disayanginya[5]. Tapi apakah hal itu menghentikan langkahnya untuk berkarya? Menurut saya tidak! Sebab dikemudian hari saya melihat hal tersebut menjadi “daya-dorong” yang spesifik bagi dirinya untuk menyempurnakan pilihannya menjadi seorang seniman. Bahkan dari titik ini pula dia mulai memahami makna kesetaraan dan kasih – sayang yang saya rasakan mengalir dalam inner-world karyanya. Ritmik yang “mirip” ketika kami, saya, Ambar dan Lenni Ratnasari W tertawa terbahak – bahak tatkala mereka berdua menceritakan berbagai pengalaman selama berproses bareng yang kala itu bermuara pada menu “oseng – oseng Pepaya” setiap harinya[6]. 

Di titik ini “cerita-ku” lebih saya tekankan sebagai “narasi-visual” yang dikonstruksi oleh peristiwa – peristiwa dan pengalaman. Di sisi lain kita tidak bisa menolak dampak – dampak yang bersifat negatif ataupun positif dari kehidupan yang penuh peristiwa ini. Tak kasat mata, dampak positifnya dapat menjadi proses transfer nilai – nilai kehidupan. Sedangkan dampak negatif dari “dunia-cerita” (setelah memaknai ulang peristiw dan pengalaman)  lebih baik kita positifkan. Sebab terdapat satu proses yang menarik dari setiap “Cerita” yaitu; Berani bercerita kepada diri sendiri untuk menemukan titik kulminasi diri. Bukankah setiap individu (sadar ataupun tidak sadar) dilahirkan untuk menelusuri “makna”? sesuai dengan jalur kehidupan yang telah dipilih, dan makna itu akan terus tumbuh mengikuti setiap perkembangan yang ada.
Dalam perhelatan pameran ini Sri Ambarwati sepertinya mencoba mewajantahkan konstelasi di atas. Pertama, kegelisahannya bersumber dari kepenatannya melalui berbagai peristiwa yang penuh dengan cerita – cerita klise tentang tuntutan kehidupan yang “sebenarnya”. Dia tidak melemparkannya kembali tapi merangkulnya ke titian “diri-dalam” melalui proses instropeksi diri, ber-kotemplasi, dan bahkan kalau boleh mengatakan dia berani meng-interogasi dirinya dengan senandung cerita peristiwa-personalnya. Selanjutnya, dari proses tersebut dia menemukan “makna” (subyektif), serangkaian nilai yang menjadi fondasi karya – karyanya.

Hal tersebut juga mendorong keberanian Ambarwati untuk membaginya kepada audiens melalui pameran tunggal yang mengusung tema “Ceritaku”. Setidaknya ini menjadi titik kulminasi-diri Ambarwati, meng-gubah moment – moment getir menjadi senandung syukur atas nikmatnya waktu yang telah dianugerahkan pada dirinya selama ini. Untuk terus berkarya!  
Bayu W


[1] Sanento Yuliman, Vincent Van Gogh Sang Superstar, Majalah Tempo No 9 tahun XX – 28 April 1990. Hal-70.
[2] Baca Van Gogh; Sebuah Biografi, R.J.M Philpot. Penerjemah Tia Setiadi, Interlude Yogyakarta 2007.
[3] Kamus Ilmiah Populer, Tim Prima Pena, Gitamedia Press 2006.
[4] Baca Perversion, Aminudin TH Siregar,  Katalog Pameran Puri Art Gallery, Surabaya 2008.
[5] Wawancara dengan Sri Ambarwati, 12 Juni 2013, Yogyakarta
[6] Wawancara dengan Sri Ambarwati dan Lenny Ratnasari W, 06 September 2013, Kersan Art Studio, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar