Sabtu, 13 Oktober 2012

Satu – Kesatuan





Tubuh ini sama seperti tubuhmu,
Hati ini sama seperti hatimu
jiwa ini sama seperti jiwamu
Bersama perbedaan yang menjadi kodrat kita
(Bayu W, Yogyakarta 10 agustus 2012)



Peradaban telah terbangun dengan sedemikian hebatnya, kemajuan teknologi dan perangkat informasi telah menipiskan sekat – sekat ruang dan waktu. Kehidupan terlihat menjadi semakin mudah dengan berbagai fasilitas yang serba modern, dan gaya hidup manusia pun berubah mengikuti perkembangan zaman tersebut ( meski bersifat relatif dan subyektif ).
Manusia adalah penggerak kehidupan. Kemampuan akal, besarnya keinginan dan kreativitasnya terus mengeksplorasi seluruh elemen – elemen kehidupan, membawa peradaban pada gerbang ke-emasan. Berbanding terbalik dari hal tersebut, “ keinginan dan ambisi " manusia dapat menjadi jembatan yang menghantarkan kehidupan pada akhir kisahnya.
Sebagai individu manusia tetap menjadi bagian dari kelompok tertentu. Dia tidak serta merta hadir dalam konstelasi kehidupan, melainkan hadir bersama konstruksi nilai dan makna yang telah ada. Namun kemampuan adaptasinya dapat mengkreasikan keinginan personal bersama sistem ataupun pola kehidupan yang telah ada. Bahkan bukan tidak mungkin dia dapat merubah konstruksi tersebut secara ekstrim lalu membangun konstruksi baru yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Hal itu dapat saja terjadi, ketika “ Moda-Personal “ individu dapat menjadi cakrawala baru yang mewarnai kehidupan dan mendapat peng-aminan dari sebagian besar individu lainnya. Meskipun catatan sejarah juga mencatat  tentang dinamika perubahan yang tercipta dengan cara – cara yang tidak manusiawi, sepanjang peradaban manusia.
Dalam kehidupan setiap perubahan adalah keabadian. Berbagai ragam bentuk perubahan terposisikan dalam “ lingkar-pilihan “ demi sesuatu yang dianggap lebih baik, seiring dengan prediksi kesejahteraan hidup dimasa mendatang.  Tapi realitasnya tidak selalu sesuai dengan prediksi – prediksi tersebut. Sebab, realitas adalah peristiwa atau jalinan peristiwa yang tersaji dalam fakta – fakta kehidupan, dibentuk oleh relasi dan interrelasi dari semua komponen dan elemen kehidupan. Bersamaan dengan hal itu, kekuatan “ misteri-waktu ” tetap konstan, tidak dapat disegerakan sesuai dengan keinginan setiap manusia.
Eksistensi individu memiliki hubungan erat dengan kehidupan masyarakat dan keseimbangan alamnya. Dan dua hal ini tidak bisa begitu saja dilepaskan dari proses perjalanan individu menuju nisannya. Kehidupan masyarakat mengacu pada totalitas hubungan dimana manusia hidup. Dengan jitu masyarakat didefinisikan oleh Ginsberg sebagai jaringan interaksi dan interrelasi antar manusia ( dalam Reuben Osborn, Marxisme dan Psikoanalisis, hal 99, 2005). Bersama dengan perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat dizaman ini, ruang lingkup kehidupan masyarakat telah meng-global menjadi “ Masyarakat-Dunia “. Setiap individu dapat berinteraksi dan menjalin relasi dengan individu lain dari belahan dunia lainnya. Proses tersebut lambat laun membuka ruang untuk terjadi proses pertukaran budaya, perdagangan, terciptanya nilai hukum dan norma social yang berskala internasional.
Sedangkan dalam sudut pandang Marxisme masyarakat adalah sarana organisasional dimana manusia bekerjasama dalam mendapatkan mata pencahariannya. Manusia memaksakan perjuangannya untuk eksis dengan cara proses produksi manusia ( dalam Reuben Osborn, Marxisme dan Psikoanalisis, hal 102, 2005).
Selanjutnya Reuben Osborn menjelaskan istilah proses produksi, cara produksi dan metode produksi merupakan upaya untuk memperoleh mata pencahariannya, seperti makanan atau pemenuhan kebutuhan fisiologi, pakaian dan papan. Berhubungan dengan proses produksi Marx mengelompokkan menjadi dua faktor : Faktor subyektif berhubungan dengan peran manusia, dimana manusia harus saling membela dalam aktivitas produksi, pembagian tugas, cara pembagian proses produksi, hubungan property, jenis organisasi, kartel, koperasi masyarakat yang secara langsung mempengaruhi kegiatan produksi. Singkatnya, jumlah hubungan yang secara langsung terlibat dalam hidup masyarakat yang produktif.
Marx menyatakan “ Dalam proses produksi manusia tidak hanya bertindak sesuai dengan tuntutan alam, namun juga karena tuntutan satu sama lainnya. Mereka bekerjasama dengan cara tertentu, bertukar kegiatan dan terlibat dalam hubungan yang saling menguntungkan “ Sedangkan Faktor obyektif merupakan obyek alam yang diberikan secara alami, yaitu tanah, hutan, laut, mineral dan berbagai bahan tambang. Selanjutnya adalah peralatan produksi. Hal – hal inilah yang kadang disebut Marx sebagai sarana produksi dan kekuatan produksi. ( dalam Reuben Osborn, Marxisme dan Psikoanalisis, hal 101, 2005)
Tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban serba modern ini merupakan “ Era-produksi “ dengan karakteristik masyarakat yang produktif, sekaligus konsumtif. Sedangkan kidungnya adalah Irama kehidupan yang serba kompetitif.  Pertanyaannya, apakah kondisi dan situasi ini akan membawa kehidupan masyarakat pada akhir kisahnya? Kehilangan jati diri, harga diri dan terkebiri, sebab segala sesuatu dilihat sebagai komoditi?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita melihat reaitas sosial masyarakat kita yang telah memasuki Era Globalisasi ini. Sekelumit realitas yang terkisahkan. Pertama, Tindak Kekerasan dan Tingginya Angka Kriminalitas. Berbagai tindak kekerasan telah menjadi bagian dalam realitas kehidupan masyarakat, mulai dari tawuran antar pelajar hingga kekerasan antar kelompok berdasarkan Etnis dan Agama. Selain berbagai faktor penyebab lainnya, seperti kemiskinan dan pengangguran. Tingginya angka kriminalitas juga menjadi cerminan dari lemahnya penegakkan hukum dan tergerusnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan perangkatnya sebagai landasan berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Lalu, pada dimensi tertentu perilaku tindak kekerasan dan kriminalitas dianggap sebagai solusi dari berbagai permasalahan yang ada.
 Kedua, Wajah Buram Panggung Politik menjadi “ Parodi yang berbahaya “ dalam kehidupan masyarakat. Sebagian besar kelompok – kelompok yang memiliki kekuasaan politik atau tokoh – tokoh politik masih mencampur adukkan tujuan ber-politik demi mencapai kehidupan masyarakat yang sejahtera dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tentu mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok yang menjadi pilihan utama, ketika kelompok atau individu ini berhadapan dengan pilihan : Berusaha mensejahterakan kehidupan masyarakat dengan konsekuensi harus bekerja keras, melakukan pengabdian dan pengorbanan.
Di Era Media ini, gembar – gembor janji para pelaku-politik-praktis selama ini terbukti hanya untuk mendongkrak popularitas mereka.  Karena keputusan politik ataupun kebijakkan yang dimuat dengan alasan “ demi kedamaian dan kesejahteraan masyarakat “ jauh dari upaya membangun realitas kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Bahkan tidak jarang keputusan yang dibuat meruntuhkan mental masyarakat, karena kehidupan akan semakin sulit setelah diterapkannya keputusan tersebut. Kebijakan diartikan oleh Carl Friedrich sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan – hambatan tertentu, seraya mencari peluang – peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan ( Solichin 1997 dalam Sri H N, Partisipasi Politik Perempuan dalam Kebijakan Publik, Jurnal Demokrasi Vol 1, no 1, November 2003 ).
Dari kompleksitas permasalahan yang di hadapi masyarakat selama ini, kebijakan publik yang selalu terjadi adalah Listrik naik, BBM naik karena subsidi di cabut, kemudian diikuti oleh naiknya harga kebutuhan pokok. Realitas ini menjadi representasi dari “ dongeng pelayan jadi majikan “ yang telah menjadi kenyataan. Akhirnya tanggung jawab mereka untuk mencari solusi untuk meraih kesejahteraan hidup bermasyarakat “ menguap “ begitu saja.
Ketiga, ” Jembatan-Kebudayaan “ yang mulai rapuh. Konstelasi budaya tidak bisa dilepaskan dari elemen demografi, niai – nilai dan norma sosial yang terangkum dalam adat-istiadat. Menjadi penuntun perilaku masyarakat sekaligus membentuk karakteristiknya. Pola kehidupan tersebut menjadi pilar keseimbangan dalam meretas perbedaan dengan penuh toleransi, termasuk hubungan eratnya dengan “ Kebajikan-Alam “. Meskipun pada kasus – kasus tertentu perbedaan budaya dianggap dapat memicu sebuah konflik. Namun ketika melihatnya lebih dalam, konflik beralasan beda kebudayaan ini hanya dijadikan “ kedok ” untuk kepentingan atau tujuan tertentu.
Kesenian sebagai proyeksi dari kebudayaan di Era Globalisasi ini telah menunjukkan eksistensinya sebagai jembatan-penghubung untuk saling memahami perbedaan yang menjadi kodrat kita sebagai individu dan bagian dari kelompok, etnis, agama dan Negara tertentu. Karya budaya ini menjadi medium ekspresi individu dan masyarakat, “ melegakan-dirinya “ menghadapi “ represi-realitas “ dalam keseharian mereka. Tak jarang karya – karya budaya yang menjadi bagian dari rekam jejak perjalanan masyarakat dicaplok begitu saja oleh bangsa lain. Sedangkan “ Sang-Penguasa “ sibuk menggadaikan dan menjual potensi sumber daya kehidupan lainnya. Lambat laun kerapuhan itu mulai terasa, sebab generasi penerus menggeser ke-banggaannya dengan gaya hidup modern tanpa filter nilai - nilai dan moralitas karakter masyarakatnya.  
Riuhnya perkembangan teknologi informasi dan peran media massa mewarnai kehidupan masyarakat, yaitu menjadi Masyarakat-Informatif. Sebagai bagian Keempat, Media Massa memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan masyarakat. Sisi baiknya, Media Massa yang pengolahan informasinya sangat “ apik ” dan “ terpercaya “ menjadi sarana pendidikan masyarakat yang efektif. Selain hal tersebut teknologi informasi menjadi ruang alternatif interaksi maupun menjalin relasi. Berbanding terbalik dari hal tersebut, apabila tidak bijak dalam menyajikan informasi dan menggunakannya akan menjadi “ boomerang ” bagi kehidupan masyarakat. Seperti tayangan – tayangan tindak kekerasan yang di-imitasi oleh anak – anak atau informasi yang tidak dapat dipercaya, gossip dan pornografi   
Kelima, Hukum dan Abu – Abunya Warna Keadilan. Setiap warga Negara memiliki kedudukan yang sama di muka hokum dan pemerintahan. Selain itu Pasal 27 (1) UUD 1945, berarti bahwa adanya pengakuan terhadap hak azazi manusia dalam kehidupan masyarakat, dan dijamin pelaksanaannya secara konstitusional serta direalisasikan dengan peraturan perundang – undangan lainnya ( S. Toto Pandoyo, S.H, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentutan UUD 1945, Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan Demokrasi, 1985 ). Memang di muka hokum ditentukan seperti hal tersebut, namun yang menjadi persoalan adalah proses untuk mendapatkan keadilan di mata hukum.   
Salah satu penyebabnya adalah keadilan sering disusupi oleh berbagai kepentingan yang merusak keadilan itu sendiri. Penerapan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan memang masih menjadi pekerjaan yang berat, ditambah lagi dengan persoalan penyelewengan kewenangan oleh penegak hukum atau “ jual beli keadilan ”. Fakta ini masih menjadi cerita pengantar tidur generasi berikutnya, merusak mimpinya dan mengukir noktah hitam di hatinya.
Selanjutnya, banyak slogan – slogan baik di media cetak, online ataupun elektronik menyatakan “ Awas Budaya Korupsi Telah Mengakar “. Atau sinonim kalimat lainnya yang menggabungkan antara kata “ Budaya “ dan Korupsi. Kita harus jelas mengatakan bahwa Korupsi Bukanlah Karakteristik Masyarakat dan Budaya Kita. Mereka Maling….! Tidak ada Budaya-Korupsi. Yang ada adalah pembiaran perilaku maling dalam konstelasi kehidupan masyarakat kita karena penyelewengan kekuasaan dan lemahnya penegakkan hukum.
Terdapat bahaya – bahaya besar ketika perilaku ini terus berkembang. Karena akibatnya tidak saja dirasakan oleh masyarakat yang hidup saat ini tapi juga generasi selanjutnya.  Pilihan untuk melegalkan “ Hukuman mati “ dapat menjadi opsi utama untuk meredam perilaku ini. Karena perilaku korupsi ini lebih kejam dari pembunuhan massal yang dilakukan oleh para “ penjahat-perang”. Mereka menyengsarakan dan membunuh secara perlahan – lahan, bahkan kemudian mengebiri generasi selanjutnya.
Salah satu akibat dari perilaku ini adalah telah berpindah tangannya sumber daya alam yang seharusnya menjadi modal dasar kita untuk tumbuh dan berkembang secara bersama – sama sebagai satu – kesatuan masyarakat. Hutan , tanah, sungai dan laut kita yang bernilai ekonomis tinggi telah dieksploitasi dijadikan tambang – tambang yang sebagian besar keuntungannya bukan untuk membangun kesejahteraan hidup, tapi demi keuntungan segelintir individu. Parahnya, terkadang kepemilikannya pun telah berpindah tangan menjadi milik pribadi atau perusahaan – perusahaan multinasional.
Fakta selanjutnya adalah Fenomena Mahalnya Biaya Kesehatan dan Pendidikan Mengancam Kehidupan Generasi Mendatang. Kesehatan adalah perihal utama dari peran setiap individu saat melakoninya. Tidak ada upaya dan usaha yang akan berhasil ketika individu menjalaninya dalam keadaan sakit. Selain itu, pendidikan menjadi permasalahan utama untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, mandiri dan sejahtera, sesuai dengan kesepakatan masyarakat kita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Menurut Mangunwijaya terjadi berbagai persoalan yang menindas kehidupan masyarakat disebabkan oleh rendahnya pendidikan yang mereka miliki. Padahal proses pendidikan menyadarkan masyarakat dalam keseluruhan system perubahan sosial. Oleh karena itu, untuk melepaskan mereka dari penindasan dan kemiskinan harus melalui pendidikan. Masyarakat yang berpendidikan biasanya tidak gampang untuk dibodohi, dihina, terlebih lagi ditindas. Mangunwijaya melihat terjadinya ketidak adilan, pemiskinan, penindasan masyarakat lebih disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pendidikan, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kelangsungan pendidikan, terutama bagi mereka yang hidupnya miskin (Mangunwijaya dalam Firdaus M Y, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Hal 83, 2005)         `
Naif memang, ketika pelayanan kesehatan dan pendidikan menjadi “ bisnis-baru “ dalam kehidupan masyarakat di era globalisasi yang semakin kapital ini. Hal – hal yang menjadi kebutuhan utama masyarakat tidak lagi menjadi tanggungan penyelenggara kehidupan bermasyarakat. Pertanyaannya, bagaimana menciptakan masyarakat yang cerdas dan mandiri ketika untuk sehat dan memperoleh pendidikan saja masih menjadi persoalan yang pelik?  Sedangkan “mereka” sibuk melakukan penilaian – penilain dengan survey – survey tertentu yang memberikan gambaran bahwa kehidupan masyarakat secara ekonomi terus mengalami peningkatan yang signifikan. Padahal hujan masalah yang kompleks membasahi realitas kehidupan masyarakat
Kemudian yang terakhir dari penggalan realitas kehidupan masyarakat kita saat ini adalah  ujung-kerucut atau pangkal permasalahan dari sebagian besar persoalan yang sedang terjadi. Dapat juga dikatakan sebagai Penyebab-Permasalahan-Besar, Yaitu : Faktor Ekonomi. Gemericik permasalahan itu timbul karena doktrinisasi ekonomi yang jauh dari rasa keadilan. Yaitu, “ dengan modal sekecil – kecilnya harus mendapatkan untung yang sebesar – besarnya “. Secara dangkal, filosofi ekonomi ini “ menghalalkan ketidak-adilan sosial ”. tidak ada lagi toleransi, budaya gotong royong dan rasa kebersamaan. Sebab semuanya dilihat dan dihargai oleh kepentingan – kepentingan yang menjanjikan keuntungan materialistic. Fenomena ini jauh dari karakteristik masyarakat kita yang menjunjung nilai – nilai kearifan dan kebijaksanaan.
Mengacu pada karakteristik masyarakat yang di ungkap oleh Marx di atas, faktanya realitas ekonomi masyarakat global saat ini berada pada titik harus-berproduksi dan konsumtif. Konspirasi – konspirasi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi bermodal besar dengan Pembuat Kebijakkan, Penegak Hukum membangun kesenjangan sosial dengan menghancurkan kesempatan bagi yang lainnya. Menciptakan nilai – nilai baru dengan berbagai Proses-Doktrinisasi, seperti gaya hidup yang serba mewah “ disimbolkan ” sebagai bentuk kehidupan modern nan indah. Yang paling membahayakan ketika pola ini menjadi “ Ideologi-baru “  dalam kehidupan masyarakat dengan menganggap “ semua adalah Komoditi “.Dan kondisi realitas ini bak bom waktu yang akan mengakhiri kisah kehidupan masyarakat dengan interaksi dan interrelasi yang dikonstruksi berdasarkan nilai – nilai  keluhuran budi.
Menilik sekelumit penggalan realitas sosial ini wajar kiranya ketika kengerian menyeruak dalam dada setiap individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Bagaimana tidak anak – cucu yang terlahirpun telah terlilit oleh “ utang “, meskipun siapa yang berhutang dan sebab apa harus berhutang mereka tidak tau dan tidak mengerti. Globalisasi adalah fenomena multidimensional, meskipun yang disorot lebih pada aspek ekonomi, namun dampak sosial tidak kalah penting. Terutama masalah menjaga karakterisitik nilai – nilai kehidupan dalam masyarakat.
Masyarakat kita adalah masyarakat yang terbangun oleh konstruksi perbedaan – perbedaan, baik secara demografi, ras, suku, etnis, dan agama. Perbedaan tersebut disatukan kedalam kerangka acuan “ Bhineka Tunggal Ika “, yang secara garis besar meretas segala perbedaan tersebut. Di samping hal tersebut, nilai – nilai yang telah diwariskan oleh para pendahulu masyarakat kita adalah “ benteng “ atau “ Filter ” agar dapat memaknai perubahan tanpa mengkesampingkan tujuan untuk meraih kehidupan masyarakat yang sejahtera. “ Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai sejarahnya ” ungkapan dari Sang Proklamator, penanda kehidupan masyarakat kita sebagai “ Satu-Kesatuan ”  
Melihat tantangan zaman yang telah meng-global ini, memaknai kembali “ Satu – Kesatuan “ yang kita miliki ibarat kayuhan dayung menyusuri samudera kehidupan. Kekuatannya dibangun oleh rasa kebersamaan yang penuh toleransi, sebab pelangi perbedaan tersebut telah menghiasi kehidupan. Alangkah indahnya “ Satu-Kesatuan “ tersebut. Harapan yang dimulai dari “ pemaknaan-kembali ” individu terhadap tanggung jawabnya dalam membangun kehidupan masyarakat yang sejahtera. Sejarah telah menorehkan tinta emasnya dengan cerita heroik tentang kemerdekaan yang membebaskan masyarakat dari penjajahan..
Sulit untuk dipungkiri, saat sekarang realitas kehidupan masyarakat kembali terjajah secara multidimensi. Wajah baru dari pengulangan penjajahan kolonialisme. Pertanyaan besarnya, sanggupkah kita menjaga keutuhan sebagai individu atau bagian dari masyarakat yang telah digariskan sebagai “Satu-Kesatuan” untuk keluar dari penjajahan multidimensi ini? Bukankah “ Kekuatan-Kita “ terletak pada ikatan perbedaan tersebut, melalui emansipasi dan partisipasi menuju kesadaran baru. Dengan itu kita mulai “ membebaskan ” kehidupan masyarakat dari belenggu ketidak sejahteraannya


Bahan Bacaan
Osborn, Reuben, 2005, “ Marxisme dan Psikoanalisis “,  Alenia, Yogyakarta.
Pandoyo, Toto. S, 1985, “ Ulasan Terhadap Beberapa Ketentutan UUD 1945, Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan Demokrasi”, Liberty, Yogyakarta.
Sri H N, 2003, “ Partisipasi Politik Perempuan dalam Kebijakan Publik “, Jurnal Demokrasi Vol 1, no 1, Forum LSM, Yogyakarta.
Yunus, Firdaus.M, 2005, “ Pendidikan Berbasis Realitas Sosial “, Logung Pustaka, Yogyakarta.         
Bayu W

Tidak ada komentar:

Posting Komentar