Senin, 04 November 2013

Inner-Scape Solo Exhibition by Seppa Darsono




 Kebebasan; Seni, alam dan nilai – nilai religiusitas

Sebagian masyarakat percaya bahwa seni (dan karya seni) memiliki kapasitas sebagai unsur yang mampu “menghidupkan”, sekaligus jalan untuk “membebaskan-individu” yang tumbuh bersama realitas kehidupan. Sedangkan sebagian lainnya, tak jarang membicarakan bagaimana menghidupkan “kebebasan” seni secara khusus dan khas. 

Mengenai kebebasan tentu memiliki berbagai skema ketika menafsirkannya. Salah satunya ihwal kebebasan yang berlaku sebagai pengampu nilai dari pengalaman yang khusus, pencapaiannya terletak pada satu “titik pemisah” antara pengalaman dan praktek hidup yang ditempuh melalui ekspresi seni. Tak hanya menggerakkan kebebasan seniman tapi juga menstimulasi kebebasan berbagai elemen – elemen kehidupan yang berhubungan dengan karya seni tersebut (sebelum ataupun setelah proses penciptaan karya seni).

Sekarang ini, peradaban telah memasuki Era Kontemporer. Masa yang mengusung berbagai “nilai-kebebasan” dan tanpa disadari menuju jembatan “ke-bablasan”. Jebakan zaman ini berupa ke-terjebakkan manusia (secara umum) dan seniman (dalam pengertian khusus penciptaan karya seni) ke dalam “lembah-fisik” yang mengedepankan nilai – nilai ekonomi semata”. Dampak nyata dari hal itu adalah; tergerusnya “keseimbangan-hubungan” antara; manusia, alam dan “kekuatan absolute” yang melingkari kehidupan (nilai – nilai religiusitas). Berbagai fenomena tentang kerusakkan alam (berbagai bencana hingga global warming) telah menjadi fakta otentik realitas. Sedangkan di sisi lain tercipta “Cultural-Log” dalam kehidupan masyarakat; dimana tertinggalnya instititusi – institusi sosial dengan sifat pemberdayaannya yang khas mengiringi kemajuan zaman. Hal ini senada dengan gagasan tentang Filsafat Proses yang dicetuskan oleh Whitehead di permulaan abad XX saat pandangan Materialisme-Ilmiah begitu percaya diri bahwa kenyataan selalu ajeg, bahkan bisa “dijinnakan” dalam kerangkeng saintifik. Pandangan seperti inilah yang menimbulkan krisis pandangan-dunia modern, karena dia merusak bahkan memutus hubungan harmonis antara manusia, masyarakat, alam, Tuhan dan segenap kenyataan[1]

Persepsi tentang seni dan kebebasan terdapat dalam berbagai varian praktek yang berbeda-beda, serta mengandung nilai-nilai yang berlaku secara universal dan personal, umum dan juga khusus, meng-global tapi juga lokal. Sesuai dengan hal tersebut, setidaknya sensitivitas dan ekpresi seni (bersifat multi-persepsi) sanggup menyatakan bahwa seni berlaku pada sisi nilai-nilai kebebasan seiring dengan tanggup jawab yang meliputinya. “Artefak-kebebasan” merupakan nilai-nilai yang menggiring moralitas manusia kearah yang lebih baik. Karena, nilai-nilai tersebut selalu hadir serta tumbuh secara jamak dalam berbagai konstruksi realitas seperti; nilai – nilai religiusitas dan kebudayaan dalam peradaban manusia. khusus seni rupa, Becker dalam bukunya yang berjudul Art World menjelaskan bahwa; seni rupa sebagai sebuah aktivitas merupakan aktivitas kolektif masyarakatnya. Meskipun menggunakan konsepsi Marx dalam pembagian kerja, Becker lebih memberikan pandangan mengenai konvensi dalam melihat seni. Baginya konvensi tersebut menyediakan titik temu antara kaum humanis dan para sosiolog, sebagaimana gagasan familier dalam sosiologi seperti norma, aturan, pemahaman bersama, atau folway. Semua gagasan – gagasan dan pemahaman itu merupakan hasil – hasil dari aktivitas kooperatif[2]
Di titik ini sudah sewajarnya seniman menantang dirinya dalam menangkap “tanda-tanda” realitas, terkait (“isi”) karya yang di-artikulasikan ke dalam rupa=visual. Setidaknya hal tersebut nantinya dapat mengurai makna kebebasan yang diagung – agungkan oleh banyak seniman?, walaupun bersifat subyektif. Menurut pendapat saya, salah satu skema (proses) penciptaan karya seni dalam pameran tunggal Seppa Darsono ini adalah; metode “stimulus-respon”, dengan pengertian; mendekatkan ataupun membuka relasi antara seniman dengan unsur – unsur kehidupan, unsur – unsur tersebut berperan sebagai “stimulasi-aktif”, yang sadar ataupun tidak disadari menuntut “respon-kreatif” seniman (konvensi-diri). Unsur – unsur tersebut meliputi adalah lingkungan alam, budaya dan kandungan nilai – nilai religius yang melekat pada Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri.

Inner-Scape; Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri.
Ketika pertama kali datang ke Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri saya langsung disapa oleh alam-nya nan asri, pohon – pohon besar yang rindang bengan beberapa bangunannya terasa begitu menyejukkan. Tempat ini berada di arah selatan kota Yogyakarta, persisnya di daerah perbatasan antara kabupaten Bantul dan Gunung Kidul, tepatnya di dusun Nogosari, Selopamioro, Imogiri.

Lalu, apakah hanya landscape nan indah ini yang terdapat di sana? Dengan lugas saya akan menjawab Tidak! Ada hal lain yang menarik di tempat ini, sesuatu hal yang pastinya berhubungan langsung dengan ke-asrian alamnya secara fisik, “human-activity” dalam konteks kearifan budaya dan nilai – nilai religiusitas. Hal yang kemudian saya asumsikan dapat menstimulasi kerja-kreatif seniman untuk kemungkinan mewajantahkannya melalui medium karya seni rupa. Karena hubungan yang sinergis antara seni, alam dan institusi sosial yang khas adalah jalan-terang untuk menghindari dan melepaskan diri dari jebakan ke-naif-an era kontemporer ini.

Hal tersebut segaris dengan visi-misi Pesantren Ilmu Giri; “Bagaimana menciptakan satu ruang yang memadu-madankan antara nilai – nilai “religi” (Islam) dengan perkembangan zaman, nilai – nilai religiusitas yang “mem-bumi” merupakan tiang penjaga kehidupan manusia”. Dengan kacamata lain, ini merupakan “ruang-keseimbangan” antara “nature-wisdom”, perilaku manusia dan nilai religius dalam lantunan “gerak-kebudayaan”. Inilah “Inner-Scape” yang kemudian mengkonstruksi keberadaan Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri sebagai “subyek-kehidupan”. Setidaknya ini menjadi pendapat saya ketika berdialog dengan Gus Nas (Bpk HM. Nasruddin Anshoriy Ch pemilik Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri)[3]. 

Inner-Scape: gerbang kedalaman Jiwa individu.
Definisi Inner-Scape saya letakkan dalam konstruksi landscape dan human (sebagai kepribadian-individu) yang melampaui keindahan-fisik. Inner-Scape dalam konstruksi landscape tampak jelas dari “keberadaan” Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri seperti yang saya ungkap di paragaf sebelumnya. Sedangkan di titik human pengertiannya adalah; “panorama-dalam jiwa” yaitu; “kedalaman jiwa individu yang sadar bahwasanya “diri” adalah bagian utuh dari “scape-kehidupan”. Diri menjadi bagian dari “relasi – relasi” dalam realitas kehidupan, dan mau tidak mau ikut bertanggung jawab dengan segala–upaya untuk menjaga keseimbangan relasi-relasi tersebut”.

Hal itulah yang mendasari “Inner-Scape” dalam pameran tunggal Seppa Darsono yang pertama ini. Garis-maknanya sebagai; “proyeksi-seni” yang melepaskan diri dari pemaknaan “fisik” yang semata – mata bersifat materialistik. Karena dia (seniman dan karya seni) menjadi bagian dari hubungan antara Seni, Alam dan Nilai – nilai Religiusitas. Dan atau, Senimannya berani membuka diri untuk menangkap dan merespon suara-alam serta prinsip – prinsip religiusitas yang sepertinya sengaja dilepaskan (ditinggalkan) begitu saja dalam proses penciptaan karya seni di era kontemporer ini. Tujuannya pun jelas; menggali, memaknai, bahkan “memperbaharui” benang – benang merah antara seni, kebudayaan dan kehidupan ini, tanpa mengabaikan kebajikan alam dan kebijakkan nilai – nilai religiusitas.

Dasar Seniman-Visual, mulut dan lidahnya kaku! Ujar hatiku saat mendengarkan gagasan Seppa dengan bahasa yang sama sekali tidak terstruktur, sepulang berkunjung dari Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri pertama kali. Tapi kemudian, saya terkejut dan terperangah dengan idenya tentang karya “tiga dimensi-instalatif” yang kemudian dia beri judul; Iqra, Ketimpangan (kruk), Pacul, Jalan Menuju?, Kidung rumekso ing wengi, Tasbih, dan Eling Pati. Menurut saya karya – karya ini sangat menarik untuk kita simak, karena respon-kreatifnya Jenius!


Kejeniusan-nya dengan gamblang menangkap relasi – relasi (deep) antara manusia, alam dan “kekuatan-absolute”. Self-Power di wajantahkannya melalui karya Iqra dan Jalan Menuju?, menguak kedalaman diri individu dalam memaknai warna – warna ketimpangan realitas di zaman-edan ini. Sedangkan karya Ketimpangan (kruk) dan Pacul menggambarkan relasi manusia dengan alamnya. Sehubungan dengan hal tersebut, kita dapat membaca dan sekaligus meresapi kehidupan ini (secara individual dan sosial). Dia juga seperti melontarkan pertanyaan bagaimana kelak, ketika pohon – pohon pun harus dipasangi kruk untuk tumbuh?. Dan kita mau makan apa? apabila para petani “gantung-pacul” akibat kemarukan yang merebut “kebanggaan” dan “merampas-tanah” mereka dengan gaya kehidupan modern, yang pastinya juga menggerus kearifan-budaya. Selanjutnya, kerinduan akan keselamatan hidup dan fakta abadi tentang kematian (pastinya milik kita semua) menjadi resapan nilai – nilai “sang absolute”, mengalir dalam lantunan-visual Kidung rumekso ing wengi, Tasbih, dan Eling pati.


Secara sederhana karya – karya dalam pameran ini memainkan fungsinya sebagai “gerbang-makna” yang ke-dalamannya menantang persepsi audiens untuk berani memasuki hingga sejauh mana?
Bayu W


[1] Baca Alfred North Whitehead. Filsafat Proses, Proses dan realitas dalam kajian kosmologi (Hal-Cover belakang). Terjemahan Saut Pasaribu. Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2009.
[2] Becker, 1982. Dalam M.Rain Rosidi “Kampus Seni dan Wacana Seni Rupa”. Fine Art Exhibition Art Towards Global Competition. ISI Yogyakarta, 2010.
[3] Wawancara dengan HM Nasruddin Anshoriy Ch, 13 Oktober 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar