Pilihan; Memaknai Kembali sang-Peristiwa
Dia adalah prototype dari
seorang seniman yang melemparkan dirinya ke arena seni, dan mengabdikan
talent-nya kepada suatu ideal yang tinggi untuk berjuang mati – matian.
Kalimat tersebut
ditulis oleh Sudjojono, menggambarkan kekagumannya terhadap Vincent Van Gogh
yang dimuat dalam kumpulan karangannya Seni
Loekis, Kesenian, dan Seniman terbitan 1946[1].
Beberapa fragmen yang menarik dikehidupan Van Gogh seperti; menjadi misionaris
dan menjalani hidup bersama buruh tambang di Borinage (Belgia), hubungan dengan
adiknya Theo, penyakit - penyakit yang dideritanya, kisah cintanya dengan Sien[2],
dan akhir kehidupannya yang tragis. Meskipun memiliki sikap “kaku” dan
temperamen yang tinggi, kekaguman khalayak terhadap Van Gogh tak lepas dari
upayanya untuk menjalani kehidupan dengan “empati”
sehingga dapat menangkap realitas dari “dalam”. Narasi – narasi yang
kemudian di-(ter)proyeksikan melalui karya seninya.
Setelah lebih dari
satu abad semenjak kematian Van Gogh, proses perjalanan hidupnya banyak
menginspirasi pelaku seni, terutama “bagaimana menjalani kehidupan dengan empati dan menangkap realitas dari dalam”. Tentu saja dengan proses dan
praktek yang berbeda. Lalu bagaimana dengan dengan praktek seni rupa kita saat
ini? Secara umum, satu dekade terakhir praktik seni rupa kita hiruk – pikuk
dengan perubahan secara fantasmagoria
(fantasi = hayalan atau angan – angan, margore = elit atau, ekskulsif, pasukan
elit[3])
yang dijumpai baik pada konsepsi – konsepsi seniman tentang seni, tawaran tema
karya serta kualias estetik pada karya seni itu. Kita menuju percepatan dan
menghapus banyak hal yang bersifat histories.
Percepatan yang membawa keacakan (disorder) dan mengalami metafora Jean
Baudrillard – obesitas, yakni gejala kepenuhan, kekenyangan estetik – atau
dapat berarti kejenuhan akibat kondisi kontemporer yang frekuensi perubahannya
semakin cepat – atau piknolepsi dalam analogi Paul Virilio.[4]
Dari dua paragraf di
atas, menurut saya yang menarik dalam konteks “proses penciptaan karya seni”
adalah; Bagaimana memaknai kembali peristiwa - peristiwa kehidupan, terutama
peristiwa – peristiwa kehidupan yang dilakoni oleh seorang seniman. Tujuannya
jelas, untuk menggali “makna” (bersifat subyektif-obyektif) agar karya seni
menjadi ruang proyeksi yang “Bercerita” dan tidak terjebak pada
“obesitas-estetik” akibat kreasi “dongeng – dongeng visual”. Meskipun demikian
asumsi ini akan menimbulkan kontradiksi, melahirkan perdebatan panjang dengan
berbagai cerita beserta argumentasi ataupun alibi berkaitan dengan kredo
kontemporer yang “apapun boleh”. Selayaknya hal tersebut dihantarkan kembali
kepada pilihan seniman. Memilih seperti kalimat di atas, atau menjatuhkan
pilihan menjadi “pendongeng-visual”, sejatinya meng-alineasi diri tapi seolah - olah mempresentasi realitas kehidupan.
Dan atau, memilih untuk diam karena tidak mau mengambil resiko atau menyadari
bahwa hanya tertarik pada “kualitas-fisik” ataupun “economic-value”
Ceritaku; titik kulminasi
diri.
Sri Ambarwati
Lestari adalah seorang seniwati yang lahir 16 September 1973 di Yogyakarta dan
menyelesaikan pendidikannya di Institute Seni Yogyakarta. Setelah tujuh bulan
terakhir mengikuti prosesnya saya melihat Ambar sebagai seorang pribadi yang
memiliki karakter khas plus
temperamen yang tinggi, dan keunikan tersebut juga tampak dari pola – pola
hubungan dengan sahabat – sahabatnya.
Pada suatu waktu (Mei
– Juli yang lalu) dia menceritakan bahwa menjatuhkan pilihan profesi sebagai
seniman adalah pilihan yang tidak mudah. Ambarwati secara lugas mengurai
beragam pengalaman hidup, baik yang pahit, getir, termasuk peristiwa -
peristiwa menyenangkan. Dia pun pernah melalui berbagai pengalaman unik selama
tinggal di Belanda, menjadi pengusaha meubel, dan terlibat di beberapa proyek
seni. Diantara ceritanya tersebut, yang awalnya saya tangkap getir adalah; pelarangan - pelarangan
untuk ber-karya seni. Lalu pemberontakkan dirinya terhadap situasi tersebut
memberi konsekuensi terhadap pecahnya kehidupan rumah tangga dan terpisah dari
anak yang sungguh disayanginya[5].
Tapi apakah hal itu menghentikan langkahnya untuk berkarya? Menurut saya tidak!
Sebab dikemudian hari saya melihat hal tersebut menjadi “daya-dorong” yang
spesifik bagi dirinya untuk menyempurnakan pilihannya menjadi seorang seniman.
Bahkan dari titik ini pula dia mulai memahami makna kesetaraan dan kasih –
sayang yang saya rasakan mengalir dalam inner-world
karyanya. Ritmik yang “mirip” ketika kami, saya, Ambar dan Lenni Ratnasari W tertawa
terbahak – bahak tatkala mereka berdua menceritakan berbagai pengalaman selama
berproses bareng yang kala itu bermuara pada menu “oseng – oseng Pepaya” setiap harinya[6].
Di titik ini
“cerita-ku” lebih saya tekankan sebagai “narasi-visual” yang dikonstruksi oleh
peristiwa – peristiwa dan pengalaman. Di sisi lain kita tidak bisa menolak
dampak – dampak yang bersifat negatif ataupun positif dari kehidupan yang penuh
peristiwa ini. Tak kasat mata, dampak positifnya dapat menjadi proses transfer
nilai – nilai kehidupan. Sedangkan dampak negatif dari “dunia-cerita” (setelah
memaknai ulang peristiw dan pengalaman) lebih baik kita positifkan. Sebab terdapat
satu proses yang menarik dari setiap “Cerita” yaitu; Berani bercerita kepada
diri sendiri untuk menemukan titik kulminasi diri. Bukankah setiap individu (sadar
ataupun tidak sadar) dilahirkan untuk menelusuri “makna”? sesuai dengan jalur
kehidupan yang telah dipilih, dan makna itu akan terus tumbuh mengikuti setiap
perkembangan yang ada.
Dalam
perhelatan pameran ini Sri Ambarwati sepertinya mencoba mewajantahkan
konstelasi di atas. Pertama, kegelisahannya bersumber dari kepenatannya melalui
berbagai peristiwa yang penuh dengan cerita – cerita klise tentang tuntutan
kehidupan yang “sebenarnya”. Dia tidak melemparkannya kembali tapi merangkulnya
ke titian “diri-dalam” melalui proses instropeksi diri, ber-kotemplasi, dan
bahkan kalau boleh mengatakan dia berani meng-interogasi dirinya dengan
senandung cerita peristiwa-personalnya. Selanjutnya, dari proses tersebut dia
menemukan “makna” (subyektif), serangkaian nilai yang menjadi fondasi karya –
karyanya.
Hal tersebut juga mendorong keberanian Ambarwati untuk membaginya kepada audiens melalui pameran tunggal yang mengusung tema “Ceritaku”. Setidaknya ini menjadi titik kulminasi-diri Ambarwati, meng-gubah moment – moment getir menjadi senandung syukur atas nikmatnya waktu yang telah dianugerahkan pada dirinya selama ini. Untuk terus berkarya!
Hal tersebut juga mendorong keberanian Ambarwati untuk membaginya kepada audiens melalui pameran tunggal yang mengusung tema “Ceritaku”. Setidaknya ini menjadi titik kulminasi-diri Ambarwati, meng-gubah moment – moment getir menjadi senandung syukur atas nikmatnya waktu yang telah dianugerahkan pada dirinya selama ini. Untuk terus berkarya!
Bayu W
[1] Sanento Yuliman, Vincent Van Gogh Sang Superstar, Majalah Tempo No
9 tahun XX – 28 April 1990. Hal-70.
[2] Baca Van Gogh; Sebuah Biografi, R.J.M Philpot. Penerjemah Tia
Setiadi, Interlude Yogyakarta 2007.
[3] Kamus Ilmiah Populer, Tim Prima Pena, Gitamedia Press 2006.
[4] Baca Perversion, Aminudin TH Siregar, Katalog Pameran Puri Art Gallery, Surabaya
2008.
[5] Wawancara dengan Sri Ambarwati, 12 Juni 2013, Yogyakarta
[6] Wawancara dengan Sri Ambarwati dan Lenny Ratnasari W, 06 September
2013, Kersan Art Studio, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar