Kamis, 25 Oktober 2012

Red Strap and Conveniences-Knot my art works in the exhibition “ Membunuh Kemenangan “



Red Strap (I am, my self, you, him, them, and we are all the same), 150cm x 200cm, Acrylic on Canvas, 2012

“ Sebenarnya terdapat satu “ Garis “ yang menyatukan segala perbedaan kita sebagai individu, bagian dari kelompok masyarakat tertentu dan masyarakat dunia. Garis yang dibentuk oleh Kebesaran Hati “
( Bayu W, Yogyakarta, Agust 2012)

Conveniences-Knot ( Simpul Kemudahan), 120cm x 150cm, Acrylic on Canvas,  2012

 “ Hidup itu Mudah….! Semudah kita untuk mampu memilih dan mengakui bahwa tidak segala keinginan dapat kita wujudkan “
( Bayu W, Yogyakarta, September 2012 )


Bayu W

Kamis, 18 Oktober 2012

Fine Art Exhibition "Membunuh Kemenangan"

Pameran Seni Rupa “ Membunuh Kemenangan “
Pembukaan Pameran 22 oktober | 20:00 WIB | 
at Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardja Soemantri ( eks Purna Budaya) UGM
Dibuka oleh Prof. Dr. Pratikno. M.soc. Sc (Rektor UGM)
Penulis : Prof. Dr. Faruk HT, S.U | Rain Rosidi
Kurator : Anton Rais Makoginta
Dimeriahkan oleh Gamelan Kontemporer ( Ki Ageng Giring Artema)




Sabtu, 13 Oktober 2012

Satu – Kesatuan





Tubuh ini sama seperti tubuhmu,
Hati ini sama seperti hatimu
jiwa ini sama seperti jiwamu
Bersama perbedaan yang menjadi kodrat kita
(Bayu W, Yogyakarta 10 agustus 2012)



Peradaban telah terbangun dengan sedemikian hebatnya, kemajuan teknologi dan perangkat informasi telah menipiskan sekat – sekat ruang dan waktu. Kehidupan terlihat menjadi semakin mudah dengan berbagai fasilitas yang serba modern, dan gaya hidup manusia pun berubah mengikuti perkembangan zaman tersebut ( meski bersifat relatif dan subyektif ).
Manusia adalah penggerak kehidupan. Kemampuan akal, besarnya keinginan dan kreativitasnya terus mengeksplorasi seluruh elemen – elemen kehidupan, membawa peradaban pada gerbang ke-emasan. Berbanding terbalik dari hal tersebut, “ keinginan dan ambisi " manusia dapat menjadi jembatan yang menghantarkan kehidupan pada akhir kisahnya.
Sebagai individu manusia tetap menjadi bagian dari kelompok tertentu. Dia tidak serta merta hadir dalam konstelasi kehidupan, melainkan hadir bersama konstruksi nilai dan makna yang telah ada. Namun kemampuan adaptasinya dapat mengkreasikan keinginan personal bersama sistem ataupun pola kehidupan yang telah ada. Bahkan bukan tidak mungkin dia dapat merubah konstruksi tersebut secara ekstrim lalu membangun konstruksi baru yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Hal itu dapat saja terjadi, ketika “ Moda-Personal “ individu dapat menjadi cakrawala baru yang mewarnai kehidupan dan mendapat peng-aminan dari sebagian besar individu lainnya. Meskipun catatan sejarah juga mencatat  tentang dinamika perubahan yang tercipta dengan cara – cara yang tidak manusiawi, sepanjang peradaban manusia.
Dalam kehidupan setiap perubahan adalah keabadian. Berbagai ragam bentuk perubahan terposisikan dalam “ lingkar-pilihan “ demi sesuatu yang dianggap lebih baik, seiring dengan prediksi kesejahteraan hidup dimasa mendatang.  Tapi realitasnya tidak selalu sesuai dengan prediksi – prediksi tersebut. Sebab, realitas adalah peristiwa atau jalinan peristiwa yang tersaji dalam fakta – fakta kehidupan, dibentuk oleh relasi dan interrelasi dari semua komponen dan elemen kehidupan. Bersamaan dengan hal itu, kekuatan “ misteri-waktu ” tetap konstan, tidak dapat disegerakan sesuai dengan keinginan setiap manusia.
Eksistensi individu memiliki hubungan erat dengan kehidupan masyarakat dan keseimbangan alamnya. Dan dua hal ini tidak bisa begitu saja dilepaskan dari proses perjalanan individu menuju nisannya. Kehidupan masyarakat mengacu pada totalitas hubungan dimana manusia hidup. Dengan jitu masyarakat didefinisikan oleh Ginsberg sebagai jaringan interaksi dan interrelasi antar manusia ( dalam Reuben Osborn, Marxisme dan Psikoanalisis, hal 99, 2005). Bersama dengan perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat dizaman ini, ruang lingkup kehidupan masyarakat telah meng-global menjadi “ Masyarakat-Dunia “. Setiap individu dapat berinteraksi dan menjalin relasi dengan individu lain dari belahan dunia lainnya. Proses tersebut lambat laun membuka ruang untuk terjadi proses pertukaran budaya, perdagangan, terciptanya nilai hukum dan norma social yang berskala internasional.
Sedangkan dalam sudut pandang Marxisme masyarakat adalah sarana organisasional dimana manusia bekerjasama dalam mendapatkan mata pencahariannya. Manusia memaksakan perjuangannya untuk eksis dengan cara proses produksi manusia ( dalam Reuben Osborn, Marxisme dan Psikoanalisis, hal 102, 2005).
Selanjutnya Reuben Osborn menjelaskan istilah proses produksi, cara produksi dan metode produksi merupakan upaya untuk memperoleh mata pencahariannya, seperti makanan atau pemenuhan kebutuhan fisiologi, pakaian dan papan. Berhubungan dengan proses produksi Marx mengelompokkan menjadi dua faktor : Faktor subyektif berhubungan dengan peran manusia, dimana manusia harus saling membela dalam aktivitas produksi, pembagian tugas, cara pembagian proses produksi, hubungan property, jenis organisasi, kartel, koperasi masyarakat yang secara langsung mempengaruhi kegiatan produksi. Singkatnya, jumlah hubungan yang secara langsung terlibat dalam hidup masyarakat yang produktif.
Marx menyatakan “ Dalam proses produksi manusia tidak hanya bertindak sesuai dengan tuntutan alam, namun juga karena tuntutan satu sama lainnya. Mereka bekerjasama dengan cara tertentu, bertukar kegiatan dan terlibat dalam hubungan yang saling menguntungkan “ Sedangkan Faktor obyektif merupakan obyek alam yang diberikan secara alami, yaitu tanah, hutan, laut, mineral dan berbagai bahan tambang. Selanjutnya adalah peralatan produksi. Hal – hal inilah yang kadang disebut Marx sebagai sarana produksi dan kekuatan produksi. ( dalam Reuben Osborn, Marxisme dan Psikoanalisis, hal 101, 2005)
Tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban serba modern ini merupakan “ Era-produksi “ dengan karakteristik masyarakat yang produktif, sekaligus konsumtif. Sedangkan kidungnya adalah Irama kehidupan yang serba kompetitif.  Pertanyaannya, apakah kondisi dan situasi ini akan membawa kehidupan masyarakat pada akhir kisahnya? Kehilangan jati diri, harga diri dan terkebiri, sebab segala sesuatu dilihat sebagai komoditi?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita melihat reaitas sosial masyarakat kita yang telah memasuki Era Globalisasi ini. Sekelumit realitas yang terkisahkan. Pertama, Tindak Kekerasan dan Tingginya Angka Kriminalitas. Berbagai tindak kekerasan telah menjadi bagian dalam realitas kehidupan masyarakat, mulai dari tawuran antar pelajar hingga kekerasan antar kelompok berdasarkan Etnis dan Agama. Selain berbagai faktor penyebab lainnya, seperti kemiskinan dan pengangguran. Tingginya angka kriminalitas juga menjadi cerminan dari lemahnya penegakkan hukum dan tergerusnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan perangkatnya sebagai landasan berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Lalu, pada dimensi tertentu perilaku tindak kekerasan dan kriminalitas dianggap sebagai solusi dari berbagai permasalahan yang ada.
 Kedua, Wajah Buram Panggung Politik menjadi “ Parodi yang berbahaya “ dalam kehidupan masyarakat. Sebagian besar kelompok – kelompok yang memiliki kekuasaan politik atau tokoh – tokoh politik masih mencampur adukkan tujuan ber-politik demi mencapai kehidupan masyarakat yang sejahtera dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tentu mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok yang menjadi pilihan utama, ketika kelompok atau individu ini berhadapan dengan pilihan : Berusaha mensejahterakan kehidupan masyarakat dengan konsekuensi harus bekerja keras, melakukan pengabdian dan pengorbanan.
Di Era Media ini, gembar – gembor janji para pelaku-politik-praktis selama ini terbukti hanya untuk mendongkrak popularitas mereka.  Karena keputusan politik ataupun kebijakkan yang dimuat dengan alasan “ demi kedamaian dan kesejahteraan masyarakat “ jauh dari upaya membangun realitas kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Bahkan tidak jarang keputusan yang dibuat meruntuhkan mental masyarakat, karena kehidupan akan semakin sulit setelah diterapkannya keputusan tersebut. Kebijakan diartikan oleh Carl Friedrich sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan – hambatan tertentu, seraya mencari peluang – peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan ( Solichin 1997 dalam Sri H N, Partisipasi Politik Perempuan dalam Kebijakan Publik, Jurnal Demokrasi Vol 1, no 1, November 2003 ).
Dari kompleksitas permasalahan yang di hadapi masyarakat selama ini, kebijakan publik yang selalu terjadi adalah Listrik naik, BBM naik karena subsidi di cabut, kemudian diikuti oleh naiknya harga kebutuhan pokok. Realitas ini menjadi representasi dari “ dongeng pelayan jadi majikan “ yang telah menjadi kenyataan. Akhirnya tanggung jawab mereka untuk mencari solusi untuk meraih kesejahteraan hidup bermasyarakat “ menguap “ begitu saja.
Ketiga, ” Jembatan-Kebudayaan “ yang mulai rapuh. Konstelasi budaya tidak bisa dilepaskan dari elemen demografi, niai – nilai dan norma sosial yang terangkum dalam adat-istiadat. Menjadi penuntun perilaku masyarakat sekaligus membentuk karakteristiknya. Pola kehidupan tersebut menjadi pilar keseimbangan dalam meretas perbedaan dengan penuh toleransi, termasuk hubungan eratnya dengan “ Kebajikan-Alam “. Meskipun pada kasus – kasus tertentu perbedaan budaya dianggap dapat memicu sebuah konflik. Namun ketika melihatnya lebih dalam, konflik beralasan beda kebudayaan ini hanya dijadikan “ kedok ” untuk kepentingan atau tujuan tertentu.
Kesenian sebagai proyeksi dari kebudayaan di Era Globalisasi ini telah menunjukkan eksistensinya sebagai jembatan-penghubung untuk saling memahami perbedaan yang menjadi kodrat kita sebagai individu dan bagian dari kelompok, etnis, agama dan Negara tertentu. Karya budaya ini menjadi medium ekspresi individu dan masyarakat, “ melegakan-dirinya “ menghadapi “ represi-realitas “ dalam keseharian mereka. Tak jarang karya – karya budaya yang menjadi bagian dari rekam jejak perjalanan masyarakat dicaplok begitu saja oleh bangsa lain. Sedangkan “ Sang-Penguasa “ sibuk menggadaikan dan menjual potensi sumber daya kehidupan lainnya. Lambat laun kerapuhan itu mulai terasa, sebab generasi penerus menggeser ke-banggaannya dengan gaya hidup modern tanpa filter nilai - nilai dan moralitas karakter masyarakatnya.  
Riuhnya perkembangan teknologi informasi dan peran media massa mewarnai kehidupan masyarakat, yaitu menjadi Masyarakat-Informatif. Sebagai bagian Keempat, Media Massa memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan masyarakat. Sisi baiknya, Media Massa yang pengolahan informasinya sangat “ apik ” dan “ terpercaya “ menjadi sarana pendidikan masyarakat yang efektif. Selain hal tersebut teknologi informasi menjadi ruang alternatif interaksi maupun menjalin relasi. Berbanding terbalik dari hal tersebut, apabila tidak bijak dalam menyajikan informasi dan menggunakannya akan menjadi “ boomerang ” bagi kehidupan masyarakat. Seperti tayangan – tayangan tindak kekerasan yang di-imitasi oleh anak – anak atau informasi yang tidak dapat dipercaya, gossip dan pornografi   
Kelima, Hukum dan Abu – Abunya Warna Keadilan. Setiap warga Negara memiliki kedudukan yang sama di muka hokum dan pemerintahan. Selain itu Pasal 27 (1) UUD 1945, berarti bahwa adanya pengakuan terhadap hak azazi manusia dalam kehidupan masyarakat, dan dijamin pelaksanaannya secara konstitusional serta direalisasikan dengan peraturan perundang – undangan lainnya ( S. Toto Pandoyo, S.H, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentutan UUD 1945, Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan Demokrasi, 1985 ). Memang di muka hokum ditentukan seperti hal tersebut, namun yang menjadi persoalan adalah proses untuk mendapatkan keadilan di mata hukum.   
Salah satu penyebabnya adalah keadilan sering disusupi oleh berbagai kepentingan yang merusak keadilan itu sendiri. Penerapan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan memang masih menjadi pekerjaan yang berat, ditambah lagi dengan persoalan penyelewengan kewenangan oleh penegak hukum atau “ jual beli keadilan ”. Fakta ini masih menjadi cerita pengantar tidur generasi berikutnya, merusak mimpinya dan mengukir noktah hitam di hatinya.
Selanjutnya, banyak slogan – slogan baik di media cetak, online ataupun elektronik menyatakan “ Awas Budaya Korupsi Telah Mengakar “. Atau sinonim kalimat lainnya yang menggabungkan antara kata “ Budaya “ dan Korupsi. Kita harus jelas mengatakan bahwa Korupsi Bukanlah Karakteristik Masyarakat dan Budaya Kita. Mereka Maling….! Tidak ada Budaya-Korupsi. Yang ada adalah pembiaran perilaku maling dalam konstelasi kehidupan masyarakat kita karena penyelewengan kekuasaan dan lemahnya penegakkan hukum.
Terdapat bahaya – bahaya besar ketika perilaku ini terus berkembang. Karena akibatnya tidak saja dirasakan oleh masyarakat yang hidup saat ini tapi juga generasi selanjutnya.  Pilihan untuk melegalkan “ Hukuman mati “ dapat menjadi opsi utama untuk meredam perilaku ini. Karena perilaku korupsi ini lebih kejam dari pembunuhan massal yang dilakukan oleh para “ penjahat-perang”. Mereka menyengsarakan dan membunuh secara perlahan – lahan, bahkan kemudian mengebiri generasi selanjutnya.
Salah satu akibat dari perilaku ini adalah telah berpindah tangannya sumber daya alam yang seharusnya menjadi modal dasar kita untuk tumbuh dan berkembang secara bersama – sama sebagai satu – kesatuan masyarakat. Hutan , tanah, sungai dan laut kita yang bernilai ekonomis tinggi telah dieksploitasi dijadikan tambang – tambang yang sebagian besar keuntungannya bukan untuk membangun kesejahteraan hidup, tapi demi keuntungan segelintir individu. Parahnya, terkadang kepemilikannya pun telah berpindah tangan menjadi milik pribadi atau perusahaan – perusahaan multinasional.
Fakta selanjutnya adalah Fenomena Mahalnya Biaya Kesehatan dan Pendidikan Mengancam Kehidupan Generasi Mendatang. Kesehatan adalah perihal utama dari peran setiap individu saat melakoninya. Tidak ada upaya dan usaha yang akan berhasil ketika individu menjalaninya dalam keadaan sakit. Selain itu, pendidikan menjadi permasalahan utama untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, mandiri dan sejahtera, sesuai dengan kesepakatan masyarakat kita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Menurut Mangunwijaya terjadi berbagai persoalan yang menindas kehidupan masyarakat disebabkan oleh rendahnya pendidikan yang mereka miliki. Padahal proses pendidikan menyadarkan masyarakat dalam keseluruhan system perubahan sosial. Oleh karena itu, untuk melepaskan mereka dari penindasan dan kemiskinan harus melalui pendidikan. Masyarakat yang berpendidikan biasanya tidak gampang untuk dibodohi, dihina, terlebih lagi ditindas. Mangunwijaya melihat terjadinya ketidak adilan, pemiskinan, penindasan masyarakat lebih disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pendidikan, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kelangsungan pendidikan, terutama bagi mereka yang hidupnya miskin (Mangunwijaya dalam Firdaus M Y, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Hal 83, 2005)         `
Naif memang, ketika pelayanan kesehatan dan pendidikan menjadi “ bisnis-baru “ dalam kehidupan masyarakat di era globalisasi yang semakin kapital ini. Hal – hal yang menjadi kebutuhan utama masyarakat tidak lagi menjadi tanggungan penyelenggara kehidupan bermasyarakat. Pertanyaannya, bagaimana menciptakan masyarakat yang cerdas dan mandiri ketika untuk sehat dan memperoleh pendidikan saja masih menjadi persoalan yang pelik?  Sedangkan “mereka” sibuk melakukan penilaian – penilain dengan survey – survey tertentu yang memberikan gambaran bahwa kehidupan masyarakat secara ekonomi terus mengalami peningkatan yang signifikan. Padahal hujan masalah yang kompleks membasahi realitas kehidupan masyarakat
Kemudian yang terakhir dari penggalan realitas kehidupan masyarakat kita saat ini adalah  ujung-kerucut atau pangkal permasalahan dari sebagian besar persoalan yang sedang terjadi. Dapat juga dikatakan sebagai Penyebab-Permasalahan-Besar, Yaitu : Faktor Ekonomi. Gemericik permasalahan itu timbul karena doktrinisasi ekonomi yang jauh dari rasa keadilan. Yaitu, “ dengan modal sekecil – kecilnya harus mendapatkan untung yang sebesar – besarnya “. Secara dangkal, filosofi ekonomi ini “ menghalalkan ketidak-adilan sosial ”. tidak ada lagi toleransi, budaya gotong royong dan rasa kebersamaan. Sebab semuanya dilihat dan dihargai oleh kepentingan – kepentingan yang menjanjikan keuntungan materialistic. Fenomena ini jauh dari karakteristik masyarakat kita yang menjunjung nilai – nilai kearifan dan kebijaksanaan.
Mengacu pada karakteristik masyarakat yang di ungkap oleh Marx di atas, faktanya realitas ekonomi masyarakat global saat ini berada pada titik harus-berproduksi dan konsumtif. Konspirasi – konspirasi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi bermodal besar dengan Pembuat Kebijakkan, Penegak Hukum membangun kesenjangan sosial dengan menghancurkan kesempatan bagi yang lainnya. Menciptakan nilai – nilai baru dengan berbagai Proses-Doktrinisasi, seperti gaya hidup yang serba mewah “ disimbolkan ” sebagai bentuk kehidupan modern nan indah. Yang paling membahayakan ketika pola ini menjadi “ Ideologi-baru “  dalam kehidupan masyarakat dengan menganggap “ semua adalah Komoditi “.Dan kondisi realitas ini bak bom waktu yang akan mengakhiri kisah kehidupan masyarakat dengan interaksi dan interrelasi yang dikonstruksi berdasarkan nilai – nilai  keluhuran budi.
Menilik sekelumit penggalan realitas sosial ini wajar kiranya ketika kengerian menyeruak dalam dada setiap individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Bagaimana tidak anak – cucu yang terlahirpun telah terlilit oleh “ utang “, meskipun siapa yang berhutang dan sebab apa harus berhutang mereka tidak tau dan tidak mengerti. Globalisasi adalah fenomena multidimensional, meskipun yang disorot lebih pada aspek ekonomi, namun dampak sosial tidak kalah penting. Terutama masalah menjaga karakterisitik nilai – nilai kehidupan dalam masyarakat.
Masyarakat kita adalah masyarakat yang terbangun oleh konstruksi perbedaan – perbedaan, baik secara demografi, ras, suku, etnis, dan agama. Perbedaan tersebut disatukan kedalam kerangka acuan “ Bhineka Tunggal Ika “, yang secara garis besar meretas segala perbedaan tersebut. Di samping hal tersebut, nilai – nilai yang telah diwariskan oleh para pendahulu masyarakat kita adalah “ benteng “ atau “ Filter ” agar dapat memaknai perubahan tanpa mengkesampingkan tujuan untuk meraih kehidupan masyarakat yang sejahtera. “ Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai sejarahnya ” ungkapan dari Sang Proklamator, penanda kehidupan masyarakat kita sebagai “ Satu-Kesatuan ”  
Melihat tantangan zaman yang telah meng-global ini, memaknai kembali “ Satu – Kesatuan “ yang kita miliki ibarat kayuhan dayung menyusuri samudera kehidupan. Kekuatannya dibangun oleh rasa kebersamaan yang penuh toleransi, sebab pelangi perbedaan tersebut telah menghiasi kehidupan. Alangkah indahnya “ Satu-Kesatuan “ tersebut. Harapan yang dimulai dari “ pemaknaan-kembali ” individu terhadap tanggung jawabnya dalam membangun kehidupan masyarakat yang sejahtera. Sejarah telah menorehkan tinta emasnya dengan cerita heroik tentang kemerdekaan yang membebaskan masyarakat dari penjajahan..
Sulit untuk dipungkiri, saat sekarang realitas kehidupan masyarakat kembali terjajah secara multidimensi. Wajah baru dari pengulangan penjajahan kolonialisme. Pertanyaan besarnya, sanggupkah kita menjaga keutuhan sebagai individu atau bagian dari masyarakat yang telah digariskan sebagai “Satu-Kesatuan” untuk keluar dari penjajahan multidimensi ini? Bukankah “ Kekuatan-Kita “ terletak pada ikatan perbedaan tersebut, melalui emansipasi dan partisipasi menuju kesadaran baru. Dengan itu kita mulai “ membebaskan ” kehidupan masyarakat dari belenggu ketidak sejahteraannya


Bahan Bacaan
Osborn, Reuben, 2005, “ Marxisme dan Psikoanalisis “,  Alenia, Yogyakarta.
Pandoyo, Toto. S, 1985, “ Ulasan Terhadap Beberapa Ketentutan UUD 1945, Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan Demokrasi”, Liberty, Yogyakarta.
Sri H N, 2003, “ Partisipasi Politik Perempuan dalam Kebijakan Publik “, Jurnal Demokrasi Vol 1, no 1, Forum LSM, Yogyakarta.
Yunus, Firdaus.M, 2005, “ Pendidikan Berbasis Realitas Sosial “, Logung Pustaka, Yogyakarta.         
Bayu W

Selasa, 21 Agustus 2012

Big is Beautiful


Usap, kau usap setiap jengkal tubuhmu
Menari bersama impian buta
Pandang, kau pandang raut wajahmu
Tersenyum, mengejek cermin yang tak mampu menandingi kecantikanmu
Raba, kau raba setiap lekuk tubuhmu
Penanda gairah yang mengharap hadirmu
Gerak, kau gerakkan dirimu
Mengejar sejengkal mimpi yang menaungi hasratmu
Lihat, kau lihat duniamu
Terpaku dan terdiam mengunci kedua bibirmu
Dalam Lontaran takdir yang memasung dirimu
Diantara puji – pujian atas segala kemolekan dan kecantikan
Yang menjadi tuaian nasibmu.
(Mitologi Tubuh, Bayu W, Yogyakarta 18 April 2011)


Tubuh manusia merupakan keseluruhan struktu fisik organisme manusia. Masing-masing bagian merupakan system organ yang dirancang untuk melakukan fungsi kehidupan yang esensial. “ Tubuh “ manusia juga dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi dan komunikasi. Setiap individu meng-ekspresikan dan meng-komunikasikan dirinya dengan menyampaikan segala yang ada dalam pikiran dan hati. Baik itu kedalam dirinya sendiri maupun ke “ ruang sosialnya ”.
Tentunya memahami “ tubuh ” tidak berhenti pada titik tampilan fisik yang menawan saja. Lebih jauh, representasi tubuh setiap individu merupakan gerbang untuk memahami arti hidup dan kehidupan. Secara individu langkah awalnya diiringi pertanyaan siapakah aku dan apa tujuan hidupku ? Dan dalam lingkaran sosial, pertanyaan besarnya berkisar pada fungsi apakah yang dapat dilakukan untuk membangun kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, mau tidak mau setiap individu dituntut memiliki pemahaman yang baik akan arti, tujuan dan fungsi hidupnya, agar dapat  memaknai “ tubuh ” dengan elok.
Zaman terus bergerak dan memunculkan pandangan - pandangan baru tentang kehidupan, terutama proses memaknainya. Tak dapat dipungkiri terjadi per-luasan makna yang mengikuti gerak kehidupan. Terlihat jelas adalah perubahan yang awalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup secara individu dan kelompok, di Era ini setiap individu cenderung “ berlari ” mengejar kesempatan agar dapat memenuhi kebutuhan fisiologi dan merenggut kepuasan demi aktualisasi diri yang terkadang hanya sebuah kesenangan. Apabila tidak bijak, terjebak pada jerat kesenangan yang jauh dari makna aktualisasi diri yang seutuhnya.
Disamping itu, hasrat selalu menjadi pemenang mengiringi irama kompetitif kehidupan abad ini. Tak pelak, gaya hidup modern menjadi suatu keharusan meskipun ber-biaya tinggi. Akibatnya individu mesti bekerja tanpa mengenal waktu dan menjalani hidup dengan tergopoh - gopoh. Fenomena ini terus menjauh dari bayang kehidupan yang “tenang dan sederhana”. Meskipun nilai kesederhanaan dan kedamaian hidup tersebut bersifat subyektif.
Setiap tubuh manusia menjadi identifikasi, gambaran, dan melewati proses penerimaan individu terhadap “sosok” dirinya. keberagam bentuk tubuh manusia berfungsi sebagai pembeda antara satu individu dengan individu lainnya.
Secara mendasar kebutuhan tubuh adalah kebutuhan fisiologi, setelah itu bagaimana membangun “ diri “ dalam mengarungi kehidupan. Sayangnya pada abad modern ini sebagian individu terjebak pada persoalan yang tidak mendasar yaitu “bentuk tubuh”. Persoalan “tubuh ideal” dapat menjadi persoalan besar yang menggerus keyakinan dan kestabilan diri individu. Fenomena gaya hidup ini menggeser pewajatahan nilai – nilai “ke-dalaman pribadi”  dengan mengutamakan tampilan fisik.
Dampaknya terlihat jelas, “ Pesona diri ” dengan kepribadian yang utuh terselimut kabut tampilan. Lalu drama kehidupan di isi oleh tubuh – tubuh dan muka menawan namun kelam. Karena dinamika kehidupan yang dibangun oleh pola interaksi antar individu dipenuhi oleh penilaian baik dan buruk berdasarkan bentuk tubuh dan tampilan. Bentuk tubuh dan wajah yang kurang ideal tidak lagi memiliki kesempatan yang sama dalam mengaktualisasikan diri sesuai dengan kapabilitas dirinya. Sungguh miris, ditengah kerasnya usaha penyatuan atas perbedaan Ras, Suku, Agama dan Bangsa menjadi satu komunitas dunia yang utuh. Tumbuh satu penilaian yang meruntuhkan nilai – nilai kesamaan sebagai makhluk yang ber-label Manusia.
“ Tubuh ” adalah anugerah, perbedaan bentuknya menjadi warna – warni yang menghiasi kehidupan manusia. Dan “ ke-dalaman diri ” merupakan pilar utama untuk memaknai perbedaan tersebut.  
Bayu W




Kamis, 26 Juli 2012

Being-on-the-Earth



“ Spasialitas ” merupakan konsekwensi logis dari keberadaan manusia, karena Bumi adalah tempat bagi manusia dan berbagai makhluk lainnya melangsungkan kehidupan. Kemudian interpretasi terhadap Bumi dan kelangsungannya kelak bergantung pada manusia, sebab anugerah “Akal” yang diterima setiap individu diiringi oleh tanggung jawab yang relatif besar.

Pada dasarnya setiap individu memiliki kesadaran bahwa keberadaan mereka menjadi bagian dari kompleksitas kehidupan di atas Bumi ini. Setiap tindakan dan perilaku yang diaplikasikan berpengaruh pada “kenyataan” dan berkaitan erat dengan Bumi sebagai spasialitasnya. Begitupun sebaliknya, kondisi “ruang kehidupan” berpengaruh terhadap pembentukan perilaku dan tindakkan individu. Hubungan timbal-balik yang tidak bias dipisahkan.

Namun karena keanekara ragaman proses “penghayatan individu” terhadap kehidupan dan cara “memaknai” hubungan eratnya dengan ruang kehidupannya terealisasikan dalam berbagai bentuk tindakan, baik itu bersifat positif maupun negatif, seperti penguasaan, pengeksploitasian, pemeliharaan, peng-rusakkan, pemanfaatan dan berbagai tindakan – tindakan lainnya yang beraneka ragam. 

Dalam lukisan Being-on-the-Earth secara visual adalah bentuk seorang manusia dengan topi bulat sedang memeluk guling. Topi dengan bulatan berwarna merah merupakan simbol dari Bumi dengan situasi dan kondisinya sekarang ini. Kondisi Bumi yang telah kehilangan keseimbangan akibat perilaku manusia yang mengeksploitasinya secara membabi buta demi menyokong tingginya peradaban manusia. Kondisi ini mulai membuat situasi kehidupan menjadi kacau, Banjir, Gempa Bumi, Pergantian musim yang ekstrim dan tidak menentu, Pemanasan global, Berbagai bencana alam, Hingga mencairnya es di kutub – kutub bumi yang membuat naiknya permukaan laut.

Sedangkan manusia yang memeluk guling dengan hangat menjadi sebuah ajakkan agar menjadikan bumi ( Spasialitas) sebagai seorang sahabat atau sesuatu yang paling dikasihi, peduli dan menjaga seutuhnya. Karena menjaga keberadaannya sama seperti menjaga kehidupan saat ini dan keberadaan generasi manusia selanjutnya. 
Bayu W   

Minggu, 08 Juli 2012

Self Re-Construction


Konsep Performance Art dan Pameran Arsip di Gedung BI 
dalam Rangka FKY XXIV Future of AS Oleh Barak Seni Stefan

Mengapa tema pembebasan selalu menjadi perdebatan yang tak kunjung usai dari zaman ke-zaman? Salah satu jawabannya mungkin karena sampai saat ini masyarakat belum terbebaskan secara utuh, masih terbelenggu oleh aturan-aturan yang tidak sejalan dengan ruh demokrasi dan makna kebebasan itu sendiri.
“ Pembebasan ” dianggap mampu menghilangkan segala bentuk eksploitasi, dominasi, penindasan, ketidakadilan, dan tindakan-tindakan negative lainnya dalam kehidupan masyarakat. Pada dasarnya setiap individu selalu ingin membangun masyarakatnya, yang awalnya hanya tunduk dan patuh pada kondisi dan situasi dengan ke-“ lazim”an. Tapi zaman terus bergerak maju diiringi tuntutan baru, menjadi masyarakat yang ingin bersaing, mampu berfikir dan bertindak untuk meraih masa depan yang lebih baik. Meminjam ungkapan Paulo Freire: ingin merubah masyarakat kerucut (submerged society) menjadi masyarakat yang terbuka (open society).
Faktanya mayoritas masyarakat kita masih berada dalam ke-tundukan dan ke-patuhan yang tidak dilandasi dengan pengetahuan dan sikap kritis. Sopan – santun yang menjadi karakter masyarakat kita dipelintir dalam “kotak – kotak bias” dan level – level tertentu tergantung jabatan, kekuasaan dan kekayaan. Kisi – kisi kehidupan yang terbelenggu oleh aturan dan tatanan yang tidak membebaskan manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Pertanyaannya bagaimana merubah paradigma dalam kehidupan yang cenderung melihat “individu sebagai makanan lezat bagi individu lainnya”? ditambah lagi dengan minimnya penghargaan terhadap setiap individu agar tetap dipandang sebagai manusia tanpa embel - embel jabatan, kekuasaan dan kekayaan.


Salah satu langkah untuk meraih kebebasan yang dianggap sebagai jalan meraih masa depan lebih baik adalah meng-konstruksi kembali makna diri setiap individu. Karena masyarakat dibangun oleh individu – individu yang ada di dalamnya, dan langkah ini dapat membuka gerbang terhadap tujuan besar umat manusia yaitu masa depan yang lebih baik.
Secara personal Konstruksi-Diri mengacu kepada beberapa hal, Yaitu
a.       Self Esteem
self esteem mengacu pada perasaan umum tentang harga diri atau nilai diri yang dibentuk oleh hubungan timbal balik antara lingkungan, masyarakat dan diri individu.
b.      Self Efficacy
Self efficacy adalah kepercayaan pada kapasitas umum seseorang untuk menangani sebuah pekerjaan. Lebih spesifik mengacu pada kemampuan seseorang untuk menlakukan tugas khusus dan mampu mempertanggung jawabkannya.
c.       Self Concept
self concept adalah sifat dasar dan pengorganisasian diri seseorang. Self concept dirumuskan dalam bentuk multi dimensi. Baik aspek fisik, emosi, dan hubungan dengan ruang sosial yang terangkum dalam dirinya.
d.      Self Confidence
Self confidence adalah kombinasi dari self esteem dan self efficacy umum. Yaitu individu yang memiliki harga diri atau nilai diri dan memiliki kemampuan untuk menlakukan tugas khusus dan mampu mempertanggung jawabkannya. Dengan kata lain individu telah menemukan dirinya dalam mengarungi kehidupan.
Di tengah kehidupan yang sudah sangat maju ini cukup layak kita kembali mempertanyakan kembali makna diri. Dengan tujuan dapat meng-konstruksi masa depan yang lebih baik.Konstruksi-Diri dimulai dari mengenali diri sendiri dan lingkungan tempat diri bernaung, termasuk tujuan – tujuan yang ingin digapai dan harapan yang ingin diwujudkan secara personal dan sosial. Karena mengkonstruksi-Diri tidak bisa lepas dari dinamika sosial, dimana setiap individu saling ber-interaksi, melebur dan menjadi bagian utuh dalam membangun kehidupan sosial yang lebih baik. Sebab setiap Konstruksi-Sosial memiliki karakter-sosial dan budaya yang dibangun oleh individu – individu di dalamnya.   
Dari Konstelasi di atas Self Re-Construction digambarkan dalam karya seni dengan memadukan beberapa item. Yaitu
A. Pakaian
Pakaian disini menjadi pengandaian identitas setiap individu. Setiap individu tidak bisa lagi menengok kebelakang, merubah sesuatu yang telah terjadi dan ditinggalkan oleh waktu. Namun setiap individu dapat mempertanyakan kembali makna kehadiran dirinya dalam kehidupan ini, berusaha mencapai tujuan dan berani mewujudkan harapannya dimasa yang akan datang.
Potongan – potongan kain kanvas dirangkai ( menggunakan kanvas karena profesi yang kami lakoni sangat dekat dengan kanvas ) merupakan perwujudan setiap pakaian yang membawa karakter dan watak tertentu dari setiap manusia. Dan tentunya memiliki tujuan dan impian
B. Warna – warni sentuhan, relasi antar manusia.
Terlepas dari personalisasi individu, ruang selanjutnya adalah Ruang – Sosial. Ruang dimana setiap Individu memainkan perannya. Peran yang dimainkan oleh setiap individu selau bersinggungan dan berinteraksi dengan individu lainnya. Ibarat kata, setiap individu adalah warna dan warna tersebut dapat tertuang ketika relasi antar individu tercipta dengan unik.

Dari pemikiran inilah Barak Seni Stefan, Komunitas Rupa – Rupa dan beberapa teman lainnya mewujudkan gagasan dengan penggabungan Metode Penciptaan Karya Seni dan Performance Art. Yang dilaksanakan untuk memeriahkan Festival Kesenian Yogyakarta XXIV Future of As 2012.

Selasa, 03 Juli 2012

"BORDER STORIES" / " BATAS CERITA " Solo Sculpture Exhibition by Jhoni Waldi at the Phoenix Hotel Yogyakarta - Indonesia



Tidak ada manusia yang bisa menyimpan rahasia. Bila bibirnya diam ia akan berceloteh dengan ujung jarinya, Rahasia terbersit dari seluruh pori-pori kulitnya.
Sigmund Freud


Bahasa Sunyi - Manusia
Manusia merupakan makhluk yang memiliki kompleksitas yang sangat tinggi. Kajian tentang manusia dilihat dari eksistensi dan aktivitasnya. Berbagai ahli dengan sudut pandang dari disiplin ilmu mereka memberikan pengertian tentang konsep manusia. Namun terdapat kesepakatan bahwa manusia adalah makhluk yang tersusun dari jasmani (fisik) dan kesadaran inderawi ( jiwa/rohani ) Bustanuddin Agus menyebutkan daya manusia terdiri dari fisik, otak, perasaan, hati nurani dan kemauan/nafsu. Selanjutnya Jean Paul Sartre menjelaskan gejala-gejala dasar manusia berupa imajinasi, emosi, tatapan, dan tubuh. Manusia mempunyai daya cipta, dan juga terdiri dari intuisi, apresiasi estetik, jiwa,dan religius.
Prinsip menjadi Implementasi dari daya manusia ketika menjalani realitas kehidupan. Adalah, kumpulan dari cara pandang, harapan dan cita – cita yang bertujuan untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Ke-Unikkan manusia terlihat dari “ke-otomatisan” yang luar biasa, mampu berfikir dan memikirkan apa yang sedang difikirkan, Mampu melakukan sesuatu sesuai dengan kapabilitas dirinya dan mampu meng-evaluasi apa- yang telah dilakukannya dalam menjalani kehidupan. Untuk itu manusia selalu berdialog dengan dirinya selain berinteraksi dengan manusia lainnya.
Di sisi lain manusia adalah makhluk sosial, dimana setiap individu saling berinteraksi satu sama lainnya. Proses dan dinamika interaksi antar manusia dibentuk oleh jalinan perilaku individu yang menuntut beragam keterampilan personal. Salah satunya adalah kemampuan berbahasa. Menurut Saussure bahasa merupakan suatu sistem tanda ( sign ), elelmen dasarnya adalah tanda – tanda kebahasaan ( Linguistik Sign) Fungsinya untuk menyampaikan ide – ide atau pengertian – pengertian tertentu.
Selain sebagai alat komunikasi, bahasa menjadi alat untuk menyampaikan gagasan, dan perasaan. Kemampuan berbahasa menjadi gambaran dari karakter, watak dan perilaku individu. Bahasa manusia berupa bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal adalah kemampuan manusia untuk berdialog menggunakkan kode – kode vokal dan bunyi. suara. Sedangkan non verbal adalah bahasa tubuh. Bahasa “ Sunyi “ yang menggunakan gerak tubuh termasuk mimik muka dan lainnya. 
Tubuh manusia merupakan keseluruhan struktur fisik organisme manusia. Masing-masing merupakan bagian sistem organ yang dirancang untuk melakukan fungsi kehidupan yang esensial. Dalam Perspektif Fisiologi tubuh manusia bekerja sesuai dengan fungsinya masing - masing. Sadar atau tidak, beberapa atau banyak orang yang mengirim dan menerima sinyal non-verbal ketika melakukan interaksi sosial.
Pada umumnya manusia mampu berkomunikasi dengan bahasa lisan secara fasih. Namun seringkali ucapan atau kata-kata yang keluar dari mulut seseorang ternyata tidak sesuai dengan fakta yang ada, membuat bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh gerak tubuh dan mimik wajah manusia menjadi penyeimbang untuk menyampaikan suatu “kebenaran”. Bahasa tubuh merupakan alat komunikasi yang jujur. Karena, ekspresi perasaaan dan keinginan yang muncul dari alam bawah sadar memberi tanda melalui gerak tubuh manusia. Sigmund Freud menyatakan bahwa tidak ada manusia yang bisa menyimpan rahasia. Bila bibirnya diam ia akan berceloteh dengan ujung jarinya, Rahasia terbersit dari seluruh pori-pori kulitnya.
Di era globalisasi ini masyarakat dihadapkan dengan berbagai permasalahaan, persoalan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang ” memiskinkan manusia”. Merespon perubahan zaman dengan segala kecanggihan dan kompleksitas persoalan dalam realitas kehidupan. Setiap individu memiliki “ Lingkar Perjalanan-nya ” masing – masing. Dalam pandangan Jhoni Waldi, Sudah saatnya untuk tidak membahasakannya dalam nuansa keluhan atau cerita – cerita senandung harapan. Tapi saatnya untuk berbuat, melakukan sesuatu hal yang terbaik demi masa depan. 

Representasi Tubuh dalam karya Jhoni Waldi.
Jhoni Waldi, dengan karya –karya tiga-dimensional (patung ) adalah representasi tubuh yang berbicara. Tubuh – tubuh dengan berbagai gesture merupakan bahasa yang di gagasnya ketika merespon dinamika kehidupan yang telah mengalami kemajuan dan perkembangan pesat dengan segala kompleksitas permasalahannya. 
Kehidupan sosial di era teknologi dengan irama kompetitif ini berimbas pada distorsi kehidupan yang instan. Beragam fenomena – fenomena kehidupan mempertunjukkan, betapa mudahnya orang – orang mengumbar kata – kata atau janji yang tidak dapat dipenuhinya. Bahkan mengumbar kata – kata “ bohong “ demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mengikis rasa persaudaraan dan rasa percaya. Apa yang akan manusia lakukan apabila tidak ada lagi rasa percaya? Atau segala sesuatu harus ditimbang dengan materi, nilai untung rugi? Kecenderungan - kecenderungan tersebut melahirkan perilaku - perilaku destruktif dalam dinamika kehidupan masyarakat.
Pertanyaan dan pernyataan kritisnya tertuang dalam karya – karya yang menyodorkan kembali  proses – proses “ Pematangan Manusia ”, dan mengajak untuk memasuki sebuah dimensi perenungan mendalam atas kehadiran sosok yang bernama Manusia. Agar kedepannya dapat melakukan sesuatu yang terbaik untuk kehidupan personal dan sosial masyarakat.

Untuk mewujudkan gagasan – gagasan tersebut Jhoni Waldi  memadukan beragam teknik dan material dalam penciptaan karya patungnya. Seperti Kayu Jati, Cetak Alumuniun, Perunggu, Logam, Tembaga dan Kuningan. Bahkan pada beberapa karyanya Jhoni Waldi berani menggabungkan beberapa bahan atau material tersebut. Penggabungan beberapa material tersebut tentu memerlukan “ Strategi Khusus”. Karena sifat dasar material yang berbeda memerlukan perlakuan yang berbeda pula, dan strategi ini dapat menjaga “gagasan” dalam karya patung yang diciptakannya dapat tersampaikan. Penguasaan Materi dan teknik yang mumpuni membuat “ Gerak-Tubuh” dalam karya patungnya membuat tanda – tanda tersebut mengalir menjadi satu bahasa yang sarat makna dan memikat mata. Ibarat syair – syair kehidupan yang menyejukkan.
Bayu W

Kamis, 01 Maret 2012

Identity Song

Setiap manusia pernah mengalami kecenderungan kebingungan identitas. Misalnya pada masa remaja, pada tahapan ini individu berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas dirinya secara berlebihan. Sehingga tak jarang dipandang sebagai bentuk perilaku ekstrim dalam mengekspresikan diri pribadi. Meskipun demikian kebingungan identitas dapat juga terjadi pada manusia dewasa, ketika tidak dapat menemukan identitas dirinya secara utuh.
Identitas individu dikonstruksi oleh berbagai atribut yang pada indiividu tersebut, seperti Ciri – ciri fisik, Profesi, Hobi, Kecakapan intelektual, Kecakapan emosi, Eksistentensi personal dan lainnya. Pertanyaan awalnya adalah Siapa aku? Dialog yang dilakukan individu untuk menjangkau kedalaman dirinya sendiri. Namun hal tersebut juga dapat dilihat sebagai upaya pribadi untuk merespon dunia kehidupan di luar dirinya. Selanjutnya, sadar atau tidak sadar individu berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Descartes mendefinisikan “ Aku ” tersebut sebagai sesuatu yang berfikir. Ungkapan ini menekankan bahwa pondasi keberadaan manusia tergantung dan terlihat dari ke-berfikirannya. Berbeda dengan pendapat tersebut, beberapa ahli lainnya beranggapan Self Identity merupakan bagian dari Sosial Identity. Pada tataran ini, identitas tidak hanya diidentifikasi dari atribut personality, tapi juga dipandang dari ruang social sebagai tempat keberadaan individu.
Kemudian dapatkah seseorang dianggap sebagai identitas personal yang bersifat tunggal? Foucault secara tegas mengutarakan ( Do not ask who I am and do not ask me to remain the same! ) Jangan tanyakan Siapa Aku dan jangan harap aku akan berubah, karena setiap waktu aku mengalami perubahan. “ Aku ” saat ini berbeda dengan “ Aku “ yang lalu atau “ Aku “ yang akan datang. Selaku identitas yang Hibrid “ Aku “ dapat bertransformasi dan meloncat dari satu identitas ke identittas yang lain.
Dari konstelasi diatas dapat diurai, bahwasanya identitas individu dimulai dari identifikasi terhadap diri pribadi dan ruang sosialnya. Sebab, identitas tidak sekedar label nama, jenis kelamin dan pekerjaan dalam kartu identitas yang dimiliki oleh setiap individu. Melainkan kompleksitas dari personality individu dalam meretas kehidupannya.
Individu terdiri dari tubuh dan jiwa, hubungan timbal-balik antara keduanya membentuk karakter individu. Sedangkan dalam perspektif sosial individu adalah makhluk sosial, dengan pengertian yang lebih luas identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang hidup di tengah masyarakat. Segenap identifikasi diintrogasikan dengan peranan sosial secara “ Aku “, sehingga individu dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain. Selain hal tersebut individu dapat merasakan bahwa dia sudah menjadi bagian dalam kehidupan sosial dan berguna bagi kehidupan orang lain. Semuanya itu dapat terjadi apabila individu sudah dapat menemukan siapakah dirinya.
Identitas merupakan kulminasi nilai-nilai personal dan sosial masyarakat. Erikson dengan “Epigenetic Principle” berasumsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap diri dan sosialnya.
Begitulah identitas, syair – syair yang dituliskan oleh setiap individu untuk menjawab pertanyaan personal yang dalam, Siapakah “ Aku “? Selebihnya adalah hubungan yang saling terkait dengan lingkungan dan tanggung jawab sosialnya. Eksistensinya tidak lagi meluncur kedalam ruang – ruang sunyi pribadi, melainkan irama dari dentingan persoalan kehidupan masyarakat. Akhirnya, Ritmik dari nyanyian identitas individu adalah nyanyian jiwa manusia yang bertujuan untuk menggiring peradaban manusia kearah yang lebih baik. Sebab harga yang paling mahal telah dibayarkan manusia untuk mengiringi kemajuan teknologi dan modernisasi saat sekarang ini adalah sifat individualisme, kerusakan lingkungan dan terperangkapnya nilai sosial masyarakat di atas timbangan untung-rugi. 
Bayu W

Bahan Bacaan
Hardiman Budi F. 2004. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzche,
Gramedia, Jakarta
F.J. monks, A.M.P. Knoers, Siti RH. 2001 Psikologi Perkembangan
Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Hurlock. 1994. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Erlangga. Jakarta.