Figur
Seorang Avant Garde Pendidikan Nasional
UNESCO memberi
pengakuan bahwa figur Ki Hajar Dewantara merupakan manusia unik di dunia, sisi
unik yang paling spektakuler adalah ketika tanah air dalam cengkeraman penjajah
Belanda ada seseorang yang punya nyali mendirikan sekolah khusus pribumi dan
mengajarkan bagaimana mengusir penjajahan dari bumi pertiwi. Kemunculan gagasan Taman Siswa lebih
diutamakan karena melihat diskriminasi penjajah pada pribumi dalam mengembalikan
atau memberikan haknya mengenyam pendidikan.
Kemudian Ki Hajar Dewantara melalui wadah pendidikan Taman Siswa menanamkan
rasa cinta tanah air Indonesia dan melalui partai politik beliau secara tegas
berkeinginan menghapus kebodohan, dan melepaskan rakyat Indonesia dari belenggu
imperalisme di bumi ini. Sisi unik
lainnya, bagaimana seorang bangsawan melepaskan gelar kebangsawanannya demi
melebur bersama rakyat dan bersama-sama berupaya menanamkan kesamaan hak serta
derajat tanpa membedakan ras, status sosial, status ekonomi, dan politik.
Nuansa kebangsaan
hingga kini diwarisi bangsa ini dalam ajaran-ajaran dan azas Taman Siswa. Sehingga Ki Hajar Dewantara menjadi figur avant garde sebagai perintis sistem
pendidikan nasional, bahkan ajaran-ajarannya dikagumi dan diserap instusi
pendidikan negeri di Eropa dan Amerika. Konsep-konsep pendidikan yang
revolusioner kerap menjadi titik inspirasi pengembangan strategi konsep
pendidikan di negara-negara maju. Namun
konsep pendidikan kebangsaan dan filosofisnya secara khas ditumbuhkan di
Indonesia (begitu pula dengan konsep ekonomi kerakyatan yang kemudian diwarisi
bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta) meski acapkali berbenturan dengan konsep
pendidikan maupun konsep kapitalisme Barat yang diserap masyarakat pada era
modern.
Saat ini, kita berada
pada bulan bersejarah bagi pendidikan nasional tepat 2 Mei sekaligus hari
kebangkitan nasional pada 20 Mei. Ini
merupakan momentum luar biasa untuk merenungkan kembali makna sakralnya dan
kemampuan bangsa ini mengimplementasikan secara nyata pembentukan karakter
bangsa melalui dunia pendidikan nasional. Dua moment sekaligus mengisyaratkan sebuah
momen penting bagi kebangkitan dunia pendidikan nasional. Mengapa demikian? Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan
Nasional yang sesungguhnya didedikasikan pada peringatan hari kelahiran Ki
Hajar Dewantara, tepat 2 Mei 1889. Berdasarkan
Keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, Ki Hadjar Dewantara dinyatakan sebagai
Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari
Pendidikan Nasional.
Gagasan besar konsep
Pendidikan Nasional tercetus dari seorang aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi,
dan pelopor pendidikan
bagi kaum pribumi
Indonesia
sejak zaman penjajahan Belanda. Beliau adalah pendiri Perguruan Taman Siswa,
suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata
untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi
maupun orang-orang Belanda pada saat itu. Sebuah
cita-cita mulia untuk memberikan kesamaan hak, derajat, melepaskan dari
belenggu kebodohan, melenyapkan diskriminatif, dan peluang kemerdekaan sebagai
bangsa yang berdaulat.
Kemampuan Suwardi Suryaningrat dalam
ilmu keguruan dan pendidikan amat menonjol. Suatu hari R.M. Sutatmo Suryakusumo
(anggota Volksraad/Boedi Oetomo) yang
memimpin diskusi dengan spontan mengubah kebiasaannya memanggil Suwardi dengan
sebutan Ki Ajar. Cara ini kemudian diikuti oleh teman-teman lainnya. Ketika itu
Suwardi menerima julukan tersebut sebagai kelakar semata. Tapi enam tahun
kemudian, 23 Februari 1928, Suwardi secara resmi berganti nama Ki Hajar
Dewantara. Bernard H.M. Viekke, penulis
buku Geschiedenis van de Indischen
Archiepel (1947), memberi interpretasi nama itu yakni: “seorang guru yang
berhasil menanamkan paham sinkretisme kepercayaan-kepercayaan di Jawa zaman
dulu”.
Pada pemerintahan
Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) tahun 1943, Ki Hajar ditunjuk
untuk menjadi salah seorang pimpinan bersama Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta
dan K.H. Mas Mansur. Setelah
kemerdekaan Ki Hadjar Dewantara dipercaya oleh presiden Soekarno untuk menjadi
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Melalui jabatannya ini, Ki Hadjar Dewantara
semakin leluasa untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Pada
tahun 1957, Ki Hadjar Dewantara mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gajah Mada. Dua tahun
setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, tepatnya pada tanggal 28 April
1959 Ki Hadjar Dewantara wafat di Yogyakarta.
Ki Hadjar Dewantara dianugerahkan
sebagai Bapak Pendidikan Nasional yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan
hari Pendidikan Nasional dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2
oleh Presiden RI, DR. Ir. Soekarno (melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959) .
Ajarannya yakni Tut Wuri Handayani menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional
Indonesia, Ing Madya Mangun Karsa,
dan Ing Ngarsa Sungtulada akan
selalu menjadi dasar pendidikan di Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang
Indonesia, KRI Ki Hadjar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas
pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998.
Menggali
Nilai dan Eksplorasi Spirit Kreatif
Jika menengok sejarah,
Ki Hadjar Dewantara juga mengawali proses pendidikan di perguruan taman siswa
dengan mengenalkan kesenian dan kebudayaan pada siswa-siswinya sebagai pembuka
proses pendidikan dan mengenalkan ilmu pengetahuan. Dikenalkannya dolanan, menggambar, bercerita
dan proses kesenian lainnya adalah cara beliau mendekatkan persepsi siswa
terhadap minat mengenali budayanya dan proses apresiasi yang secara alamiah
diketemukan dalam semua aktivitas belajar. Melalui seni, beliau menggantungkan harapan
besar mengenai pembentukan akal budi, karakteristik, mental maupun spiritual
dan kecintaannya pada negerinya. Poin inilah yang senantiasa diacu perguruan
Taman Siswa dalam mempertahankan ajaran dan dasar-dasar filosofis taman siswa
untuk tetap menumbuhkan jiwa Dewantara Muda yang dapat menjawab tantangan jiwa
jaman.
Dalam kesempatan ini,
Prodi Seni Rupa dan Alumni Seni Rupa UST Yogyakarta melakukan inisiasi
menggelar aktivitas budaya melalui ruang pameran seni rupa. Ruang inilah yang akan secara kontinu
memberikan kesadaran untuk menggali nilai filosofis dan kehendak besar
institusional dalam mengeksplorasi spirit kreatif yang diwariskan Ki Hajar
Dewantara. Tentu saja semua nilai,
ajaran, azas maupun tujuan dan cita-cita taman siswa yang diterjemahkan secara
luas dan merdeka sehingga kita lebih dikayakan melalui kesadaran melalui temuan-temuan
baru yang kontekstual. Semua aspek yang
melekat dalam petualangan dunia akademik jiwa-jiwa Dewantara dapat
terejawantahkan melalui konsep-konsep visual dan ideologi estetika yang diyakininya.
Secara umum, karya
seni rupa yang dihasilkan alumni, mahasiswa maupun dosen seni rupa UST
Yogyakarta memiliki tanda khusus, tanda yang seringkali digali dan
dimanifestasikan dalam dunia pendidikan.
Kesadaran bertutur dan melakukan transfer
knowledge tentu saja menjadi kekhasan.
Disana-sini tetap saja terjadi perubahan radikal para alumni dan
beberapa mahasiswa yang memiliki orientasi bahasa ekspresi dengan melompat dari
tatanan umum perguruan yang memproduksi para pendidik. Ini sebuah tanda penting juga yang dapat kita
andalkan. Suatu hari saya merekomendasi
beberapa puluh seniman untuk sebuah pameran, saya kaget karena belakangan baru
saya ketahui ada beberapa peserta yang lolos seleksi diantaranya alumni seni
rupa UST. Ada beberapa alumni yang pernah
saya kuratori untuk sebuah pameran penting di Galeri AJBS Surabaya dengan tajuk
‘Transavantgarde’ beberapa bulan
lalu, karya-karyanya spesifik dan penting dicermati serta masuk dalam peta
wacana dan pasar seni rupa Indonesia.
Artinya, mahasiswa seni rupa kini telah memperoleh model para alumni dan
dosen yang berkiprah di dunia seni rupa dengan nilai tawar yang sama dengan
alumni perguruan tinggi seni lain di tanah air.
Hal di atas tentu saja
bukan alasan bagi kita untuk pongah dan cukup puas dengan apa-apa yang kita
raih. Tentu saja kita tak boleh terkubur
dengan kebesaran nama dan apa-apa yang diraih Ki Hadjar Dewantara sebagai
prestasi yang serta merta membanggakan nama perguruan taman siswa di masa
lalu. Namun, seyogyanya generasi muda
mewarisi spirit perjuangan, spirit kebangsaan, spirit menghapus kebodohan dan
kemiskinan bangsa Indonesia dengan terus menggali potensi kreatif. Melahirkan kesadaran belajar dan
mengeksplorasi diri secara optimal.
Paparan ini tidak akan
mencukupi kapasitas teks kuratorial tentu saja, namun paling tidak memberikan
sedikit gambaran mengenai bagaimana mahasiswa, dosen dan para alumni mewarisi
spirit azas kebangsaan dalam proses edukasi.
Melalui pameran seni visual ini sesungguhnya merupakan manifestasi
konkret sebuah proses edukasi kepada masyarakat luas mengenai berbagai
pemikiran, gagasan kritis, filosofis, dan berbagai perspektif subjektif yang
maha luas bisa dituturkan secara merdeka. Seperti yang selalu dilontarkan Ki Hadjar
Dewantara untuk berpikir, bersikap dan bertindak semerdekanya.
Di akhir tulisan ini
saya ingin menitipkan satu tantangan besar bagi mahasiswa seni rupa UST untuk
tetap berkarya dan terus melakukan eksplorasi estetik habis-habisan untuk
mengejar impian masing-masing. Pertahankan
titik didih kreativitas kita dengan komitmen menggali dan berproses secara
kontinu. Dengan demikian kita mampu
merobohkan stigma publik mengenai
mahasiswa, alumni dan dosen seni rupa UST yang dinilai ‘jago kandang’. Dan,
kita harus terus menunjukkan eksistensi prodi seni rupa UST serta berdaya saing
positif dengan mahsiswa maupun institusi lainnya. Berikan kebanggaan bagi institusi tercinta
kita dengan kerja kreatif dan profesionalitas yang tangguh. Saya antusias, kegiatan pameran ini bisa
memicu adrenalin mahasiswa dan civitas akademika untuk senantiasa bangkit untuk
mempresentasikan diri dengan karya nyata secara kreatif ke publik sehingga
prodi seni rupa UST bisa lebih dikenal dan diperhitungkan di masyarakat luas.
Netok
Sawiji_Rusnoto Susanto
(Kurator Independen, Kandidat Doktor PPs ISI
Yogyakarta dan Dosen Seni Rupa UST Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar