Dari kacamata ilmu Matematika, Satu Tambah Satu Sama Dengan Kosong
tidak mungkin adanya. Sedangkan dari perspektif lain (seperti ilmu – ilmu sosial)
dapat saja diasumsikan kebenarannya, meski belum menjadi sebuah penafsiran yang
postulat. Tanpa mengesampingkan dua cara pandang yang berbeda ini, saya coba
mengemukakan sebuah pandangan yang mungkin saja memiliki keterkaitan dengan salah
satu ataupun dua hal tersebut.
Pertanyaan tentang makna hidup akan terus bergulir sepanjang sejarah kehidupan manusia. Seperti, Siapa saya? Untuk apa saya ada? Dan apa yang saya cari?. Meskipun tidak memiliki jawaban yang pasti atas terhadap pertanyaan tersebut, banyak ahli dan filsuf tetap mencoba merumuskan berbagai teori mengenai pencarian makna hidup manusia semenjak beberapa abad yang lalu. Menyangkut keberadaan manusia dan essensi kehidupan itu sendiri.
Orang – orang yang meyakini eksistensialisme beranggapan bahwa pembentukan manusia tercipta karena adanya fisik manusia yang melahirkan dan mengembangkan pemikiran sehingga terbentuklah jiwa. Keberadaan yang utuh dari kombinasi fisik dan jiwa manusia. Berhubungan dengan makna, makna tercipta melalui pemikiran yang dimunculkan oleh sistem manusia yang saling sangat otomatis ketika saling ber-interaksi dan menjalin interrelasi, baik sesama manusia ataupun dengan dunia sekitarnya (termasuk dengan Tuhan). Proses ini selalu didefinisi-didefinisikan menjadi sesuatu hal yang dapat dimengerti dan melahirkan makna-makna tertentu sesuai dengan konteks realitas.
Sebagai makhluk yang mampu berpikir, mempelajari, menghayati dan kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, manusia memiliki kebermaknaan-hidup untuk memperjuangkan tujuan-tujuan hidup yang dianggap bernilai. Seperti memiliki kebebasan, kesempatan dan keyakinan arah perjalanan hidup yang menuju pada apa yang diharapkan. Salah satu faktornya adalah membangun proses interaksi dan interrelasi interaksi secara positif, dan menerapkan hal-hal positif tersebut dalam perilaku dan tindakan nyata
Bastaman (1996) mengemukakan bahwa individu yang menghayati hidupnya sebagai hidup yang bermakna menunjukkan kehidupan yang penuh gairah dan optimis, hidupnya terarah dan bertujuan, mampu beradaptasi namun tetap dapat menjaga identitas diri, serta mampu mengambil hikmah dibalik berbagai peristiwa. Keberhasilan individu menjadikan hidupnya lebih berarti melalui aktivitas penuh kesadaran untuk mencari dan menemukan arti serta tujuan hidup yang diikuti usaha merealisasikan potensi-potensi pribadi individu yang positif, sehingga dapat menjadikan hidupnya lebih terarah. Sedangkan Frankl (2003) mendefinisikannya sebagai suatu keadaan di mana individu dapat menghayati hidupnya sebagai kehidupan yang penuh arti dengan memahami bahwa dalam setiap peristiwa dalam kehidupannya terdapat hal penting yang berharga dan berarti, sehingga individu menemukan alasan untuk tetap bertahan hidup.
Tidak dapat dipungkiri, Siapa saya? Untuk apa saya ada? Dan apa yang saya cari? memberikan jawaban yang bersifat sangat subyektif. Terlepas dari subyektivitas tersebut, makna hidup dan kehidupan akan dimiliki individu apabila ia mengetahui arti dari hidup dan menyadari apa yang sedang ia jalani. Memiliki visi hidup dan adanya harapan adalah alasan logis untuk tetap bertahan hidup dengan nilai yang berarti. Selanjutnya, berkaitan dengan tulisan yang memproyeksikan judul lukisan saya ini (Satu Tambah Satu Sama Dengan Kosong) adalah “Satu”-terciptanya Freedom of will (kebebasan berkehendak dan bersikap), “Tambah Satu”-Will to meaning (keinginan untuk memaknai bahwa hidup sangat berarti, berharga dan berguna), dan “Sama Dengan Nol”-merupakan Meaning of life (arti hidup yang memberikan nilai spesial bagi individu, meski itu tetap bersifat subyektif).
Kemudian apakah argumentasi di atas mampu menafsirkan “Satu Tambah Satu Sama Dengan Kosong” secara utuh? Ataukah dia hanyalah salah satu “Sign” dari seribu tanda yang mewarnai realitas kehidupan? Saya mempersilahkan pembaca untuk menjelajahinya seiring dengan perjalan-langkah kehidupan kita masing – masing.
Pertanyaan tentang makna hidup akan terus bergulir sepanjang sejarah kehidupan manusia. Seperti, Siapa saya? Untuk apa saya ada? Dan apa yang saya cari?. Meskipun tidak memiliki jawaban yang pasti atas terhadap pertanyaan tersebut, banyak ahli dan filsuf tetap mencoba merumuskan berbagai teori mengenai pencarian makna hidup manusia semenjak beberapa abad yang lalu. Menyangkut keberadaan manusia dan essensi kehidupan itu sendiri.
Orang – orang yang meyakini eksistensialisme beranggapan bahwa pembentukan manusia tercipta karena adanya fisik manusia yang melahirkan dan mengembangkan pemikiran sehingga terbentuklah jiwa. Keberadaan yang utuh dari kombinasi fisik dan jiwa manusia. Berhubungan dengan makna, makna tercipta melalui pemikiran yang dimunculkan oleh sistem manusia yang saling sangat otomatis ketika saling ber-interaksi dan menjalin interrelasi, baik sesama manusia ataupun dengan dunia sekitarnya (termasuk dengan Tuhan). Proses ini selalu didefinisi-didefinisikan menjadi sesuatu hal yang dapat dimengerti dan melahirkan makna-makna tertentu sesuai dengan konteks realitas.
Diri yang otentik
merupakan kehidupan manusia yang mampu “melampaui” berbagai permasalahan dalam menemukan diri dan makna hidupnya secara
“utuh”. Dalam konstelasi personal, “pemberontakan” dapat saja menjadi upaya untuk
melampaui berbagai hal tersebut, terutama berkaitan dengan hal – hal yang dianggap
menghalangi. Kemudian sadar ataupun tidak, kreativitas manusia dituntut untuk
menyingkap selubung tabir diri dan
kehidupan. Dengan pengertian lain, “pemberontakan”
dalam hidup adalah menjadi berani untuk menerima dan menghadapi permasalahan
yang ada.
Sebagai makhluk yang mampu berpikir, mempelajari, menghayati dan kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, manusia memiliki kebermaknaan-hidup untuk memperjuangkan tujuan-tujuan hidup yang dianggap bernilai. Seperti memiliki kebebasan, kesempatan dan keyakinan arah perjalanan hidup yang menuju pada apa yang diharapkan. Salah satu faktornya adalah membangun proses interaksi dan interrelasi interaksi secara positif, dan menerapkan hal-hal positif tersebut dalam perilaku dan tindakan nyata
Bastaman (1996) mengemukakan bahwa individu yang menghayati hidupnya sebagai hidup yang bermakna menunjukkan kehidupan yang penuh gairah dan optimis, hidupnya terarah dan bertujuan, mampu beradaptasi namun tetap dapat menjaga identitas diri, serta mampu mengambil hikmah dibalik berbagai peristiwa. Keberhasilan individu menjadikan hidupnya lebih berarti melalui aktivitas penuh kesadaran untuk mencari dan menemukan arti serta tujuan hidup yang diikuti usaha merealisasikan potensi-potensi pribadi individu yang positif, sehingga dapat menjadikan hidupnya lebih terarah. Sedangkan Frankl (2003) mendefinisikannya sebagai suatu keadaan di mana individu dapat menghayati hidupnya sebagai kehidupan yang penuh arti dengan memahami bahwa dalam setiap peristiwa dalam kehidupannya terdapat hal penting yang berharga dan berarti, sehingga individu menemukan alasan untuk tetap bertahan hidup.
Tidak dapat dipungkiri, Siapa saya? Untuk apa saya ada? Dan apa yang saya cari? memberikan jawaban yang bersifat sangat subyektif. Terlepas dari subyektivitas tersebut, makna hidup dan kehidupan akan dimiliki individu apabila ia mengetahui arti dari hidup dan menyadari apa yang sedang ia jalani. Memiliki visi hidup dan adanya harapan adalah alasan logis untuk tetap bertahan hidup dengan nilai yang berarti. Selanjutnya, berkaitan dengan tulisan yang memproyeksikan judul lukisan saya ini (Satu Tambah Satu Sama Dengan Kosong) adalah “Satu”-terciptanya Freedom of will (kebebasan berkehendak dan bersikap), “Tambah Satu”-Will to meaning (keinginan untuk memaknai bahwa hidup sangat berarti, berharga dan berguna), dan “Sama Dengan Nol”-merupakan Meaning of life (arti hidup yang memberikan nilai spesial bagi individu, meski itu tetap bersifat subyektif).
Kemudian apakah argumentasi di atas mampu menafsirkan “Satu Tambah Satu Sama Dengan Kosong” secara utuh? Ataukah dia hanyalah salah satu “Sign” dari seribu tanda yang mewarnai realitas kehidupan? Saya mempersilahkan pembaca untuk menjelajahinya seiring dengan perjalan-langkah kehidupan kita masing – masing.
REFERENSI
Bastaman, H.D. 1996. Meraih Hidup Bermakna : Kisah Pribadi Dengan Pengalaman
Tragis. Jakarta. Penerbit Paramadina
Frankl, V.E. 2003. Logoterapi : Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi. Yogyakarta.
Kreasi Wacana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar