Jumat, 13 September 2013

"Gerak-Resah Dalam Diam" Solo Exhibition By BUCEK DISTORSI


Gerak-Resah dalam Diam merupakan judul pameran tunggal Bucek Distorsi di Miracle Art Space. Judul ini mengemuka saat berdiskusi dengan Harlen Kurniawan, ungkap Bucek. Dialog sahabat sejawat yang selalu terjaga meskipun mereka berdua tinggal di kota yang berbeda.

Human City dan Logika-Materiil yang Memicu Keresahan
Sebagai pribadi yang hidup di Ibukota (Jakarta) Bucek banyak bersentuhan dengan berbagai permasalahan “Human-City”. Kompleksitas permasalahan yang selalu memicu kegelisahan dirinya. Hal tersebut secara sadar maupun tidak, juga menjadi keresahan – keresahan sebagian besar individu yang hidup di “Kota”. Kehidupan yang bergerak dengan “waktu-sibuk” dan berbagai cerita lainnya.

Di era ini sangat lumrah melihat sebagian masyarakat melakukan “mobilitas individu-sosial”, berlomba mengejar posisi yang dianggap paling baik dan cocok bagi eksistensi dirinya. Kondisi positif ini dibangun oleh pemikiran tentang hak yang sama dalam meraih “kedudukan sosial” tertentu ataupun kehidupan yang lebih baik. Situasi yang berbeda dibandingkan era “Feodal”, dimana seseorang ataupun suatu kelompok terkungkung dalam stratifikasi keturunan. Sayangnya “mobilitas” tidak dilihat sebagai irama “pemberdayaan” diri dan masyarakat. Fakta tentang tingginya ketimpangan pembangunan antara desa dan kota memicu sindrom “tanah-impian”, tak pelak wilayah yang dianggap menjanjikan (umumnya perkotaan) untuk merubah nasib diterjang arus urbanisasi, menimbulkan permasalahan baru sedangkan beragam permasalahan yang telah ada sebelumnya tak kunjung terselesaikan. Tentu saja kondisi tersebut mengakibatkan kontestasi kehidupan “Human-City” menjadi semakin tajam dan keras.

Realitas tersebut semakin parah seiring dengan lemahnya pengelolaan kehidupan masyarakat (oleh Pemerintah). Tampak jelas pada; gagalnya pemerataan ekonomi, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, gonjang ganjingnya dunia perpolitikan, tingginya tingkat pengangguran, korupsi, tidak stabilnya harga kebutuhan pokok dan lemahnya penegakkan hukum. Secara umum dampaknya terasa keseluruh wilayah nusantara, di desa, apalagi di kota.    
Sebagai Ibukota Negara, magnet kota Jakarta adalah lalu-lintas ekonominya yang tinggi dan diasumsikan sebagai “kota impian”. Padahal sisi kelamnya dapat dikatakan sebagai “ruang-fenomena-kelam”, dimana dipermaknya kesederhanaan budaya masyarakat melalui transaksi untung-rugi. Konsekuensi logisnya berupa; terlemparnya nilai – nilai kemanusiaan yang sesungguhnya, dan membuat kisi – kisi kehidupan masyarakat “dirampok” oleh kalkulasi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, strateginya menggunakan azas pemanfaatan-komersil dan kekuasaan. Bahkan asumsi yang paling menyedihkan adalah; Gerak kehidupan masyarakat kota secara esensial telah berubah menjadi ritual pembunuhan massal kemanusiaan. “Perubahan” merupakan kata ampuh dari doktrinisasi (kepentingan tertentu), untuk menggiring langkah masyarakat pada “keteraturan-baru” yang awalnya tampak menjanjikan, padahal itu perangkap “logika-materiil” yang tuhannya adalah kekuatan-modal. Gambaran akibatnya terlihat dari parade kemiskinan dan tingginya angka pengangguran-kota, manusia – manusia frustasi yang melakukan tindak kriminal dan kekerasan, atau melakukan penipuan demi makan hari ini. Di sisi lain, para pecinta kemewahan secara gamblang mempertontonkan budaya hedonisme. Bukankah ini sejatinya “prostitusi”! kerelaan untuk “mencampakkan diri” demi memuaskan keinginan yang dinilai dengan kesenangan materi. Keresahan kota!

Keresahan ataupun kegelisahan muncul karena adanya “gap” antara harapan individu dengan kenyataan, dipandang sebagai “gejala-jiwa” yang bersifat individual yang tidak dapat menafikkan realitas sosial. Dalam lingkaran individual, “Sesaknya” realitas kehidupan kota dengan beragam permasalahannya melahirkan persepsi - persepsi, penilaian - penilaian bahkan prasangka yang diartikan sebagai predisposisi penilaian yang paling diskriminatif. Efek dari kerasnya kontestasi kehidupan-kota adalah; virus “Delusi”, terutama bagi individu dan masyarakat yang terpinggirkan. Delusi merupakan keyakinan semu yang sesungguhnya tidak benar, tapi tidak dapat dikoreksi oleh fikiran sehat dan cenderung menimbulkan perilaku negatif. Bahkan dalam kasus tertentu perilaku tersebut dapat bersifat massal, sehingga kehidupan masyarakat terancam “Chaos”.
Muara dari konstelasi pemikiraan di atas sengaja saya tarik ke dalam sebuah pertanyaan; Seberapa penting peran individu untuk menyikapi, bertindak dan memahami fenomena perubahan realitas kehidupan ini (khusunya kehidupan-kota)? Yang kelak juga menjadi ancaman-laten bagi masyarakat yang hidup di pedesaan.

Oleh – Oleh Dari Jakarta
Meskipun tidak diucapkan secara Verbal, dalam beberapa kali pertemuan dengan Bucek Distorsi saya menangkap pesan (subyektif) bahwa “gerak-individu” penting untuk melawan bahaya-laten dari arus “logika-materiil”. Sungguh naïf apabila menyandarkan keseluruhan kisi - kisi kehidupan pada logika tersebut, sebab berdaya secara ekonomi adalah kewajiban setiap individu agar tidak terjerembab dan menyuburkan “mental-pengemis” dalam dirinya. Kemudian, konstruksi realitas seyogyanya dibangun oleh prehensi keleluasaan-ruang yang mendorong individu untuk berani menjadi dirinya sendiri (berdaya), meskipun resiko dari gerak pemahaman ini adalah; terlemparnya posisioning-personal ke dalam  lingkaran “sosial-distorsion”. Pilihan yang  tidak konyol!.

Sikap tersebut tentu saja tidak lahir dengan tiba – tiba. Saya cenderung melihatnya (meskipun mustahil dapat melihatnya secara utuh) sebagai hasil, dari keluas-an penerimaan dirinya terhadap “pengalaman”, dan tidak menutup kemungkinan, pada pengalaman tertentu dia terpaksa harus memahami karena tidak bisa menolak lintasan – lintasan peristiwa tersebut. Seiring dengan itu, mengubah “proses”  menjadi “proges” tentu bukan perkarat mudah, karena setidaknya melewati fase Atribus-diri dan Disonansi-Cognitif yang skema hubungannya dipengaruhi oleh Gaya-Interpersonal.
Fase Atribus-diri dapat dilihat sebagai upaya individu memaknai pengalaman – pengalaman personalnya, sehingga pengalaman tersebut bermakna (meski pengalaman pahit sekalipun). Sebab penafsiran untuk menjelaskan pengalaman tersebut mengacu pada, pola, skema atau ciri khusus seseorang dalam konteks hubungan yang bersifat searah, timbal-balik ataupun jamak dengan orang lain dan lingkungannya. Sesudah dinamika tersebut terealisasi, setidaknya menjadi stimulasi – stimulasi aktif terhadap “game-imajinasi-bebas” yang umumnya digelorakan dan menjadi daya tarik sendiri bagi individu yang berprofesi sebagai seniman (tergantung keunikan masing – masing seniman). Sedangkan Disonansi-Cognitif, yaitu; bagaimana mengharmoniskan fikiran dengan perilaku (termasuk dalam proses penciptaan karya seni) yang tujuan akhirnya adalah realisasi keyakinan diri. Meskipun Gaya-Interpersonal, terkait dengan natural-ability, pembentukkan lingkungan dan kognitivisme, pengaruh yang saya maksudkan merupakan cara, atau strategi memperlakukan diri, orang lain dan masyarakat. Singkatnya, dalam hubungan-bebas ketiga hal ini tampak dari proyeksi kemampuan individu menerima realitas dalam pengertian yang luas. Bagi saya yang merasakan keunikan (subyektif) tatkala melihat karyanya, terasa wajar kalau mempertanyakan hubungan-dalam antara proyeksi diri dan proses kekaryaannya dalam konteks stimulasi-respon realitas.

Tapi aneh, fikiran saya lebih tergelitik saat memperhatikan namanya yang tertulis dengan huruf capital dalam katalognya (handmade). BUCEK DISTORSI…… Apakah Bucek telah terdistorsi oleh tekstur pengalaman hidupnya? Jangan – jangan, dia cuma terperangkap oleh pengamatannya terhadap realitas (meliputi ruang hidup dan karyanya)? Tidak mustahil bukan! Ketika seseorang terpukau oleh progres personalnya ketika pilihannya terasa “benar”, dan atau, telah menandai self-posisioning sebagai zona aman. Dan tentu tidak salah juga, apabila Bucek ataupun individu lainnya memilih masuk ke dalam sistem-generalitas dan melakukan pemilah – pemilahan yang ketat seperti metode induksi Baconian. Metode empirisme yang kaku, konsistensi yang terkesan sebagai pengulangan – pengulangan skema atau pengulangan pola yang sama, dan tak memerlukan lagi imajinasi-bebas.
Saya kemudian menyadari bahwa; alangkah lebih baik jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi milik Bucek seutuhnya, kalaupun tidak, hal tersebut dapat menjadi “simpul-misteri” dari pertemuan dan dialog kami saat itu. Dan sah – sah saja seandainya hal tersebut tetap menjadi “yang tidak ter-ketahui”.   
Kembali pada konteks gradasi perubahan masyarakat-kota. Desakkan untuk mengamin-kan perubahan tersebut menjadi ancaman nyata bagi kehidupan “non-kota”. Sebab virus “logika-materiil” telah menyebar (atau sengaja disebar) memanfaatkan kecanggihan teknologi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan pengaruh politik-kekuasaan yang akhirnya mengikis nilai – nilai kebersamaan dan karakteristik masyarakat kita yang plural. Inilah bahaya laten dari kesesatan prinsip ekonomi yang kelak (atau sedang terjadi) mentasbihkan “budak-modern” dan “budak-produksi”. Bagaimana menahan dan menyeimbangkannya? Dapat terjawab oleh keberanian untuk bersikap, memilih dan menjaga “adab-kehidupan” (sesuai dengan bidang masing - masing). Sadar ataupun tidak disadari koherensi-individual yang komprehensif adalah “kekuatan” (Pilihan yang  tidak konyol!) yang bersifat definite-identity (identitas-satuan, dan atau, bagian yang proyeksi kekuatan keluar melalui pencerahan-identity) dia mampu mensinergiskan diri dalam mengkonstruksi “wilayah-spesial”, menggabungkan imajinasi, pemikiran produktif dan petualangan eksperimental individu (profesi seniman memiliki kedekatan khusus) menuju “Estetika-Adab” yang pantas untuk diperdebatkan kembali.  Realisasinya pun dapat terjawab dengan “Kreativitas” yang fundamental, diharapkan menjadi pancaran ke-“menjadi”-an (The Becoming), melibatkan satuan – satuan lain beserta komponen – komponennya demi mewujudkan kenyataan-solidaritas-kemasyarakatan yang mendapat penjelasan dan kejelasan.

Beberapa hal tersebutlah yang saya anggap menarik dari pameran tunggal Bucek ini: Sebagai individu yang tinggal di tengah realitas kehidupan-kota (Jakarta), dia “Diam” tatkala posisioning-personalnya memberi alarm “sang-penyaksi” menonton pertunjukkan “topeng-topeng” kepentingan oleh sebagian masyarakatnya, atau “membaca” kisah-realitas individu – individu yang rela “mencampakkan diri” demi  keinginan yang nilainya tergantung pada kesenangan, atau kepuasan raup-untung materi. Tapi sesungguhnya dia tidak membisu, karena pemahaman terhadap pilihannya jelas. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah; Suara dari karya – karya yang diciptakannya, suara yang meretas batas visual (meski tidak bisa dipungkiri beberapa karyanya juga mengalami ke“kering”an visual). Apabila kita lemparkan pada ranah upaya untuk menahan, menyeimbangkan bahkan melawan doktrinisasi “logika-materiil”. Proses kreativitasnya ini dapat menjadi “Nutrisi” sekaligus pegangan kesadaran esensial untuk mengisi relung kemanusiaan ketika gerak kehidupan tersumbat, akibat pengamin-an doktrinisasi tersebut. Sebagai individu, Koherensi-Kebebasan tampak dari perilakunya yang menawarkan bahkan seperti tantangan bagaimana untuk “terus bergerak meretas kegelisahan-moral” (asumsi ini muncul ketika melihat dan mendengar dia berdialog dengan satu temannya, dan dua orang kawan berikutnya yang sama – sama berasal dari jakarta).

Kemudian pertanyaan terakhir untuk tulisan ini. Sebenarnya oleh – oleh apa yang dibawa oleh Bucek Distorsi dalam gelaran pameran tunggalnya ini? Sebelum menuliskan jawaban yang bersifat personal dan subyektif dari pertanyaan tersebut. Saya tak bisa menepiskan kejenuhan beberapa tahun belakangan ini, terkait karya seni yang saya rasa “mengada – ngada”. Dalam pengertian, kehadirannya terlepas dari “originality-proces” dan terbelenggu oleh tuntutan lain yang sesungguhnya hanyalah “atribut”. Seperti; hanya memanfaatkan strategi “big-size” agar terlihat fenomenal, apalagi yang menggunakan strategi “overstatetment” di media sosial, dilanjutkan dengan “overacting” dan sibuk “ngalor-ngidul”, menyatakan bahwa “ini adalah pencapaian artistikku yang luar biasa”, saat ditanya lebih jauh jawabannya ngeles, ini “insting” jadi ga bisa dijelaskan, tapi hebatkan! “Saru”nya karya tersebut ternyata dibuat oleh artis-annya. Tapi ya sudahlah, tentu tidak salah apabila seseorang memilih untuk menggunakan potensi kreatifnya demi “ilusi-fisik” semata, dan menghilangkan dimensi-nilainya.

Saya fikir, saya harus memberikan jawaban dari pertanyaan yang telah saya tulis di paragraph sebelumnya. Di tengah kejenuhan yang saya gambarkan sebelumnya, kegembiraan itu menyeruak kembali (lagi - lagi bersifat subyektif) setelah melihat beberapa karya Bucek, sementara waktu kami pun berdiskusi, dilanjutkan dengan ngobrol kesana – sini hingga tengah malam. Hal tersebut terasa menyenangkan sekaligus mengobati kerinduan untuk melihat karya – karya yang lahir dari koherensi-diri, mengedepankan esensi pengalaman dalam pengertian yang luas. Untuk penjelasannya saya sengaja memulai dari titik kreativitas yang terbebas dari ide – ide penerimaan pasif, gagasan murni yang syaratnya adalah keterbukaan dan mampu menangkap beragam petanda-stimulasi yang bisa berbentuk tunggal, jamak maupun abstrak dari gerak-realitas. Kreativitas memiliki respon kebebasan dan terlepas dari keterkekangan tindakan tunggal (teknik tunggal penciptaan). Meskipun demikian kesesuaian - kesesuaiannya dalam proses penciptaan tetap berada pada domain privasi kreator secara spesifik. Selanjutnya adalah pilihannya yang membebaskan dari syarat-material tertentu dan menisbikan “jarak” menjadi strategi jitu untuk menjaga originalitas gagasannya agar tersampaikan “apa-adanya!”.
Nilai – nilai kesederhanaan dalam konstruksi-artistik inilah yang menurut saya “oleh – oleh yang dibawa Bucek dari Jakarta”. “Kesederhanaan-sungguh” adalah kedalaman mentalitas-tinggi dari “keberadaan” seorang seniman.

Selamat Pameran Kawan Bucek! Prosesmu Asyik……….!
Bayu W
Bahan Bacaan
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional; alih bahasa T Hermaya – Jakarta. Gramedia Pustaka Utama 1996.

Wawancara dengan Bucek, 05 September dan 07 September 2013, Yogyakarta.