Kebebasan; Seni, alam dan nilai – nilai religiusitas
Sebagian masyarakat percaya bahwa seni (dan karya seni) memiliki
kapasitas sebagai unsur yang mampu “menghidupkan”, sekaligus jalan untuk “membebaskan-individu”
yang tumbuh bersama realitas kehidupan. Sedangkan sebagian lainnya, tak jarang
membicarakan bagaimana menghidupkan “kebebasan” seni secara khusus dan khas.
Mengenai kebebasan tentu memiliki berbagai skema ketika menafsirkannya.
Salah satunya ihwal kebebasan yang berlaku sebagai pengampu nilai dari
pengalaman yang khusus, pencapaiannya terletak pada satu “titik pemisah” antara
pengalaman dan praktek hidup yang ditempuh melalui ekspresi seni. Tak hanya
menggerakkan kebebasan seniman tapi juga menstimulasi kebebasan berbagai elemen
– elemen kehidupan yang berhubungan dengan karya seni tersebut (sebelum ataupun
setelah proses penciptaan karya seni).
Sekarang ini,
peradaban telah memasuki Era Kontemporer. Masa yang mengusung berbagai
“nilai-kebebasan” dan tanpa disadari menuju jembatan “ke-bablasan”. Jebakan zaman ini berupa ke-terjebakkan manusia (secara
umum) dan seniman (dalam pengertian khusus penciptaan karya seni) ke dalam
“lembah-fisik” yang mengedepankan nilai – nilai ekonomi semata”. Dampak nyata
dari hal itu adalah; tergerusnya “keseimbangan-hubungan” antara; manusia, alam
dan “kekuatan absolute” yang
melingkari kehidupan (nilai – nilai religiusitas). Berbagai fenomena tentang
kerusakkan alam (berbagai bencana hingga global warming) telah menjadi fakta
otentik realitas. Sedangkan di sisi lain tercipta “Cultural-Log” dalam
kehidupan masyarakat; dimana tertinggalnya instititusi – institusi sosial
dengan sifat pemberdayaannya yang khas
mengiringi kemajuan zaman. Hal ini senada dengan gagasan tentang Filsafat
Proses yang dicetuskan oleh Whitehead di permulaan abad XX saat pandangan
Materialisme-Ilmiah begitu percaya diri bahwa kenyataan selalu ajeg, bahkan
bisa “dijinnakan” dalam kerangkeng saintifik. Pandangan seperti inilah yang
menimbulkan krisis pandangan-dunia modern, karena dia merusak bahkan memutus
hubungan harmonis antara manusia, masyarakat, alam, Tuhan dan segenap kenyataan[1]
Persepsi tentang seni dan kebebasan terdapat dalam berbagai varian
praktek yang berbeda-beda, serta mengandung nilai-nilai yang berlaku secara
universal dan personal, umum dan juga khusus, meng-global tapi juga lokal.
Sesuai dengan hal tersebut, setidaknya sensitivitas dan ekpresi seni (bersifat
multi-persepsi) sanggup menyatakan bahwa seni berlaku pada sisi nilai-nilai
kebebasan seiring dengan tanggup jawab yang meliputinya. “Artefak-kebebasan”
merupakan nilai-nilai yang menggiring moralitas manusia kearah yang lebih baik.
Karena, nilai-nilai tersebut selalu hadir serta tumbuh secara jamak dalam
berbagai konstruksi realitas seperti; nilai – nilai religiusitas dan kebudayaan
dalam peradaban manusia. khusus seni rupa, Becker dalam bukunya yang berjudul
Art World menjelaskan bahwa; seni rupa sebagai sebuah aktivitas merupakan
aktivitas kolektif masyarakatnya. Meskipun menggunakan konsepsi Marx dalam
pembagian kerja, Becker lebih memberikan pandangan mengenai konvensi dalam
melihat seni. Baginya konvensi tersebut menyediakan titik temu antara kaum
humanis dan para sosiolog, sebagaimana gagasan familier dalam sosiologi seperti
norma, aturan, pemahaman bersama, atau folway. Semua gagasan – gagasan dan
pemahaman itu merupakan hasil – hasil dari aktivitas kooperatif[2]
Di titik ini sudah sewajarnya
seniman menantang dirinya dalam menangkap “tanda-tanda” realitas, terkait
(“isi”) karya yang di-artikulasikan ke dalam rupa=visual. Setidaknya hal
tersebut nantinya dapat mengurai makna kebebasan yang diagung – agungkan oleh
banyak seniman?, walaupun bersifat subyektif. Menurut pendapat saya, salah satu
skema (proses) penciptaan karya seni dalam pameran tunggal Seppa Darsono ini adalah;
metode “stimulus-respon”, dengan pengertian; mendekatkan ataupun membuka relasi
antara seniman dengan unsur – unsur kehidupan, unsur – unsur tersebut berperan
sebagai “stimulasi-aktif”, yang sadar ataupun tidak disadari menuntut
“respon-kreatif” seniman (konvensi-diri). Unsur – unsur tersebut meliputi
adalah lingkungan alam, budaya dan kandungan nilai – nilai religius yang
melekat pada Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri.
Inner-Scape; Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri.
Ketika pertama kali
datang ke Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri saya langsung disapa oleh alam-nya nan asri, pohon – pohon besar
yang rindang bengan beberapa bangunannya terasa begitu menyejukkan. Tempat ini
berada di arah selatan kota Yogyakarta, persisnya di daerah perbatasan antara
kabupaten Bantul dan Gunung Kidul, tepatnya di dusun Nogosari, Selopamioro,
Imogiri.
Lalu, apakah hanya
landscape nan indah ini yang terdapat di sana? Dengan lugas saya akan menjawab
Tidak! Ada hal lain yang menarik di tempat ini, sesuatu hal yang pastinya
berhubungan langsung dengan ke-asrian alamnya secara fisik, “human-activity”
dalam konteks kearifan budaya dan nilai – nilai religiusitas. Hal yang kemudian
saya asumsikan dapat menstimulasi kerja-kreatif seniman untuk kemungkinan mewajantahkannya
melalui medium karya seni rupa. Karena hubungan yang sinergis antara seni, alam
dan institusi sosial yang khas adalah jalan-terang untuk menghindari dan
melepaskan diri dari jebakan ke-naif-an era kontemporer ini.
Hal tersebut
segaris dengan visi-misi Pesantren Ilmu Giri; “Bagaimana menciptakan satu ruang
yang memadu-madankan antara nilai – nilai “religi” (Islam) dengan perkembangan
zaman, nilai – nilai religiusitas yang “mem-bumi” merupakan tiang penjaga
kehidupan manusia”. Dengan kacamata lain, ini merupakan “ruang-keseimbangan”
antara “nature-wisdom”, perilaku manusia dan nilai religius dalam lantunan
“gerak-kebudayaan”. Inilah “Inner-Scape” yang kemudian mengkonstruksi
keberadaan Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri sebagai “subyek-kehidupan”. Setidaknya
ini menjadi pendapat saya ketika berdialog dengan Gus Nas (Bpk HM. Nasruddin
Anshoriy Ch pemilik Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri)[3].
Inner-Scape: gerbang kedalaman Jiwa individu.
Definisi
Inner-Scape saya letakkan dalam konstruksi landscape
dan human (sebagai
kepribadian-individu) yang melampaui keindahan-fisik. Inner-Scape dalam
konstruksi landscape tampak jelas
dari “keberadaan” Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri seperti yang saya ungkap di
paragaf sebelumnya. Sedangkan di titik human
pengertiannya adalah; “panorama-dalam jiwa” yaitu; “kedalaman jiwa individu
yang sadar bahwasanya “diri” adalah bagian utuh dari “scape-kehidupan”. Diri
menjadi bagian dari “relasi – relasi”
dalam realitas kehidupan, dan mau tidak mau ikut bertanggung jawab dengan
segala–upaya untuk menjaga keseimbangan relasi-relasi
tersebut”.
Hal itulah yang
mendasari “Inner-Scape” dalam pameran tunggal Seppa Darsono yang pertama ini.
Garis-maknanya sebagai; “proyeksi-seni” yang melepaskan diri dari pemaknaan
“fisik” yang semata – mata bersifat materialistik. Karena dia (seniman dan
karya seni) menjadi bagian dari hubungan antara Seni, Alam dan Nilai – nilai
Religiusitas. Dan atau, Senimannya berani membuka diri untuk menangkap dan
merespon suara-alam serta prinsip – prinsip religiusitas yang sepertinya
sengaja dilepaskan (ditinggalkan) begitu saja dalam proses penciptaan karya
seni di era kontemporer ini. Tujuannya pun jelas; menggali, memaknai, bahkan
“memperbaharui” benang – benang merah antara seni, kebudayaan dan kehidupan
ini, tanpa mengabaikan kebajikan alam dan kebijakkan nilai – nilai
religiusitas.
Dasar
Seniman-Visual, mulut dan lidahnya kaku! Ujar hatiku saat mendengarkan gagasan
Seppa dengan bahasa yang sama sekali tidak terstruktur, sepulang berkunjung
dari Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri pertama kali. Tapi kemudian, saya terkejut
dan terperangah dengan idenya tentang karya “tiga dimensi-instalatif” yang
kemudian dia beri judul; Iqra, Ketimpangan
(kruk), Pacul, Jalan Menuju?, Kidung rumekso ing wengi, Tasbih, dan Eling Pati.
Menurut saya karya – karya ini sangat menarik untuk kita simak, karena
respon-kreatifnya Jenius!
Kejeniusan-nya
dengan gamblang menangkap relasi – relasi
(deep) antara manusia, alam dan “kekuatan-absolute”. Self-Power di wajantahkannya melalui karya Iqra dan Jalan Menuju?, menguak
kedalaman diri individu dalam memaknai warna – warna ketimpangan realitas di
zaman-edan ini. Sedangkan karya Ketimpangan (kruk) dan Pacul menggambarkan
relasi manusia dengan alamnya. Sehubungan dengan hal tersebut, kita dapat
membaca dan sekaligus meresapi kehidupan ini (secara individual dan sosial).
Dia juga seperti melontarkan pertanyaan bagaimana kelak, ketika pohon – pohon
pun harus dipasangi kruk untuk tumbuh?. Dan kita mau makan apa? apabila para
petani “gantung-pacul” akibat kemarukan yang merebut “kebanggaan” dan
“merampas-tanah” mereka dengan gaya kehidupan modern, yang pastinya juga
menggerus kearifan-budaya. Selanjutnya, kerinduan akan keselamatan hidup dan fakta
abadi tentang kematian (pastinya milik kita semua) menjadi resapan nilai –
nilai “sang absolute”, mengalir dalam lantunan-visual Kidung rumekso ing wengi,
Tasbih, dan Eling pati.
Secara sederhana karya
– karya dalam pameran ini memainkan fungsinya sebagai “gerbang-makna” yang ke-dalamannya
menantang persepsi audiens untuk berani memasuki hingga sejauh mana?
Bayu W
[1] Baca Alfred North Whitehead. Filsafat Proses, Proses dan realitas
dalam kajian kosmologi (Hal-Cover belakang). Terjemahan Saut Pasaribu. Kreasi
Wacana, Yogyakarta, 2009.
[2] Becker, 1982. Dalam M.Rain Rosidi “Kampus Seni dan Wacana Seni
Rupa”. Fine Art Exhibition Art Towards Global Competition. ISI Yogyakarta,
2010.
[3] Wawancara dengan HM Nasruddin Anshoriy Ch, 13 Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar