Tubuh ini sama seperti
tubuhmu,
Hati ini sama seperti
hatimu
jiwa ini sama seperti
jiwamu
Bersama perbedaan yang
menjadi kodrat kita
(Bayu W, Yogyakarta 10
agustus 2012)
Peradaban telah
terbangun dengan sedemikian hebatnya, kemajuan teknologi dan perangkat
informasi telah menipiskan sekat – sekat ruang dan waktu. Kehidupan terlihat
menjadi semakin mudah dengan berbagai fasilitas yang serba modern, dan gaya
hidup manusia pun berubah mengikuti perkembangan zaman tersebut ( meski
bersifat relatif dan subyektif ).
Manusia adalah
penggerak kehidupan. Kemampuan akal, besarnya keinginan dan kreativitasnya terus
mengeksplorasi seluruh elemen – elemen kehidupan, membawa peradaban pada
gerbang ke-emasan. Berbanding terbalik dari hal tersebut, “ keinginan dan
ambisi " manusia dapat menjadi jembatan yang menghantarkan kehidupan pada akhir
kisahnya.
Sebagai individu
manusia tetap menjadi bagian dari kelompok tertentu. Dia tidak serta merta
hadir dalam konstelasi kehidupan, melainkan hadir bersama konstruksi nilai dan
makna yang telah ada. Namun kemampuan adaptasinya dapat mengkreasikan keinginan
personal bersama sistem ataupun pola kehidupan yang telah ada. Bahkan bukan
tidak mungkin dia dapat merubah konstruksi tersebut secara ekstrim lalu membangun
konstruksi baru yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Hal itu dapat saja
terjadi, ketika “ Moda-Personal “ individu dapat menjadi cakrawala baru yang
mewarnai kehidupan dan mendapat peng-aminan dari sebagian besar individu
lainnya. Meskipun catatan sejarah juga mencatat
tentang dinamika perubahan yang tercipta dengan cara – cara yang tidak
manusiawi, sepanjang peradaban manusia.
Dalam kehidupan
setiap perubahan adalah keabadian. Berbagai ragam bentuk perubahan terposisikan
dalam “ lingkar-pilihan “ demi sesuatu yang dianggap lebih baik, seiring dengan
prediksi kesejahteraan hidup dimasa mendatang.
Tapi realitasnya tidak selalu sesuai dengan prediksi – prediksi
tersebut. Sebab, realitas adalah peristiwa atau jalinan peristiwa yang tersaji
dalam fakta – fakta kehidupan, dibentuk oleh relasi dan interrelasi dari semua
komponen dan elemen kehidupan. Bersamaan dengan hal itu, kekuatan “
misteri-waktu ” tetap konstan, tidak dapat disegerakan sesuai dengan keinginan
setiap manusia.
Eksistensi
individu memiliki hubungan erat dengan kehidupan masyarakat dan keseimbangan
alamnya. Dan dua hal ini tidak bisa begitu saja dilepaskan dari proses
perjalanan individu menuju nisannya. Kehidupan masyarakat mengacu pada totalitas
hubungan dimana manusia hidup. Dengan jitu masyarakat didefinisikan oleh
Ginsberg sebagai jaringan interaksi dan interrelasi antar manusia ( dalam
Reuben Osborn, Marxisme dan Psikoanalisis, hal 99, 2005). Bersama dengan
perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat dizaman ini, ruang
lingkup kehidupan masyarakat telah meng-global menjadi “ Masyarakat-Dunia “.
Setiap individu dapat berinteraksi dan menjalin relasi dengan individu lain
dari belahan dunia lainnya. Proses tersebut lambat laun membuka ruang untuk
terjadi proses pertukaran budaya, perdagangan, terciptanya nilai hukum dan
norma social yang berskala internasional.
Sedangkan dalam
sudut pandang Marxisme masyarakat adalah sarana organisasional dimana manusia
bekerjasama dalam mendapatkan mata pencahariannya. Manusia memaksakan
perjuangannya untuk eksis dengan cara proses produksi manusia ( dalam Reuben
Osborn, Marxisme dan Psikoanalisis, hal 102, 2005).
Selanjutnya Reuben
Osborn menjelaskan istilah proses produksi, cara produksi dan metode produksi
merupakan upaya untuk memperoleh mata pencahariannya, seperti makanan atau
pemenuhan kebutuhan fisiologi, pakaian dan papan. Berhubungan dengan proses
produksi Marx mengelompokkan menjadi dua faktor : Faktor subyektif berhubungan
dengan peran manusia, dimana manusia harus saling membela dalam aktivitas
produksi, pembagian tugas, cara pembagian proses produksi, hubungan property,
jenis organisasi, kartel, koperasi masyarakat yang secara langsung mempengaruhi
kegiatan produksi. Singkatnya, jumlah hubungan yang secara langsung terlibat
dalam hidup masyarakat yang produktif.
Marx menyatakan
“ Dalam proses produksi manusia tidak hanya bertindak sesuai dengan tuntutan
alam, namun juga karena tuntutan satu sama lainnya. Mereka bekerjasama dengan
cara tertentu, bertukar kegiatan dan terlibat dalam hubungan yang saling
menguntungkan “ Sedangkan Faktor obyektif merupakan obyek alam yang diberikan
secara alami, yaitu tanah, hutan, laut, mineral dan berbagai bahan tambang.
Selanjutnya adalah peralatan produksi. Hal – hal inilah yang kadang disebut
Marx sebagai sarana produksi dan kekuatan produksi. ( dalam Reuben Osborn,
Marxisme dan Psikoanalisis, hal 101, 2005)
Tidak bisa
dipungkiri bahwa peradaban serba modern ini merupakan “ Era-produksi “ dengan
karakteristik masyarakat yang produktif, sekaligus konsumtif. Sedangkan
kidungnya adalah Irama kehidupan yang serba kompetitif. Pertanyaannya, apakah kondisi dan situasi ini
akan membawa kehidupan masyarakat pada akhir kisahnya? Kehilangan jati diri,
harga diri dan terkebiri, sebab segala sesuatu dilihat sebagai komoditi?
Sebelum menjawab
pertanyaan tersebut ada baiknya kita melihat reaitas sosial masyarakat kita yang
telah memasuki Era Globalisasi ini. Sekelumit realitas yang terkisahkan. Pertama, Tindak Kekerasan dan Tingginya
Angka Kriminalitas. Berbagai tindak kekerasan telah menjadi bagian dalam realitas
kehidupan masyarakat, mulai dari tawuran antar pelajar hingga kekerasan antar
kelompok berdasarkan Etnis dan Agama. Selain berbagai faktor penyebab lainnya,
seperti kemiskinan dan pengangguran. Tingginya angka kriminalitas juga menjadi
cerminan dari lemahnya penegakkan hukum dan tergerusnya kepercayaan masyarakat
terhadap hukum dan perangkatnya sebagai landasan berperilaku dalam kehidupan
bermasyarakat. Lalu, pada dimensi tertentu perilaku tindak kekerasan dan
kriminalitas dianggap sebagai solusi dari berbagai permasalahan yang ada.
Kedua,
Wajah Buram Panggung Politik menjadi “ Parodi yang berbahaya “ dalam kehidupan
masyarakat. Sebagian besar kelompok – kelompok yang memiliki kekuasaan politik
atau tokoh – tokoh politik masih mencampur adukkan tujuan ber-politik demi
mencapai kehidupan masyarakat yang sejahtera dengan kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Tentu mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok yang menjadi
pilihan utama, ketika kelompok atau individu ini berhadapan dengan pilihan :
Berusaha mensejahterakan kehidupan masyarakat dengan konsekuensi harus bekerja
keras, melakukan pengabdian dan pengorbanan.
Di Era Media
ini, gembar – gembor janji para pelaku-politik-praktis selama ini terbukti hanya
untuk mendongkrak popularitas mereka.
Karena keputusan politik ataupun kebijakkan yang dimuat dengan alasan “
demi kedamaian dan kesejahteraan masyarakat “ jauh dari upaya membangun
realitas kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Bahkan tidak jarang keputusan
yang dibuat meruntuhkan mental masyarakat, karena kehidupan akan semakin sulit
setelah diterapkannya keputusan tersebut. Kebijakan diartikan oleh Carl
Friedrich sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan
adanya hambatan – hambatan tertentu, seraya mencari peluang – peluang untuk
mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan ( Solichin 1997 dalam
Sri H N, Partisipasi Politik Perempuan dalam Kebijakan Publik, Jurnal Demokrasi
Vol 1, no 1, November 2003 ).
Dari
kompleksitas permasalahan yang di hadapi masyarakat selama ini, kebijakan
publik yang selalu terjadi adalah Listrik naik, BBM naik karena subsidi di
cabut, kemudian diikuti oleh naiknya harga kebutuhan pokok. Realitas ini
menjadi representasi dari “ dongeng pelayan jadi majikan “ yang telah menjadi
kenyataan. Akhirnya tanggung jawab mereka untuk mencari solusi untuk meraih
kesejahteraan hidup bermasyarakat “ menguap “ begitu saja.
Ketiga, ” Jembatan-Kebudayaan “ yang
mulai rapuh. Konstelasi budaya tidak bisa dilepaskan dari elemen demografi,
niai – nilai dan norma sosial yang terangkum dalam adat-istiadat. Menjadi
penuntun perilaku masyarakat sekaligus membentuk karakteristiknya. Pola
kehidupan tersebut menjadi pilar keseimbangan dalam meretas perbedaan dengan
penuh toleransi, termasuk hubungan eratnya dengan “ Kebajikan-Alam “. Meskipun
pada kasus – kasus tertentu perbedaan budaya dianggap dapat memicu sebuah konflik.
Namun ketika melihatnya lebih dalam, konflik beralasan beda kebudayaan ini hanya
dijadikan “ kedok ” untuk kepentingan atau tujuan tertentu.
Kesenian sebagai
proyeksi dari kebudayaan di Era Globalisasi ini telah menunjukkan eksistensinya
sebagai jembatan-penghubung untuk saling memahami perbedaan yang menjadi kodrat
kita sebagai individu dan bagian dari kelompok, etnis, agama dan Negara
tertentu. Karya budaya ini menjadi medium ekspresi individu dan masyarakat, “
melegakan-dirinya “ menghadapi “ represi-realitas “ dalam keseharian mereka.
Tak jarang karya – karya budaya yang menjadi bagian dari rekam jejak perjalanan
masyarakat dicaplok begitu saja oleh bangsa lain. Sedangkan “ Sang-Penguasa “
sibuk menggadaikan dan menjual potensi sumber daya kehidupan lainnya. Lambat
laun kerapuhan itu mulai terasa, sebab generasi penerus menggeser
ke-banggaannya dengan gaya hidup modern tanpa filter nilai - nilai dan moralitas
karakter masyarakatnya.
Riuhnya
perkembangan teknologi informasi dan peran media massa mewarnai kehidupan
masyarakat, yaitu menjadi Masyarakat-Informatif. Sebagai bagian Keempat, Media
Massa memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan masyarakat. Sisi
baiknya, Media Massa yang pengolahan informasinya sangat “ apik ” dan “
terpercaya “ menjadi sarana pendidikan masyarakat yang efektif. Selain hal
tersebut teknologi informasi menjadi ruang alternatif interaksi maupun menjalin
relasi. Berbanding terbalik dari hal tersebut, apabila tidak bijak dalam
menyajikan informasi dan menggunakannya akan menjadi “ boomerang ” bagi
kehidupan masyarakat. Seperti tayangan – tayangan tindak kekerasan yang
di-imitasi oleh anak – anak atau informasi yang tidak dapat dipercaya, gossip
dan pornografi
Kelima, Hukum
dan Abu – Abunya Warna Keadilan. Setiap warga Negara memiliki kedudukan yang
sama di muka hokum dan pemerintahan. Selain itu Pasal 27 (1) UUD 1945, berarti
bahwa adanya pengakuan terhadap hak azazi manusia dalam kehidupan masyarakat,
dan dijamin pelaksanaannya secara konstitusional serta direalisasikan dengan
peraturan perundang – undangan lainnya ( S. Toto Pandoyo, S.H, Ulasan Terhadap
Beberapa Ketentutan UUD 1945, Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan
Demokrasi, 1985 ). Memang di muka hokum ditentukan seperti hal tersebut, namun
yang menjadi persoalan adalah proses untuk mendapatkan keadilan di mata hukum.
Salah satu
penyebabnya adalah keadilan sering disusupi oleh berbagai kepentingan yang
merusak keadilan itu sendiri. Penerapan hukum yang dapat memberikan rasa
keadilan memang masih menjadi pekerjaan yang berat, ditambah lagi dengan persoalan
penyelewengan kewenangan oleh penegak hukum atau “ jual beli keadilan ”. Fakta
ini masih menjadi cerita pengantar tidur generasi berikutnya, merusak mimpinya
dan mengukir noktah hitam di hatinya.
Selanjutnya,
banyak slogan – slogan baik di media cetak, online ataupun elektronik
menyatakan “ Awas Budaya Korupsi Telah Mengakar “. Atau sinonim kalimat lainnya
yang menggabungkan antara kata “ Budaya “ dan Korupsi. Kita harus jelas
mengatakan bahwa Korupsi Bukanlah Karakteristik Masyarakat dan Budaya Kita.
Mereka Maling….! Tidak ada Budaya-Korupsi. Yang ada adalah pembiaran perilaku
maling dalam konstelasi kehidupan masyarakat kita karena penyelewengan
kekuasaan dan lemahnya penegakkan hukum.
Terdapat bahaya –
bahaya besar ketika perilaku ini terus berkembang. Karena akibatnya tidak saja
dirasakan oleh masyarakat yang hidup saat ini tapi juga generasi selanjutnya. Pilihan untuk melegalkan “ Hukuman mati “
dapat menjadi opsi utama untuk meredam perilaku ini. Karena perilaku korupsi
ini lebih kejam dari pembunuhan massal yang dilakukan oleh para “ penjahat-perang”.
Mereka menyengsarakan dan membunuh secara perlahan – lahan, bahkan kemudian
mengebiri generasi selanjutnya.
Salah satu akibat
dari perilaku ini adalah telah berpindah tangannya sumber daya alam yang
seharusnya menjadi modal dasar kita untuk tumbuh dan berkembang secara bersama –
sama sebagai satu – kesatuan masyarakat. Hutan , tanah, sungai dan laut kita yang
bernilai ekonomis tinggi telah dieksploitasi dijadikan tambang – tambang yang sebagian
besar keuntungannya bukan untuk membangun kesejahteraan hidup, tapi demi
keuntungan segelintir individu. Parahnya, terkadang kepemilikannya pun telah
berpindah tangan menjadi milik pribadi atau perusahaan – perusahaan multinasional.
Fakta
selanjutnya adalah Fenomena Mahalnya Biaya Kesehatan dan Pendidikan Mengancam
Kehidupan Generasi Mendatang. Kesehatan adalah perihal utama dari peran setiap
individu saat melakoninya. Tidak ada upaya dan usaha yang akan berhasil ketika
individu menjalaninya dalam keadaan sakit. Selain itu, pendidikan menjadi
permasalahan utama untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, mandiri dan
sejahtera, sesuai dengan kesepakatan masyarakat kita yang tertuang dalam Pembukaan
UUD 1945.
Menurut Mangunwijaya
terjadi berbagai persoalan yang menindas kehidupan masyarakat disebabkan oleh
rendahnya pendidikan yang mereka miliki. Padahal proses pendidikan menyadarkan
masyarakat dalam keseluruhan system perubahan sosial. Oleh karena itu, untuk
melepaskan mereka dari penindasan dan kemiskinan harus melalui pendidikan. Masyarakat
yang berpendidikan biasanya tidak gampang untuk dibodohi, dihina, terlebih lagi
ditindas. Mangunwijaya melihat terjadinya ketidak adilan, pemiskinan,
penindasan masyarakat lebih disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat terhadap
pendidikan, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kelangsungan
pendidikan, terutama bagi mereka yang hidupnya miskin (Mangunwijaya dalam
Firdaus M Y, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Hal 83, 2005) `
Naif memang, ketika
pelayanan kesehatan dan pendidikan menjadi “ bisnis-baru “ dalam kehidupan
masyarakat di era globalisasi yang semakin kapital ini. Hal – hal yang menjadi
kebutuhan utama masyarakat tidak lagi menjadi tanggungan penyelenggara
kehidupan bermasyarakat. Pertanyaannya, bagaimana menciptakan masyarakat yang cerdas
dan mandiri ketika untuk sehat dan memperoleh pendidikan saja masih menjadi
persoalan yang pelik? Sedangkan “mereka”
sibuk melakukan penilaian – penilain dengan survey – survey tertentu yang
memberikan gambaran bahwa kehidupan masyarakat secara ekonomi terus mengalami
peningkatan yang signifikan. Padahal hujan masalah yang kompleks membasahi
realitas kehidupan masyarakat
Kemudian yang
terakhir dari penggalan realitas kehidupan masyarakat kita saat ini adalah ujung-kerucut atau pangkal permasalahan dari
sebagian besar persoalan yang sedang terjadi. Dapat juga dikatakan sebagai
Penyebab-Permasalahan-Besar, Yaitu : Faktor Ekonomi. Gemericik permasalahan itu
timbul karena doktrinisasi ekonomi yang jauh dari rasa keadilan. Yaitu, “ dengan
modal sekecil – kecilnya harus mendapatkan untung yang sebesar – besarnya “. Secara
dangkal, filosofi ekonomi ini “ menghalalkan ketidak-adilan sosial ”. tidak ada
lagi toleransi, budaya gotong royong dan rasa kebersamaan. Sebab semuanya
dilihat dan dihargai oleh kepentingan – kepentingan yang menjanjikan keuntungan
materialistic. Fenomena ini jauh dari karakteristik masyarakat kita yang menjunjung
nilai – nilai kearifan dan kebijaksanaan.
Mengacu pada
karakteristik masyarakat yang di ungkap oleh Marx di atas, faktanya realitas
ekonomi masyarakat global saat ini berada pada titik harus-berproduksi dan
konsumtif. Konspirasi – konspirasi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi bermodal
besar dengan Pembuat Kebijakkan, Penegak Hukum membangun kesenjangan sosial
dengan menghancurkan kesempatan bagi yang lainnya. Menciptakan nilai – nilai
baru dengan berbagai Proses-Doktrinisasi, seperti gaya hidup yang serba mewah “
disimbolkan ” sebagai bentuk kehidupan modern nan indah. Yang paling membahayakan
ketika pola ini menjadi “ Ideologi-baru “ dalam kehidupan masyarakat dengan menganggap “
semua adalah Komoditi “.Dan kondisi realitas ini bak bom waktu yang akan
mengakhiri kisah kehidupan masyarakat dengan interaksi dan interrelasi yang
dikonstruksi berdasarkan nilai – nilai keluhuran
budi.
Menilik sekelumit
penggalan realitas sosial ini wajar kiranya ketika kengerian menyeruak dalam
dada setiap individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Bagaimana tidak anak –
cucu yang terlahirpun telah terlilit oleh “ utang “, meskipun siapa yang
berhutang dan sebab apa harus berhutang mereka tidak tau dan tidak mengerti.
Globalisasi adalah fenomena multidimensional, meskipun yang disorot lebih pada
aspek ekonomi, namun dampak sosial tidak kalah penting. Terutama masalah menjaga
karakterisitik nilai – nilai kehidupan dalam masyarakat.
Masyarakat kita
adalah masyarakat yang terbangun oleh konstruksi perbedaan – perbedaan, baik secara
demografi, ras, suku, etnis, dan agama. Perbedaan tersebut disatukan kedalam kerangka
acuan “ Bhineka Tunggal Ika “, yang secara garis besar meretas segala perbedaan
tersebut. Di samping hal tersebut, nilai – nilai yang telah diwariskan oleh para
pendahulu masyarakat kita adalah “ benteng “ atau “ Filter ” agar dapat
memaknai perubahan tanpa mengkesampingkan tujuan untuk meraih kehidupan
masyarakat yang sejahtera. “ Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu
menghargai sejarahnya ” ungkapan dari Sang Proklamator, penanda kehidupan
masyarakat kita sebagai “ Satu-Kesatuan ”
Melihat tantangan
zaman yang telah meng-global ini, memaknai kembali “ Satu – Kesatuan “ yang kita
miliki ibarat kayuhan dayung menyusuri samudera kehidupan. Kekuatannya dibangun
oleh rasa kebersamaan yang penuh toleransi, sebab pelangi perbedaan tersebut
telah menghiasi kehidupan. Alangkah indahnya “ Satu-Kesatuan “ tersebut. Harapan
yang dimulai dari “ pemaknaan-kembali ” individu terhadap tanggung jawabnya
dalam membangun kehidupan masyarakat yang sejahtera. Sejarah telah menorehkan
tinta emasnya dengan cerita heroik tentang kemerdekaan yang membebaskan
masyarakat dari penjajahan..
Sulit untuk
dipungkiri, saat sekarang realitas kehidupan masyarakat kembali terjajah secara
multidimensi. Wajah baru dari pengulangan penjajahan kolonialisme. Pertanyaan
besarnya, sanggupkah kita menjaga keutuhan sebagai individu atau bagian dari masyarakat
yang telah digariskan sebagai “Satu-Kesatuan” untuk keluar dari penjajahan
multidimensi ini? Bukankah “ Kekuatan-Kita “ terletak pada ikatan perbedaan
tersebut, melalui emansipasi dan partisipasi menuju kesadaran baru. Dengan itu
kita mulai “ membebaskan ” kehidupan masyarakat dari belenggu ketidak
sejahteraannya
Bahan Bacaan
Osborn, Reuben, 2005, “ Marxisme
dan Psikoanalisis “, Alenia,
Yogyakarta.
Pandoyo, Toto. S, 1985, “
Ulasan Terhadap Beberapa Ketentutan UUD 1945, Sistem Politik dan Perkembangan
Kehidupan Demokrasi”, Liberty, Yogyakarta.
Sri H N, 2003, “ Partisipasi Politik Perempuan dalam
Kebijakan Publik “, Jurnal Demokrasi Vol 1, no 1, Forum LSM, Yogyakarta.
Yunus, Firdaus.M, 2005, “ Pendidikan Berbasis Realitas Sosial “,
Logung Pustaka, Yogyakarta.
Bayu W
Tidak ada komentar:
Posting Komentar