Gerak-Resah dalam Diam merupakan judul pameran tunggal
Bucek Distorsi di Miracle Art Space. Judul ini mengemuka saat berdiskusi dengan
Harlen Kurniawan, ungkap Bucek. Dialog sahabat sejawat yang selalu terjaga
meskipun mereka berdua tinggal di kota yang berbeda.
Human City dan Logika-Materiil
yang Memicu Keresahan
Sebagai pribadi yang hidup di Ibukota (Jakarta) Bucek banyak bersentuhan
dengan berbagai permasalahan “Human-City”. Kompleksitas permasalahan yang selalu
memicu kegelisahan dirinya. Hal tersebut secara sadar maupun tidak, juga menjadi
keresahan – keresahan sebagian besar individu yang hidup di “Kota”. Kehidupan
yang bergerak dengan “waktu-sibuk” dan berbagai cerita lainnya.
Di era ini sangat lumrah melihat sebagian masyarakat melakukan “mobilitas
individu-sosial”, berlomba mengejar posisi yang dianggap paling baik dan cocok
bagi eksistensi dirinya. Kondisi positif ini dibangun oleh pemikiran tentang
hak yang sama dalam meraih “kedudukan sosial” tertentu ataupun kehidupan yang
lebih baik. Situasi yang berbeda dibandingkan era “Feodal”, dimana seseorang ataupun
suatu kelompok terkungkung dalam stratifikasi keturunan. Sayangnya “mobilitas”
tidak dilihat sebagai irama “pemberdayaan” diri dan masyarakat. Fakta tentang tingginya
ketimpangan pembangunan antara desa dan kota memicu sindrom “tanah-impian”, tak
pelak wilayah yang dianggap menjanjikan (umumnya perkotaan) untuk merubah nasib
diterjang arus urbanisasi, menimbulkan permasalahan baru sedangkan beragam
permasalahan yang telah ada sebelumnya tak kunjung terselesaikan. Tentu saja
kondisi tersebut mengakibatkan kontestasi kehidupan “Human-City” menjadi
semakin tajam dan keras.
Realitas tersebut semakin parah seiring dengan lemahnya pengelolaan
kehidupan masyarakat (oleh Pemerintah). Tampak jelas pada; gagalnya pemerataan ekonomi,
mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, gonjang ganjingnya dunia perpolitikan,
tingginya tingkat pengangguran, korupsi, tidak stabilnya harga kebutuhan pokok
dan lemahnya penegakkan hukum. Secara umum dampaknya terasa keseluruh wilayah
nusantara, di desa, apalagi di kota.
Sebagai Ibukota Negara, magnet kota Jakarta adalah lalu-lintas
ekonominya yang tinggi dan diasumsikan sebagai “kota impian”. Padahal sisi kelamnya
dapat dikatakan sebagai “ruang-fenomena-kelam”, dimana dipermaknya
kesederhanaan budaya masyarakat melalui transaksi untung-rugi. Konsekuensi
logisnya berupa; terlemparnya nilai – nilai kemanusiaan yang sesungguhnya, dan membuat
kisi – kisi kehidupan masyarakat “dirampok” oleh kalkulasi kepentingan pribadi
dan kelompok tertentu, strateginya menggunakan azas pemanfaatan-komersil dan
kekuasaan. Bahkan asumsi yang paling menyedihkan adalah; Gerak kehidupan
masyarakat kota secara esensial telah berubah menjadi ritual pembunuhan massal
kemanusiaan. “Perubahan” merupakan kata ampuh dari doktrinisasi (kepentingan
tertentu), untuk menggiring langkah masyarakat pada “keteraturan-baru” yang awalnya
tampak menjanjikan, padahal itu perangkap “logika-materiil” yang tuhannya
adalah kekuatan-modal. Gambaran akibatnya terlihat dari parade kemiskinan dan tingginya
angka pengangguran-kota, manusia – manusia frustasi yang melakukan tindak kriminal
dan kekerasan, atau melakukan penipuan demi makan hari ini. Di sisi lain, para
pecinta kemewahan secara gamblang mempertontonkan budaya hedonisme. Bukankah
ini sejatinya “prostitusi”! kerelaan untuk “mencampakkan diri” demi memuaskan
keinginan yang dinilai dengan kesenangan materi. Keresahan kota!
Keresahan ataupun kegelisahan muncul karena adanya “gap” antara
harapan individu dengan kenyataan, dipandang sebagai “gejala-jiwa” yang
bersifat individual yang tidak dapat menafikkan realitas sosial. Dalam
lingkaran individual, “Sesaknya” realitas kehidupan kota dengan beragam permasalahannya
melahirkan persepsi - persepsi, penilaian - penilaian bahkan prasangka yang
diartikan sebagai predisposisi penilaian yang paling diskriminatif. Efek dari
kerasnya kontestasi kehidupan-kota adalah; virus “Delusi”, terutama bagi
individu dan masyarakat yang terpinggirkan. Delusi merupakan keyakinan semu
yang sesungguhnya tidak benar, tapi tidak dapat dikoreksi oleh fikiran sehat
dan cenderung menimbulkan perilaku negatif. Bahkan dalam kasus tertentu
perilaku tersebut dapat bersifat massal, sehingga kehidupan masyarakat terancam
“Chaos”.
Muara dari konstelasi pemikiraan di atas sengaja saya tarik ke
dalam sebuah pertanyaan; Seberapa penting peran individu untuk menyikapi,
bertindak dan memahami fenomena perubahan realitas kehidupan ini (khusunya kehidupan-kota)?
Yang kelak juga menjadi ancaman-laten bagi masyarakat yang hidup di pedesaan.
Oleh – Oleh Dari Jakarta
Meskipun tidak diucapkan secara Verbal, dalam beberapa kali
pertemuan dengan Bucek Distorsi saya menangkap pesan (subyektif) bahwa “gerak-individu”
penting untuk melawan bahaya-laten dari arus “logika-materiil”. Sungguh naïf
apabila menyandarkan keseluruhan kisi - kisi kehidupan pada logika tersebut,
sebab berdaya secara ekonomi adalah kewajiban setiap individu agar tidak terjerembab
dan menyuburkan “mental-pengemis” dalam dirinya. Kemudian, konstruksi realitas seyogyanya
dibangun oleh prehensi keleluasaan-ruang yang mendorong individu untuk berani
menjadi dirinya sendiri (berdaya), meskipun resiko dari gerak pemahaman ini
adalah; terlemparnya posisioning-personal ke dalam lingkaran “sosial-distorsion”. Pilihan yang tidak konyol!.
Sikap tersebut tentu saja tidak lahir dengan tiba – tiba. Saya cenderung melihatnya (meskipun mustahil dapat melihatnya secara utuh) sebagai hasil, dari keluas-an penerimaan dirinya terhadap “pengalaman”, dan tidak menutup kemungkinan, pada pengalaman tertentu dia terpaksa harus memahami karena tidak bisa menolak lintasan – lintasan peristiwa tersebut. Seiring dengan itu, mengubah “proses” menjadi “proges” tentu bukan perkarat mudah, karena setidaknya melewati fase Atribus-diri dan Disonansi-Cognitif yang skema hubungannya dipengaruhi oleh Gaya-Interpersonal.
Fase Atribus-diri dapat
dilihat sebagai upaya individu memaknai pengalaman – pengalaman personalnya,
sehingga pengalaman tersebut bermakna (meski pengalaman pahit sekalipun). Sebab
penafsiran untuk menjelaskan pengalaman tersebut mengacu pada, pola, skema atau
ciri khusus seseorang dalam konteks hubungan yang bersifat searah, timbal-balik
ataupun jamak dengan orang lain dan lingkungannya. Sesudah dinamika tersebut
terealisasi, setidaknya menjadi stimulasi – stimulasi aktif terhadap “game-imajinasi-bebas” yang umumnya
digelorakan dan menjadi daya tarik sendiri bagi individu yang berprofesi sebagai
seniman (tergantung keunikan masing – masing seniman). Sedangkan Disonansi-Cognitif, yaitu; bagaimana mengharmoniskan
fikiran dengan perilaku (termasuk dalam proses penciptaan karya seni) yang
tujuan akhirnya adalah realisasi keyakinan diri. Meskipun Gaya-Interpersonal, terkait dengan natural-ability,
pembentukkan lingkungan dan kognitivisme, pengaruh yang saya maksudkan
merupakan cara, atau strategi memperlakukan diri, orang lain dan masyarakat. Singkatnya,
dalam hubungan-bebas ketiga hal ini tampak dari proyeksi kemampuan individu
menerima realitas dalam pengertian yang luas. Bagi saya yang merasakan keunikan
(subyektif) tatkala melihat karyanya, terasa wajar kalau mempertanyakan
hubungan-dalam antara proyeksi diri dan proses kekaryaannya dalam konteks
stimulasi-respon realitas.
Tapi
aneh, fikiran saya lebih tergelitik saat memperhatikan namanya yang tertulis
dengan huruf capital dalam katalognya (handmade). BUCEK DISTORSI…… Apakah Bucek
telah terdistorsi oleh tekstur pengalaman hidupnya? Jangan – jangan, dia cuma terperangkap oleh pengamatannya
terhadap realitas (meliputi ruang hidup dan karyanya)? Tidak mustahil bukan!
Ketika seseorang terpukau oleh progres personalnya ketika pilihannya terasa
“benar”, dan atau, telah menandai self-posisioning sebagai zona aman. Dan tentu
tidak salah juga, apabila Bucek ataupun individu lainnya memilih masuk ke dalam
sistem-generalitas dan melakukan pemilah – pemilahan yang ketat seperti metode
induksi Baconian. Metode empirisme yang kaku, konsistensi yang terkesan sebagai
pengulangan – pengulangan skema atau pengulangan pola yang sama, dan tak
memerlukan lagi imajinasi-bebas.
Saya
kemudian menyadari bahwa; alangkah lebih baik jawaban atas pertanyaan tersebut
menjadi milik Bucek seutuhnya, kalaupun tidak, hal tersebut dapat menjadi
“simpul-misteri” dari pertemuan dan dialog kami saat itu. Dan sah – sah saja
seandainya hal tersebut tetap menjadi “yang tidak ter-ketahui”.
Kembali pada konteks gradasi perubahan masyarakat-kota. Desakkan
untuk mengamin-kan perubahan tersebut menjadi ancaman nyata bagi kehidupan
“non-kota”. Sebab virus “logika-materiil” telah menyebar (atau sengaja disebar)
memanfaatkan kecanggihan teknologi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan,
dan pengaruh politik-kekuasaan yang akhirnya mengikis nilai – nilai kebersamaan
dan karakteristik masyarakat kita yang plural. Inilah bahaya laten dari
kesesatan prinsip ekonomi yang kelak (atau sedang terjadi) mentasbihkan “budak-modern”
dan “budak-produksi”. Bagaimana menahan dan menyeimbangkannya? Dapat terjawab
oleh keberanian untuk bersikap, memilih dan menjaga “adab-kehidupan” (sesuai
dengan bidang masing - masing). Sadar ataupun tidak disadari koherensi-individual
yang komprehensif adalah “kekuatan” (Pilihan
yang tidak konyol!) yang bersifat definite-identity
(identitas-satuan, dan atau, bagian yang proyeksi kekuatan keluar melalui
pencerahan-identity) dia mampu mensinergiskan diri dalam mengkonstruksi “wilayah-spesial”,
menggabungkan imajinasi, pemikiran produktif dan petualangan eksperimental
individu (profesi seniman memiliki kedekatan khusus) menuju “Estetika-Adab”
yang pantas untuk diperdebatkan kembali. Realisasinya pun dapat terjawab dengan “Kreativitas”
yang fundamental, diharapkan menjadi pancaran ke-“menjadi”-an (The Becoming), melibatkan satuan –
satuan lain beserta komponen – komponennya demi mewujudkan
kenyataan-solidaritas-kemasyarakatan yang mendapat penjelasan dan kejelasan.
Beberapa hal tersebutlah yang saya anggap menarik dari pameran tunggal
Bucek ini: Sebagai individu yang tinggal di tengah realitas kehidupan-kota
(Jakarta), dia “Diam”
tatkala posisioning-personalnya memberi alarm “sang-penyaksi” menonton
pertunjukkan “topeng-topeng” kepentingan oleh sebagian masyarakatnya, atau
“membaca” kisah-realitas individu – individu yang rela “mencampakkan diri” demi keinginan yang nilainya tergantung pada
kesenangan, atau kepuasan raup-untung materi. Tapi sesungguhnya dia tidak membisu, karena
pemahaman terhadap pilihannya jelas. Konsekuensi logis dari hal tersebut
adalah; Suara dari karya
– karya yang diciptakannya, suara yang meretas batas visual (meski tidak bisa
dipungkiri beberapa karyanya juga mengalami ke“kering”an visual). Apabila kita
lemparkan pada ranah upaya untuk menahan, menyeimbangkan bahkan melawan
doktrinisasi “logika-materiil”. Proses kreativitasnya ini dapat menjadi “Nutrisi”
sekaligus pegangan kesadaran esensial untuk mengisi relung kemanusiaan ketika
gerak kehidupan tersumbat, akibat pengamin-an doktrinisasi tersebut. Sebagai
individu, Koherensi-Kebebasan tampak dari perilakunya yang menawarkan bahkan
seperti tantangan bagaimana untuk “terus bergerak meretas kegelisahan-moral” (asumsi
ini muncul ketika melihat dan mendengar dia berdialog dengan satu temannya, dan
dua orang kawan berikutnya yang sama – sama berasal dari jakarta).
Kemudian pertanyaan terakhir untuk tulisan ini. Sebenarnya oleh – oleh apa yang dibawa oleh Bucek Distorsi dalam gelaran pameran tunggalnya ini? Sebelum menuliskan jawaban yang bersifat personal dan subyektif dari pertanyaan tersebut. Saya tak bisa menepiskan kejenuhan beberapa tahun belakangan ini, terkait karya seni yang saya rasa “mengada – ngada”. Dalam pengertian, kehadirannya terlepas dari “originality-proces” dan terbelenggu oleh tuntutan lain yang sesungguhnya hanyalah “atribut”. Seperti; hanya memanfaatkan strategi “big-size” agar terlihat fenomenal, apalagi yang menggunakan strategi “overstatetment” di media sosial, dilanjutkan dengan “overacting” dan sibuk “ngalor-ngidul”, menyatakan bahwa “ini adalah pencapaian artistikku yang luar biasa”, saat ditanya lebih jauh jawabannya ngeles, ini “insting” jadi ga bisa dijelaskan, tapi hebatkan! “Saru”nya karya tersebut ternyata dibuat oleh artis-annya. Tapi ya sudahlah, tentu tidak salah apabila seseorang memilih untuk menggunakan potensi kreatifnya demi “ilusi-fisik” semata, dan menghilangkan dimensi-nilainya.
Saya fikir, saya harus memberikan jawaban dari pertanyaan yang
telah saya tulis di paragraph sebelumnya. Di tengah kejenuhan yang saya
gambarkan sebelumnya, kegembiraan itu menyeruak kembali (lagi - lagi bersifat
subyektif) setelah melihat beberapa karya Bucek, sementara waktu kami pun berdiskusi,
dilanjutkan dengan ngobrol kesana – sini hingga tengah malam. Hal tersebut
terasa menyenangkan sekaligus mengobati kerinduan untuk melihat karya – karya
yang lahir dari koherensi-diri, mengedepankan esensi pengalaman dalam
pengertian yang luas. Untuk penjelasannya saya sengaja memulai dari titik kreativitas
yang terbebas dari ide – ide penerimaan pasif, gagasan murni yang syaratnya
adalah keterbukaan dan mampu menangkap beragam petanda-stimulasi yang bisa berbentuk
tunggal, jamak maupun abstrak dari gerak-realitas. Kreativitas memiliki respon kebebasan
dan terlepas dari keterkekangan tindakan tunggal (teknik tunggal penciptaan).
Meskipun demikian kesesuaian - kesesuaiannya dalam proses penciptaan tetap
berada pada domain privasi kreator secara spesifik. Selanjutnya adalah
pilihannya yang membebaskan dari syarat-material tertentu dan menisbikan
“jarak” menjadi strategi jitu untuk menjaga originalitas gagasannya agar
tersampaikan “apa-adanya!”.
Nilai – nilai kesederhanaan dalam konstruksi-artistik inilah yang
menurut saya “oleh – oleh yang dibawa Bucek dari Jakarta”. “Kesederhanaan-sungguh”
adalah kedalaman mentalitas-tinggi dari “keberadaan” seorang seniman.
Selamat Pameran Kawan Bucek!
Prosesmu Asyik……….!
Bayu W
Bahan Bacaan
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional; alih bahasa T Hermaya –
Jakarta. Gramedia Pustaka Utama 1996.
Wawancara dengan Bucek, 05 September dan 07 September 2013,
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar