Sabtu, 25 Mei 2013

MENATAP KEMBALI TOKOH AVANT GARDE PENDIDIKAN NASIONAL KI HADJAR DEWANTARA


Figur Seorang Avant Garde Pendidikan Nasional
UNESCO memberi pengakuan bahwa figur Ki Hajar Dewantara merupakan manusia unik di dunia, sisi unik yang paling spektakuler adalah ketika tanah air dalam cengkeraman penjajah Belanda ada seseorang yang punya nyali mendirikan sekolah khusus pribumi dan mengajarkan bagaimana mengusir penjajahan dari bumi pertiwi.  Kemunculan gagasan Taman Siswa lebih diutamakan karena melihat diskriminasi penjajah pada pribumi dalam mengembalikan atau memberikan haknya mengenyam pendidikan.  Kemudian Ki Hajar Dewantara melalui wadah pendidikan Taman Siswa menanamkan rasa cinta tanah air Indonesia dan melalui partai politik beliau secara tegas berkeinginan menghapus kebodohan, dan melepaskan rakyat Indonesia dari belenggu imperalisme di bumi ini.   Sisi unik lainnya, bagaimana seorang bangsawan melepaskan gelar kebangsawanannya demi melebur bersama rakyat dan bersama-sama berupaya menanamkan kesamaan hak serta derajat tanpa membedakan ras, status sosial, status ekonomi, dan politik. 
Nuansa kebangsaan hingga kini diwarisi bangsa ini dalam ajaran-ajaran dan azas Taman Siswa.  Sehingga Ki Hajar Dewantara menjadi figur avant garde sebagai perintis sistem pendidikan nasional, bahkan ajaran-ajarannya dikagumi dan diserap instusi pendidikan negeri di Eropa dan Amerika. Konsep-konsep pendidikan yang revolusioner kerap menjadi titik inspirasi pengembangan strategi konsep pendidikan di negara-negara maju.  Namun konsep pendidikan kebangsaan dan filosofisnya secara khas ditumbuhkan di Indonesia (begitu pula dengan konsep ekonomi kerakyatan yang kemudian diwarisi bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta) meski acapkali berbenturan dengan konsep pendidikan maupun konsep kapitalisme Barat yang diserap masyarakat pada era modern.
Saat ini, kita berada pada bulan bersejarah bagi pendidikan nasional tepat 2 Mei sekaligus hari kebangkitan nasional pada 20 Mei.  Ini merupakan momentum luar biasa untuk merenungkan kembali makna sakralnya dan kemampuan bangsa ini mengimplementasikan secara nyata pembentukan karakter bangsa melalui dunia pendidikan nasional.  Dua moment sekaligus mengisyaratkan sebuah momen penting bagi kebangkitan dunia pendidikan nasional.   Mengapa demikian? Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional yang sesungguhnya didedikasikan pada peringatan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara, tepat 2 Mei 1889.  Berdasarkan Keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, Ki Hadjar Dewantara dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional. 

Gagasan besar konsep Pendidikan Nasional tercetus dari seorang aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda.  Beliau adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda pada saat itu.  Sebuah cita-cita mulia untuk memberikan kesamaan hak, derajat, melepaskan dari belenggu kebodohan, melenyapkan diskriminatif, dan peluang kemerdekaan sebagai bangsa yang berdaulat.
Kemampuan Suwardi Suryaningrat dalam ilmu keguruan dan pendidikan amat menonjol. Suatu hari R.M. Sutatmo Suryakusumo (anggota Volksraad/Boedi Oetomo) yang memimpin diskusi dengan spontan mengubah kebiasaannya memanggil Suwardi dengan sebutan Ki Ajar. Cara ini kemudian diikuti oleh teman-teman lainnya. Ketika itu Suwardi menerima julukan tersebut sebagai kelakar semata. Tapi enam tahun kemudian, 23 Februari 1928, Suwardi secara resmi berganti nama Ki Hajar Dewantara.  Bernard H.M. Viekke, penulis buku Geschiedenis van de Indischen Archiepel (1947), memberi interpretasi nama itu yakni: “seorang guru yang berhasil menanamkan paham sinkretisme kepercayaan-kepercayaan di Jawa zaman dulu”.
Pada pemerintahan Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) tahun 1943, Ki Hajar ditunjuk untuk menjadi salah seorang pimpinan bersama Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.   Setelah kemerdekaan Ki Hadjar Dewantara dipercaya oleh presiden Soekarno untuk menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.  Melalui jabatannya ini, Ki Hadjar Dewantara semakin leluasa untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.   Pada tahun 1957, Ki Hadjar Dewantara mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada.   Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, tepatnya pada tanggal 28 April 1959 Ki Hadjar Dewantara wafat di Yogyakarta. 
Ki Hadjar Dewantara dianugerahkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, DR. Ir. Soekarno (melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959) .  Ajarannya yakni Tut Wuri Handayani menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia, Ing Madya Mangun Karsa, dan Ing Ngarsa Sungtulada akan selalu menjadi dasar pendidikan di Indonesia.  Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hadjar Dewantara.  Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998.

Menggali Nilai dan Eksplorasi Spirit Kreatif
Jika menengok sejarah, Ki Hadjar Dewantara juga mengawali proses pendidikan di perguruan taman siswa dengan mengenalkan kesenian dan kebudayaan pada siswa-siswinya sebagai pembuka proses pendidikan dan mengenalkan ilmu pengetahuan.  Dikenalkannya dolanan, menggambar, bercerita dan proses kesenian lainnya adalah cara beliau mendekatkan persepsi siswa terhadap minat mengenali budayanya dan proses apresiasi yang secara alamiah diketemukan dalam semua aktivitas belajar.  Melalui seni, beliau menggantungkan harapan besar mengenai pembentukan akal budi, karakteristik, mental maupun spiritual dan kecintaannya pada negerinya. Poin inilah yang senantiasa diacu perguruan Taman Siswa dalam mempertahankan ajaran dan dasar-dasar filosofis taman siswa untuk tetap menumbuhkan jiwa Dewantara Muda yang dapat menjawab tantangan jiwa jaman. 
Dalam kesempatan ini, Prodi Seni Rupa dan Alumni Seni Rupa UST Yogyakarta melakukan inisiasi menggelar aktivitas budaya melalui ruang pameran seni rupa.  Ruang inilah yang akan secara kontinu memberikan kesadaran untuk menggali nilai filosofis dan kehendak besar institusional dalam mengeksplorasi spirit kreatif yang diwariskan Ki Hajar Dewantara.  Tentu saja semua nilai, ajaran, azas maupun tujuan dan cita-cita taman siswa yang diterjemahkan secara luas dan merdeka sehingga kita lebih dikayakan melalui kesadaran melalui temuan-temuan baru yang kontekstual.  Semua aspek yang melekat dalam petualangan dunia akademik jiwa-jiwa Dewantara dapat terejawantahkan melalui konsep-konsep visual dan ideologi estetika yang diyakininya.
Secara umum, karya seni rupa yang dihasilkan alumni, mahasiswa maupun dosen seni rupa UST Yogyakarta memiliki tanda khusus, tanda yang seringkali digali dan dimanifestasikan dalam dunia pendidikan.  Kesadaran bertutur dan melakukan transfer knowledge tentu saja menjadi kekhasan.  Disana-sini tetap saja terjadi perubahan radikal para alumni dan beberapa mahasiswa yang memiliki orientasi bahasa ekspresi dengan melompat dari tatanan umum perguruan yang memproduksi para pendidik.  Ini sebuah tanda penting juga yang dapat kita andalkan.  Suatu hari saya merekomendasi beberapa puluh seniman untuk sebuah pameran, saya kaget karena belakangan baru saya ketahui ada beberapa peserta yang lolos seleksi diantaranya alumni seni rupa UST.  Ada beberapa alumni yang pernah saya kuratori untuk sebuah pameran penting di Galeri AJBS Surabaya dengan tajuk ‘Transavantgarde’ beberapa bulan lalu, karya-karyanya spesifik dan penting dicermati serta masuk dalam peta wacana dan pasar seni rupa Indonesia.  Artinya, mahasiswa seni rupa kini telah memperoleh model para alumni dan dosen yang berkiprah di dunia seni rupa dengan nilai tawar yang sama dengan alumni perguruan tinggi seni lain di tanah air.
Hal di atas tentu saja bukan alasan bagi kita untuk pongah dan cukup puas dengan apa-apa yang kita raih.  Tentu saja kita tak boleh terkubur dengan kebesaran nama dan apa-apa yang diraih Ki Hadjar Dewantara sebagai prestasi yang serta merta membanggakan nama perguruan taman siswa di masa lalu.  Namun, seyogyanya generasi muda mewarisi spirit perjuangan, spirit kebangsaan, spirit menghapus kebodohan dan kemiskinan bangsa Indonesia dengan terus menggali potensi kreatif.  Melahirkan kesadaran belajar dan mengeksplorasi diri secara optimal. 
Paparan ini tidak akan mencukupi kapasitas teks kuratorial tentu saja, namun paling tidak memberikan sedikit gambaran mengenai bagaimana mahasiswa, dosen dan para alumni mewarisi spirit azas kebangsaan dalam proses edukasi.  Melalui pameran seni visual ini sesungguhnya merupakan manifestasi konkret sebuah proses edukasi kepada masyarakat luas mengenai berbagai pemikiran, gagasan kritis, filosofis, dan berbagai perspektif subjektif yang maha luas bisa dituturkan secara merdeka. Seperti yang selalu dilontarkan Ki Hadjar Dewantara untuk berpikir, bersikap dan bertindak semerdekanya. 
Di akhir tulisan ini saya ingin menitipkan satu tantangan besar bagi mahasiswa seni rupa UST untuk tetap berkarya dan terus melakukan eksplorasi estetik habis-habisan untuk mengejar impian masing-masing.  Pertahankan titik didih kreativitas kita dengan komitmen menggali dan berproses secara kontinu.  Dengan demikian kita mampu merobohkan stigma publik mengenai mahasiswa, alumni dan dosen seni rupa UST yang dinilai ‘jago kandang’.   Dan, kita harus terus menunjukkan eksistensi prodi seni rupa UST serta berdaya saing positif dengan mahsiswa maupun institusi lainnya.  Berikan kebanggaan bagi institusi tercinta kita dengan kerja kreatif dan profesionalitas yang tangguh.   Saya antusias, kegiatan pameran ini bisa memicu adrenalin mahasiswa dan civitas akademika untuk senantiasa bangkit untuk mempresentasikan diri dengan karya nyata secara kreatif ke publik sehingga prodi seni rupa UST bisa lebih dikenal dan diperhitungkan di masyarakat luas.
Netok Sawiji_Rusnoto Susanto 
(Kurator Independen, Kandidat Doktor PPs ISI Yogyakarta dan Dosen Seni Rupa UST Yogyakarta)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar