Selasa, 24 Desember 2013

"Inklinasi Tubuh" Patung-Patung Joni Waldi




Pengantar Kuratorial oleh Mikke Susanto


Inklinasi merupakan sebuah kata yang kerap dipakai dalam bidang geografi. Hal ini menunjuk pada penyimpangan kedudukan sumbu bumi terhadap bidang datar dan membentuk bidang ekliptika. Adapun dalam arti lain, “inklinasi” berarti penyimpangan atau sejumlah penyimpangan dari kebiasaan normal, atau berarti posisi dan kondisi dengan kecenderungan tertentu: tindakan, pikiran, tubuh, dan lain-lain. Kamus Merriam-webster mengartikulasi “inklinasi” sebagai perasaan ingin melakukan sesuatu, atau seseorang yang memiliki kecenderungan untuk melakukan sesuatu. Kamus Oxford Dictionary mengartikan “inklinasi” sebagai kecenderungan alami seseorang atau dorongan untuk bertindak atau merasa dengan cara tertentu. Akan tetapi harus diingat dalam konteks filosofis, kata ini terkadang tidak saja memiliki kecenderungan harfiah, dalam kebanyakan kasus hal ini juga dalam arti kiasan.
Dipakainya judul di atas didasari oleh pikiran pematungnya, Jhoni Waldi. Secara tersirat dalam berbagai perbincangan saya dengannya, ia menyatakan kesenangannya terhadap persoalan kemanusiaan (yang diwakili oleh tubuh). Ia sering berpikir mengenai persoalan manusia dan alam lingkungan yang mengitarinya. Ia menandai berbagai peristiwa yang lebih terkait pada manusia ketika berbagai masalah datang dan berkecamuk di dalamnya.
Sudah tak terhitung lagi peristiwa yang mengakar pada persoalan manusia sebagai subjek sekaligus objek. Dewasa ini masyarakat Indonesia disibukkan oleh peristiwa “perbudakan” gaya baru (human trafficking) yang terjadi di pada sebuah pabrik pembuatan alat rumah tangga di Kampung Bayur Opak RT 03 RW 06, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur, Tangerang (4/5/2013). Peristiwa ini menyuguhkan drama mengenai eksploitasi tubuh manusia tanpa ditopang dengan adab dan etik. Mereka (para laki-laki pekerja) harus bekerja dari pukul 06.00 WIB sampai tengah malam dengan hanya diberi dua kali makan, bahkan, mereka tak diberi gaji.
Kasus di atas menjadi salah satu diantara kasus lain. Hal yang bisa dicontohkan lagi antara lain adalah kasus penggunaan tubuh perempuan sebagai komoditas ekonomi, wisata, dan industri. Mereka menjadi subjek sekaligus objek (tontonan). Mereka “dipaksa” oleh keadaan untuk melakukan gerakan tubuh tertentu, agar mampu dan menjadi menarik perhatian. Tubuh perempuan ditarik sebagai sebuah “karya seni” pendamping produk (barang dan jasa) publik. Meskipun tidak sampai melukai tubuh secara fisik mereka, perlakuan tubuh dalam konteks semacam ini telah melibatkan serangkaian alur pikir yang kompleks dan bermasalah (setidaknya bagi pelaku).
Jadi dalam hal ini, posisi tubuh (manusia) memang sangat vital. Penyebabnya adalah karena tubuh (manusia) merupakan ruang perjumpaan antara individu dan publik, ide dan materi, sakral dan profan, transenden dan imanen, serta idealisasi dan komodifikasi. Tubuh mampu menjadi ruang ambang yang berbatas secara fisik, namun “tak berbatas” secara konseptual.
Hal ini sepadan dengan persepsi bahwa tubuh dengan posisi ambang seperti itu tidak saja disadari sebagai medium bagi merasuknya pengalaman ke dalam diri, tetapi juga merupakan medium bagi terpancarnya ekspresi dan aktualisasi diri. Tubuh manusia memungkinkan segalanya terjadi. Bahkan lewat dan dalam tubuh, pengalaman dan ekspresi terkait secara dialektis.

Intensi kita terhadap tubuh juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan medis. “Bio-medis” atau kadang disebut “bio-etika” menawarkan medan dimana tubuh memiliki hubungan penting antara (tata) kehidupan dan ilmu kedokteran. Dalam hal ini etika lebih sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dari sudut norma dan nilai-nilai moral.
Masalah ini mewujudkan sebuah strategi berpikir mengenai tubuh yang merespons--misalnya terhadap obat--sebuah zat yang seharusnya menjamin hidup dan sehatnya tubuh. Tubuh akhirnya berada di zona ambang batas yang aneh dan memiliki fungsi medis/biologis. Tidaklah mengherankan, bila kemudian konsep "etika-tubuh" akhirnya lebih merujuk pada hubungan dokter dengan pasien/individu beserta konvensi/adat/sistem/undang-undang yang mengaturnya.
Patung-patung Jhoni Waldi yang tersaji dalam pameran ini merupakan implementasi atas respon dan kesadaran Jhoni tentang posisi vital tubuh manusia, baik sebagai medium pengalaman, medium ekspresi, ekplorasi dan eksploitasi, dan bio-etika itu. Jhoni dengan segala pengalaman artistiknya mencoba untuk menguatkan konsep tentang situasi dan kondisi serta perilaku tubuh dimana ia mengalami berbagai persoalan.
Singkatnya, pameran ini ingin mengartikulasi respons subjek yakni manusia (melalui tubuhnya) untuk mengalami benturan tata aturan (biologis, konsepsi-konsepsi,  konvensi, atau sistem tradisi). Tentu saja respons atas tata aturan ini akan berdampak pada pikiran, lalu berlanjut pada aspek fisik manusia. Jadi, pertanyaan yang sekaligus menjadi penanda penting dalam pameran ini adalah sejauh mana manusia mampu menerima atau menolak tata aturan tersebut? Akankah ia hanya mampu berlaku sebagai subjek (pelaku) atau justru sebagai objek (korban)? Sejumlah 17 patung Jhoni Waldi menggambarkan situasi ini sebagai “inklinasi”.
Dalam proses kreatif teknis, Jhoni mengeksplorasi sebuah temuan yang khas. Pada sudut bahan, ia menggunakan kayu, alumunium dan resin sebagai batang tubuh utama yang dipakainya. Sampai pada tataran ini, teknik yang dipakainya masih tergolong umum. Teknik yang lebih khas adalah pemakaian lembaran kuningan yang dipergunakan sebagai “kulit” tubuh. Ia menggunakan teknik tempel dengan lem khusus, satu persatu. Dengan demikian ia dapat mempermainkan lahirnya sosok-sosok yang unik sesuai dengan narasi yang hendak dibangunnya.
Dengan teknik menempel lembaran kuningan yang telah dipotong-potong, ia mengubah tubuh (berbahan mentah berupa kayu dan/atau resin) menjadi sosok yang berbeda. Sekilas tubuh manusia terkesan mengalami alienasi. Anatomi yang amat kuat, ditopang dengan “kulit” khusus tersebut, semakin meyakinkan bahwa persoalan lingkungan amat menentukan konsepsi atau cara pikir Jhoni. Dalam hal ini, saya meresepsi sebuah upaya, bahwa “kulit” tubuh pada sebagian patung-patung Jhoni adalah sebuah “catatan kelam” mengenai hilangnya rasa dan jiwa manusia.
Karya paling ikonik dalam pameran ini berjudul Hilang Akal Sehat (kayu Jati dan logam, 2013). Karya ini berujud berupa 5 potongan kepala yang diinjak oleh kaki, dan diletakkan pada pustek. Kelima kepala tersebut sudah tak tampak lagi bagian otaknya, karena telah “di/terpotong”. Lalu ada kaki yang menginjak muka, kepala bagian belakang, tengah dan depan. Satu lagi, tampak sebuah kaki menekannya dengan tenaga ekstra.
Kepala-kepala tanpa otak ini, bagi saya adalah manusia yang terserang oleh kompleksitas hidup. Adapun kaki-kaki (logam) adalah perumpamaan mengenai situasi yang menekan dan melahirkan kompleksitas. Apa yang diharapkan dari situasi semacam ini. Muka mereka tak tergambar lagi, apakah tengah bergembira atau bersedih ria, suka atau duka, bugar atau lelah? Semua memungkinkan. Jangan-jangan, inilah wujud manusia hari ini yang ditimpa terlalu banyak kompleksitas: tanpa ekspresi dan artikulasi.

Adapun karya Tergoda (kayu Jati & lebaran kuningan,73x30x30cm) adalah suguhan yang mengimplementasi perihal penggunaan tubuh (perempuan) sebagai komoditas ekonomi, wisata, dan industri. Karya yang bertarikh 2011 ini selain memberi pemahaman mengenai sosok yang dianggap sebagai simbol kecantikan (baru), juga menceritakan tentang upaya manusia yang telah mengalami alienasi terhadap perkembangan zaman (teknologi, kecantikan, atau bidang lainnya).
Karya Minuman Untuk Penguasa (alumunium, kayu jati dan gelas,190cm x 60cm x 20 cm, 2013) adalah sesosok yang menyimbolkan gestur yang mengalami benturan etika dan konvensi. Karya ini seakan-akan bertugas untuk menyajikan sikap kritis kita terhadap penguasa yang dianggapnya sebagai musuh atau orang yang memperlakukan manusia tidak pada umumnya.  Sebuah tugas berat bila sebuah sindiran dan kritik harus dilakukan dengan menggunakan gestur tubuh semacam ini. Sungguh!
Maka pada saat manusia terbentur dan mengalami pergeseran peran dan makna, apa yang bisa diperbuat? Melawan, mengadaptasi atau mengimplementasi perubahan? Sebuah karya yang bertajuk Bertahan (kayu jati dan logam, 75x25x25, 2013) adalah salah satu jawabannya. Karya ini memvisualisasikan seseorang tengah bersikap seperti seorang petinju yang siap bertarung. Dengan tubuh yang atletis ia tetap melakukan simbolisasi gesture “siap-sedia”, meskipun ia tak memiliki otak lagi.

Inilah keindahan sejumlah karya yang dilahirkan karena sikap-sikap kritis terhadap perubahan dan alienasi manusia. Bertahan dan melakukan sesuatu, adalah sebuah harapan untuk mendapatkan kesempatan untuk bertahan. Persoalan kita akan menang atau kalah, mampu atau musnah, berhasil atau gagal, merdeka atau mati adalah persoalan berikutnya. Sekali lagi, yang penting dan harus disadari terlebih dulu adalah adanya sikap untuk “melakukan sesuatu”, meskipun seperti tanpa daya. Inilah makna penting melakukan “inklinasi” itu. Selamat mengapresiasi. +++


Minggu, 22 Desember 2013

Risalah Mental, Diri dan Konsepsi Patung - Patung Jhoni Waldi



Kekuatan-Mental: Sebuah Argumentasi tentang “kesadaran-aktif” (active consciousness)
 
Dalam 20 tahun terakhir ini, percepatan pertumbuhan pengetahuan dan teknologi laksana ledakan, ditandai dengan meluasnya keilmuan dan penggunaan teknologi yang masif. Akibat perubahan yang cepat dan ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi menciptakan “kecemasan – kecemasan baru” atau technostress. Selain itu, pola kehidupan masyarakat yang terjebak pada “irama konsumstif” telah turut menandai pergerakkan zaman, me-nisbikan eloknya hubungan antar manusia dan mengganti dasarannya dengan tingkat keber-punyaan dan kekuasaan. Hal demikian pengaruhnya sangat besar terhadap berbagai persoalan yang berkaitan dengan “mentalitas manusia”. Sehingga patut sama – sama kita curigai, jangan – jangan ini menjadi tanda - tanda dari fenomena Alienasi-Mental Manusia Kontemporer yang tunduk pada teknologi ciptaan mereka sendiri dan seragam dalam satu tatanan “kekuasaan yang menjadi tuan”?  
   
Mental merupakan “kebulatan-dinamik” yang dimiliki oleh setiap individu, cerminannya tampak pada sikap, perilaku dan juga kreativitas. Secara umum mental diartikan sebagai “kesatuan unsur-unsur jiwa” yang meliputi pikiran, emosi, sikap (attitude) dan perilaku. Satuan-aktual dari “kebulatan” tersebut menentukan pola atau cara berpikir, bentuk emosional, sikap personal dan corak perilaku individu. Sedangkan kreativitas dapat dilihat secara luas dan khusus. 

Secara luas kreativitas individu dimaknai sebagai sebuah kemampuan bagaimana mengatasi masalah (problem solving). Terkait dengan “ke-khususan” kreativitas individu dengan profesi seniman, saya lebih senang memandangnya sebagai “sebuah keistimewaan yang aktif dan reflektif”. Yang dimaksudkan dengan “aktif”  adalah; Kesadaran seniman tidak semata - mata berkutat pada praktek “reproduksi-kreativitas” tapi juga melingkari pemaknaan kreativitas itu sendiri sebagai hakekat “perubahan”, meskipun hal demikian berada pada tataran subyektivitas-individual yang paling absurd sekalipun. Sedangkan uraian “reflektif”nya merupakan proyeksi-individu yang merefleksikan realitas kehidupan sebagai sebuah fenomena yang “terbuka” untuk disikapi, dikritisi, ataupun diperbaharui melalui pintu – pintu estetis (karya seni).
Ikhwal di atas berhubungan dengan konstruksi penciptaan karya seni, yang menurut anggapan saya dimulai dari keajegan seniman dalam menyerap momen – momen estetis melalui kapasitas inderawi. Setelah itu “ke-legowo-an” seorang seniman menentukan seberapa luas “ruang-analisis-diri” yang mengendapkan atau membekukan momen estetis tersebut. Sedangkan yang paling unik, adalah; peraduan semua hal tersebut yang kemudian ter(di)-proyeksikan melalui karya seni dengan kode – kode estetika yang khas dan berkarakter.
Meskipun berada dalam skema yang abstraksi, terdapat relasi yang erat antara mentalitas seniman (individu) dengan praktek kreativitas (Karya Seni) sebagai “daya-hidup” (meminjam istilah Albert Camus). Dalam konteks ini selanjutnya akan saya bahasakan sebagai “Kekuatan-Mental”, yaitu; konstruksi dasar dalam personality-individu (Seniman) yang menjadi sumber tenaga atau daya dorong untuk membangun “karakteristik-identitas” diri dan karya seni. Ukurannya tentu relatif, tergantung seberapa “bulat”nya; dinamisasi “ruang ke-luasan” seniman dalam memproyeksikan gagasannya, sekaligus membuka “ruang-lain” yang mengakomodasi kebebasan “suara karya seni”, dan juga kemampuan untuk menerima “kisi – kisi lain” sebagai bagian dari “natural-impact”.
Setelah sepenggal uraian mental yang di-gubah menjadi Kekuatan-Mental di atas, naïf rasanya apabila Kekuatan-Mental dalam diri seseorang datang dengan tiba – tiba. Sebab dia lahir melewati proses dan ditumbuh-kembangkan melalui beberapa faktor yang saling berkaitan secara dinamis dan bersifat akumulatif (faktor – faktor di bawah ini terbuka bagi pembaca untuk mengurangi atau menambahkannya); Faktor pertama, Pendidikan. Yaitu; Didik-Diri-Realitas. hubungan ketiga kata ini memiliki keluasan pengartian yang dapat dimaknai secara subyektif, obyektif ataupun relatif. Terlepas dari itu, penulis lebih suka menyusun peng-artiannya dengan mengadaptasi konsep Pendidikan Hadap Masalah yang digaungkan Paulo Freire dan Y.B Mangunwijaya. Proses pendidikan ini diterapkan dengan pengintegrasian realitas sebagai titik fokus untuk proses pembelajaran, pengetahuan dan pemahaman. Sehingga dapat dilakukan oleh setiap individu, komunitas, dan lembaga secara formal, informal ataupun non formal. Sedangkan tujuannya bermuara pada pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang tidak tercerabut dari budayanya, mampu menghadapi berbagai perubahan dan meningkatkan kesejahteraan hidup (diri dan masyarakat) yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, SDM yang berkualitas adalah individu dan masyarakat yang memiliki karakter “Glocalization”. 

Pendidikan-Realitas sebagai salah satu faktor dari konstruksi “kekuatan-mental”, selaras dengan ungkapan Paulo Freire tentang konsep pendidikan. Pendidikan merupakan jalan untuk membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya, memberikan peluang bagi pengakuan derajat manusia. Minimalnya, manusia dihargai sebagai manusia. Lebih spesifik, konsep pendidikan harus terbuka pada pengenalan realitas diri, prakteknya mengimplikasikan konsep manusia dan dunianya, agar manusia menjadi subyek dirinya sendiri[1]
Yang kedua adalah; Kemampuan-Kebebasan. Uraian tentang hal ini saya awali dengan ungkapan bahwa: setiap individu adalah makhluk yang ajeg dan unik, serta memiliki ke-khasan personal. Kaitannya dengan “kemampuan” terlihat dari sifat-potensi yang melingkupi setiap individu, yaitu: Potensi diri yang bersifat “natural-ability” (kemampuan dan bakat yang dibawa semenjak lahir) dan potensi yang didapat berdasarkan proses pengalaman setiap individu yang berbeda - beda. Kemudian “kebebasan” tertuang melalui; bagaimana cara individu berfikir, bersikap, berperilaku dan bertindak yang seyogyanya mengarah pada pencapaian tujuan hidup individu. Selanjutnya pemaknaan terhadap kebebasan menjadi pertanggung jawaban individu secara aktual dan konkrit.

Faktor yang ketiga: Keberanian. Siapa yang kehilangan Keberanian, dia telah kehilangan segalanya! Ungkap Nietzche[2]. Dan jamak rasanya membaca pernyataan para pemikir lainnya yang sering kali berujung pada ungkapan tentang keberanian yang menjadi kunci keberhasilan seseorang. Lalu bagaimana menumbuhkan keberanian?. Keberanian dalam diri seseorang dapat tumbuh ketika dia memahami ketakukan yang ada dalam dirinya. Pemahaman tersebut dikonstruksi oleh beberapa hal, seperti: Keyakinan terhadap adanya jalan keluar dari berbagai situasi ataupun kondisi yang paling sulit sekalipun. Selalu berfikir positif dan menikmati langkah kehidupan dengan bersikap apa adanya (jujur). Terus bermimpi dan tidak takut berbuat salah, karena kesalahan adalah pembelajaran yang menjadikan diri pribadi lebih matang dan lebih kreatif.



Dari konstelasi di atas menghantarkan pemikiran ini pada argumentasi bahwa: “Kekuatan-Mental” merupakan pemahaman terhadap kapabilitas diri (asal kata kapabel=mampu[3], gabungan dari kapasitas – kapasitas yang dimiliki individu) yang membawa manusia pada “gerbang kesadaran”. melampaui kesadaran untuk mawas diri (introspective consciousness). Yaitu: “kesadaran-aktif” (active consciousness) yang menggiring seseorang menjadi pribadi yang “siap” menghadapi segala permasalahan hidup, berkarakter, jauh dari sifat, sikap dan perilaku destruktif, dapat memberikan konstribusi positif bagi individu lain dan berdedikasi dalam kehidupan masyarakat. Kaitannya dengan konteks seniman dan karya seni terlihat dari kreativitas diri yang dapat meng-kreasikan nilai – nilai kehidupan.  
Mengerucut pada sebuah pertanyaan, apa dan bagaimana hubungannya dengan diri dan karya patung Jhoni Waldi?

Jhoni Waldi Yang Saya Kenal
 
Saya pertama kali bertemu dengan Jhoni Waldi (Da Jon begitu saya memanggilnya) pada pertengahan tahun 2008. Kala itu kami sama – sama Pameran Seni Rupa disalah satu Art House di Jakarta. Pribadinya yang suka bercerita (ngobrol) dapat menjalin dialog antara beberapa teman, sebelum dan seusai acara pembukaan. Sungguh saya lupa tentang apa – apa yang kami perbincangkan kala itu, namun saya masih sedikit mengingat ekspresi wajah, intonasi suara dan gerak tangannya kala merangkai tulisan ini. 

Semenjak itu saya sering berkunjung ke Studionya di wilayah Tegal Kenongo, Bantul, Yogyakarta, di sana jualah saya melihat bagaimana Jhoni mengeksekusi karya seninya. Singkat kata pada tahun 2011 dia mengutarakan niatnya untuk berpameran tunggal dan kamipun banyak berdialog tentang gagasan – gagasan yang akan dia wujudkan. Setelah gagasan tersebut kami teks-kan gayung pun bersambut, pada bulan September 2012 Bentara Budaya Yogyakarta mengapresiasinya dengan memberikan jadwal pelaksanaan pameran pada tanggal 17 Desember 2013. 



Apabila merujuk pada relasi-umum antara peristiwa dan waktu tentu banyak hal yang terjadi dalam rentanganya yang cukup panjang tersebut. Kondisi tersebut juga sesuai dengan proses persiapan penciptaan karya seni patung yang pastinya membutuhkan banyak waktu. Selama saya terlibat dan mengikuti proses kekaryaan yang dipersiapkan untuk pameran tunggal Jhoni Waldi tersebut, saya menemukan beberapa hal yang menarik, Yaitu: Ide dan gagasan Jhoni, meskipun beberapa karyanya bersifat recalling-ide namun dinamisasi pembaharuannya lahir dari spirit keberanian untuk terus men-ggali, mang-analisa dan memilih gagasan mana yang dapat dia wujudkan denga maksimal. Berikutnya, eksplorasi medium dan teknik yang kemudian memperkaya bahasa visual karya patungnya. Dan terakhir adalah karakter personalnya yang pekerja keras dan kebulatan tekad untuk mem-Fakta-kan pilihannya dengan konsisten menciptakan karya seni patung.

Sebagai pribadi Jhoni memang terkenal dengan karakter personalnya yang keras, tegas dan terkadang terkesan tidak terbantahkan. Tapi apakah sedemikian faktanya?. Mengacu pada awal tulisan ini tentang Kekuatan-Mental, asumsi tentang karakter personal individu tersebut dapat dikatakan sebagai fenomena-permukaan, yang ketika “dijelajahi” lebih dalam akan sama sekali berbeda. Secara umum, Individu yang memiliki “kesadaran-aktif” (active consciousness) dengan tuntutan “kesiapan-diri” (langsung maupun tidak langsung) akan memberikan tuntutan pada dirinya dan individu lainnya untuk siap dikritisi dan mengkiritisi, filter-dirinya bersifat argumentatif. Sedangkan transformasi karakter personal yang tegas akan menggambarkan spirit dirinya yang pekerja keras untuk meretas berbagai persoalan hidup, baik permasalahan pribadi maupun persoalan yang menyangkut kekaryaan. Begitulah Jhoni yang saya kenal. Terlepas dari subyektivitas personal saya ada baiknya audiens menyimak uraian tentang Jhoni Waldi di bawah ini.

Jhoni Waldi : Si Pekerja Keras di Mata Para Sahabatnya 

Jhoni dapat dikatakan sebagai salah seorang sosok pematung yang konsisten, secara formal dia telah mempelajari seni patung semenjak menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Padang, Sumatera Barat. Selepas dari SMSR (1993), dia melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan Strata 1 Seni Patung di Institute Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Dan hingga saat ini dia tetap fokus pada seni patung, karena dia meyakini seni patung adalah; medium seni yang dapat menampung seluruh ide dan gagasannya. Dari titik ini saya melihat pilihan Jhoni tersebut tampak sebagai “satuan-aktual”, cerminan dari kematangan diri pribadinya, ataupun bentuk kesadaran-diri-aktif yang memahami konsekuensi - konsekuensi logis setelahnya.



Terlepas dari paragraf sebelumnya, tentu yang menarik adalah gambaran tentang Jhoni Waldi dari para sahabat yang telah mengenalnya dikurun waktu yang panjang. Berikut petikkan wawancara penulis dengan Abdi Setiawan, Seniman Patung salah seorang sahabatnya;

Penulis : Melalui cerita – cerita Jhoni anda adalah sahabat yang seringkali menjadi “tempat” baginya untuk berbagi banyak hal. Bagaimana selama ini anda melihat Jhoni sebagai seorang Pematung?
Abdi S   : Menurut saya sebagai pematung, Jhoni merupakan seorang pekerja keras. Pernah suatu waktu saya memintanya untuk membuat “global-model” dari kayu jati (glondongan), kerjanya cepat dan tidak membutuhkan lama dalam melakukannya. Hal itu persis ketika saya bertandang ke studionya dan ketika itu saya juga melihat dia membuat “global-model”. Saya akui spirit kerjanya kuat, tapi hal tersebut bisa “menjebaknya” karena menurut saya kadang – kadang dalam membuat karya patung kita harus “menghentikannya”, bagaimana memujudkan gagasan melalui visual karya yang terkesan belum “jadi”. Mungkin itu yang membedakan kami!.
Penulis  : Apakah hal tersebut juga anda lihat sewaktu masih sama – sama kuliah (di Institute Seni Indonesia) dulu?
Abdi S   : Bagaimana ya..? setahu saya Jhoni termasuk rajin dalam menciptakan karya patung semenjak awal – awal kuliah. Sedangkan saya,,ha.ha..ha… Spiritnya mungkin iya! Namun sekarang ini, kalau boleh saya mengatakan Jhoni sebaiknya menantang dirinya lebih keras, mungkin saja “keluar” dari figure atau hal lain yang sifatnya “baru”. Sebab sayang, diakan memiliki spirit kerja yang luar biasa kalau ditambah hal itu saya fikir akan menjadi lebih baik.[4]  

Terkait dengan ide dan gagasan, eksplorasi medium dan teknik dapat kita lihat dari kutipan diskusi antara Rudi Mantofani, Dio Pamola, Jhoni Waldi dan saya sebagai penulis. Saya memulainya dari ungkapan Rudi Mantofani, “menjadi seniman itu dimulai dari pikiran yang positif, karena terkadang sebagian orang belum bisa melapangkan hatinya dan pinginnya dipuji terus”. Ungkapan ini sebenarnya diawali oleh candaan atau pujian Rudi yang melihat kerapian Pustek Patung, yang kemudian direspon Jhoni dengan ucapan terima kasih karena masih ada yang memuji! Kemudian dilanjuti oleh Dio Pamola Tapi itu bisa menjadi kemungkinan lain lho da Rud? Coba kalau dibalik, sehingga Pusteknya yang di atas!

Rudi M  : Sebentar Dio! memang terkadang seniman dituntut untuk membalikkan logika orang dengan komposisi karya, memainkan persepsi orang lain (public). Artinya begini, dari situ sebenarnya kita bisa melihat bahwa ketika seniman berkarya dengan kesadaran, pengetahuan dan kesungguhan, karena setiap orang dapat merasakan karya seni. Keberhasilannya ditentukan dari kesunguh – sunguhannya. Istillahnya, hal itu yang membedakan antara seniman yang satu dengan yang lainnya, sebab seniman yang demikian memiliki identitas, karakter dan tidak terpengaruh oleh hal – hal yang “lain”. Kekuatan apa adanya itu yang canggih! Dari situ rasanya tidak akan terlalu penting untuk membicarakan karya Jhoni, cuma bagaimana jiwanya Jhoni sebagai seniman, karena karya seni itu tidak berada pada penilaian bagus atau tidak. Karena banyak orang (Seniman) yang seperti itu, sebab karyanya tidak laku, tidak diapresiasi dan merasa gagal, kemudian perilakunya menjelek – jelekkan orang, seperti Kolektor ini itulah! Penulisnya kentut! Kesalahan orang saja yang dicari – carinya. Kan disitu kita dapat melihatnya!. Meskipun tadi saya bercanda (pujian terhadap Pustek karyanya Jhoni di atas), tapi secara spontan Jhoni masih mengucapkan terima kasih, dan spontanitas itu menarik buat saya.
Menarik…! Itu adalah kerangka! cara berfikir dan cara bekerja, ketika konsepsi itu telah muncul kita bisa melihat (Seniman dan Karya Seni) menjadi sesuatu hal yang menarik, asyik!. Kesungguh – sungguhan itu sebenarnya tidak berhenti! tidak berbatas, itu bagi saya harus tetap dijaga, menjadi Seniman kan tidak sekedar bekerja “baik”, tapi konsisten dengan mengelola intensitasnya. Yang menentukan hasilnya karya adalah konsistensi tersebut.
Penulis : Konsistennya dilihat dari visualitas karyanya atau konsep berkarya seorang seniman?
Rudi M  : Kalau konsistentensi dilihat dari visual karya, kita akan bisa berbeda dalam meng-artikannya. Komponen sebuah karya itu kan ada visual atau wujudnya, gagasan atau tema-nya, kemudian jiwanya dan bisa juga jiwa senimannya. Ketiga komponen ini bisa dievaluasi, Jhoni atau seniman dapat mengevaluasinya. Seperti pada karya Jhoni kita dapat mengevaluasi kerupaannya, material, keterampilan, artistik, komposisi, balance atau keseimbangan – keseimbangan dan banyak lainnya. Dan untuk hal itu Jhoni “bisa”, tentu bisa disini terkait pada bahasan level artistik yang beragam, tergantung seberapa banyak seniman melihat dan terlebih pada proses memahami. Sebenarnya seringkali orang (seniman) terpeleset pada proses memahami, ketika melakukan proses penciptaan karya seni lebih tertarik pada “fisiknya” sehingga “kosong” , atau tidak tertarik pada “jiwanya”.
Contohnya, seperti pada karya yang “Alumunium” itu (sembari menunjuk karya yang berjudul “Menantang dan Keseimbangan”, material Alumunium) Bagaimana Jhoni menggunakan material tersebut? tentu semestinya dapat meminimalkan kesalahan kerja, dapat diarahkan pada ini lebih baik seharusnya! Itu yang saya maksudkan bagaimana memahami bukan melihat, kalau sekedar melihat, Jhoni hanya berada pada tataran asumsi material ini bagus karena “cling”, dari situ kita sebenarnya dapat mengukur pemahaman diri terhadap material. Intinya adalah proses untuk memahami. Terkait pengalaman, nilai dari proses memahami tidak sekedar tau atau sekedar melihat. Nilai pengalaman merupakan bagaimana memahami, dan itu adalah nilai tertinggi pengalaman.
Penulis : anda kan satu angkatan dengan Jhoni (mereka sama – sama mengambil studi Seni Patung di Institute Seni Indonesia Yogyakarta). Bagaimana anda melihat proses berkesenian Jhoni semenjak mahasiswa hingga saat ini? 
Rudi M  : Kalau seperti itu pertanyaannya,….(terdiam dan berfikir). Saya tentu tidak mengikuti proses Jhoni Waldi secara rapi. Namun secara umum dengan kurun waktu tersebut sebenarnya kita bisa saja melihat bagaimana perkembangan artistik, visual dan gagasan Jhoni Waldi. “Kurang” rasanya pibadi saya untuk memaparkannya, sebab nantinya terkait dengan hasil yang sifatnya relatif, dan saya lebih tertarik untuk membahas prosesnya. Proses yang terkait dengan inovasi, pencarian – pencarian, material ataupun gagasan. Rasanya Jhoni belum begitu “leluasa” melakukan perbandingan – perbandingan yang nantinya berhubungan dengan pertanyaan tentang: apa ini? kenapa begini? mengapa begitu? Kenapa menggunakan ini? Atau kenapa harus seperti itu?. Karena, ketika ide atau gagasan itu muncul, tuntutannya kan “ke-gilaan” seniman. “Benar”nya di sini tidak terkait dengan salah atau benar, tapi bagaimana seniman nantinya dapat mengeluarkan kapasitas dirinya dengan maksimal. Kalau Jhoni membuat grafik dari pengalamannya saya fikir grafiknya tidak terlalu naik, hal itu bukan berarti “buruk”, sebab potensi setiap orang itu kan berbeda. Tapi dari hal tersebut seseorang dapat melihat kembali agar nantinya dapat menaikkan grafiknya sendiri, dengan “eksis” kembali, serius dan melakukan evaluasi pada setiap prosesnya. Karena sekarang ini Jhoni telah mengalami “perubahan - perubahan”, perkembangannya secara real akan terjadi ketika Jhoni terus “berbuat”, sehingga berbuatnya yang mesti ditingkatkan. Jendela (kelompok seni) sebenarnya dikenal kan cuma karena mereka mau “berbuat”, bekerja atau mau mencoba sajakan! Bukan karena pintar, cerdas atau hebat, sederhananya seperti itu. Karena mencari yang “jenius” itu susah (dalam konteks semua seniman). Dan kalau boleh di-levelkan, tingkatannya beda – beda tipis antara satu seniman dengan seniman lainnya, perbedaannya terletak pada siapa yang bisa “mengolah” dengan baik, siapa yang sungguh – sungguh dan berani menghabiskan waktunya dengan banyak.
Penulis : Lalu bagaimana anda memperhatikan konsep dalam ke-karyaan Jhoni Waldi yang dilihat sekarang ini?
Rudi M  : Sebenarnya konsep Jhoni…….(berfikir sembari memperhatikan beberapa karya “Hilang Akal Sehat” di samping kanan tempat duduknya) Mungkin lebih baik saya mengajukan pertanyaan pada Jhoni, dengan cara saya, karena dengan caranya Jhoni tentu telah dilakukan. Artistik yang saya maksudkan tentu ada ukurannya, dalam mewujudkan sebuah ide dan gagasan. Bagi saya tentu yang bisa secara mudah atau apa istilahnya…? Dari situ gagasan Jhoni, sebenarnya juga tidak terlalu rinci dapat saya baca, karena sayakan bukan pengamat. Sebenarnya dengan bahasa “me-nubuhkan” persoalan – persoalan sosial Jhoni, mengertikan maksud saya? Karya - karya Jhoni bukan hanya membuat tubuh, tapi “me-nubuhkan” istilahnya dalam bahasa saya, karena kekhawatiran dari persoalan Jhoni. Harapan saya sih, mungkin perkembangan bukan sekedar visual saja. tapi tidak apa – apa kalau seandainya Jhoni mengatakan “oh nggak seperti itu Rud! Saya tidak menginginkan pretensi apapun dalam karya saya!”. Jhoni bisa saja mengatakan seperti itu!
Ditengah dialog tersebut Jhoni kemudian memaparkan salah satu konsep karyanya
Jhoni W                : Boleh saya jelaskan kronooglis tentang karya ini (Hilangnya Akal Sehat), karya menginjak kepala ini: Konsep dasarnya, awalnya pada tahun 2000 saya pernah menggarap karya visual kepala denga memainkan bentuknya menggunakan “Jarajak” (kawat; seperti kawat yang sering digunakan untuk kandang ayam). Seperti figur kepala yang“terpukul”, tapi lebih pada konteks kejiwaan yang didasari oleh masalah kejenuhan dan kemuakkan. Sebenarnya karya ini adalah pengembangan gagasan atau ide yang pernah saya alami, tanpa seperti itu saya juga tidak akan mengetahuinya, proseslah. Kemudian ketika berdialog dengan Mikke (Mikke Susanto) pun terjadi pertanyaan tentang; apakah kamu tidak terfikir tentang pemikiran baru dalam proses ke-karyaan? Minimalnya tentang apa yang kamu lihat, kamu rasakan dan kamu baca dalam kehidupan sehari – hari. Kemudian saya pertanyakan kembali, harus apa dan bagaimana saya? Saya pun menyadari kejenuhan – kejenuhan ini akan meledak ketika diikuti rasa minder, malu dan seterusnya. Ibaratnya ada problem tapi tidak bisa disampaikan kepada orang lain, ada pukulan yang telak tapi tak tampak, namun kerasa. Dari situ saya mulai membaca diri saya lebih dalam, kemudian saya merasakan benar – benar udah ke-injak ini kepala! Sebelum saya melepaskan gagasan ini ke-publik, saya melihat suasana ter-kini (ruang sosial), budaya malu juga sudah tidak ada! Baik itu secara politik, hukum dan budaya, ya sudah, akhirnya saya melihat orang dapat menginjak kepalanya sendiri atau diinjak oleh orang lain. Saya pun merasa pas untuk melepas karya ini ke-publik. Kemudian karya ini saya setting ulang untuk merespon fakta umum tersebut, begitulah kronologis konsepnya.
Rudi M : Yaa…..! mungkin posisi kita ngobrol saat ini “tahap-tangganya” menjadi naik. Tentu saya tidak dalam posisi untuk menilai itu, tapi pemikiran tersebut dapat kita diskusikan kembali, karena sebenarnya dalam bahasa “media” saja persoalan itu ada. Yang menjadi permasalahan kita, bagaimana cara kita melihat dari sisi yang “unik”, karena dari situlah sisi keistimewaan seniman ketika dia dapat melihat dengan cara yang berbeda. Persoalan yang sama itu tidak apa – apa, tapi cara melihatnya dengan berbeda itu lho Jhon, sekecil apapun “ruang”. Namun ada keyakinan ketika melihat itu Jhoni memahami, dan ketika memahami Jhoni akan menemukan peluang sekecil apapun. Salah satu cara untuk melihat indikasi tersebut ketika kita berdiskusi. Secara umum proses berfikir itu menjadi dasar, tapi semangat untuk berfikir dengan cara berbeda, itu yang menarik, apalagi berbeda tapi “benar” dan dapat dipahami oleh orang lain. Maksud saya ini yang menjadi motivasi berfikir, dan tidak asal berbeda.
Dan itu perlu terus dikerucutkan dengan pertanyaan dan sanggahan yang kita munculkan dari diri sendiri, sehingga pada level tertentu Jhoni benar – benar meyakini kalau Jhoni adalah seniman. Menemukan sesuatu hal yang baru dan dapat dipertanggung jawabkan. Mungkin yang muncul saat ini bahasa “media”, tidak masalah karena dari situ awalnya tinggal bagaimana Jhoni mengambil posisi ke satu sudut tertentu, atau ke tengah sekalian, dan itu perlu strategi. Maka dari itu cara berfikir pun perlu strategi, tidak hanya strategi visual, dan itu yang saya sebut sebagai artistik-berfikir, keunikkan sebuah gagasan.[5]
Dan di ujung diskusi kami, Rudi Mantofani sempat mengatakan “seharusnya ada sebuah pertanyaan tentang tekhnik yang digunakan Jhoni dalam menciptakan karya – karyanya” dan jawaban atas itu, lanjutnya.
Rudi M  : Saya menyukai tekhnik Jhoni (penempelan logam), tekhnik penggarapan yang unik dan tidak mungkin digunakan oleh seniman lain. Tapi di sisi lain tekhnik tersebut sekaligus dapat melemahkan Jhoni, terkait efektifitas waktu pengerjaan karya patung.
Lain ladang lain pula ilalangnya. Perumpamaan ini tentu tidak mempunyai pretensi apapun, selain cara pandang dan cara ungkap yang berbeda antara Abdi Setiawan, Rudi Mantofani dan Handiwirman melihat sosok Jhoni Waldi dan proses berkeseniannya. Pernyataan Handiwirman saya dapatkan melalui wawancara elektronik (email), berikut ungkapannya.
Bagi saya, Jhoni merupakan seorang seniman pekerja keras, dan memiliki kebanggaan akan dirinya sebagai Orang Minang. Meskipun pengolahan tubuh sebagai sumber ide penciptaan seni patung telah memiliki sejarah yang cukup panjang, hingga saat sekarang pun hal itu tidak pernah habis untuk direka ulang dan dimaknai dengan berbagai sudut pandang. Dengan ketetapan hati dia mengolah material dengan tampilan Stilisasi Figuratif, sehingga pada akhirnya, menurut saya Jhoni benar – benar menjadi sangat mahir dan terampil dalam mengolah semua ide yang dimilikinya menjadi wujud karya tiga dimensi (patung).[6]

“Kekuatan-Mental”: Melepas Belenggu Keterbatasan

Tidak lepas dari uraian – uraian di atas. Saya berpendapat bahwa: Jhoni dapat dikatakan sebagai seseorang yang berani melemparkan dirinya ke “arena seni” secara utuh. Mengabdikan talent-nya dengan penuh keyakinan untuk terus berjuang menciptakan karya seni (patung) tanpa sedikitpun membelokkan langkahnya. Sebab saya yakin aliran energi yang melingkari ataupun dilingkarinya menuju pada suatu maksud, karya yang berbicara. Meskipun getaran – getaran kegelisahan yang terasa pada obyek(-subyek) patungnya pada awalnya menjadi respon emosional personal terhadap kenyataan hidup, atau emosi-terpiuh (saya artikan sebagai transfer emosi dari realitas yang ditangkap oleh seniman, diolah dan diproses kemudian muncul dalam karya ciptaan seniman), tapi tampak dengan jelas, dia berniat untuk membaginya kepada khalayak secara seksama  dan dapat dipahami multi-persepsi. 

Kemudian, apakah dari bahasa gerak (tubuh) patungnya Jhoni Waldi yang secara simbolik menggambarkan fenomena Alienasi-Mental Manusia Kontemporer yang tunduk pada teknologi ciptaan mereka sendiri, dan seragam dalam satu tatanan “kekuasaan yang menjadi tuan”? Saya fikir ini patut sama – sama kita waspadai, untuk menemukan kunci “gerbang kesadaran” yang melampaui kesadaran untuk mawas diri (introspective consciousness). Yaitu: “kesadaran-aktif” (active consciousness) yang dapat dimiliki oleh siapapun, dengan profesi apapun. Melalui Pameran Tunggal Seni Patung Jhoni Waldi ini sepertinya mengajak kita semua melihat diri (masing – masing kita) lebih dalam; Apakah dalam diri ini masih tersimpan ruh “Kekuatan-Mental”, cahaya (yang dapat dibagi) untuk memahami, memaknai dan membangun kehidupan yang di(ter)batasi oleh belenggu keseragaman keinginan (kuasa) dan kepentingan (ekonomi) manusia kontemporer. Spirit Glocalization!
Bayu W



[1] dalam Firdaus M. Yunus, 2004, “Pendidikan Berbasis Realitas Sosial” Paulo Freire dan Y.B Mangunwijaya. Logung Pustaka, Yogyakarta Indonesia. Hal 4.
[2] Dalam Agus Sachari, 2002. “Estetika. Makna, Simbol dan Daya ”, ITB, Bandung, Indonesia. Hal 26
[3] Kamus Ilmiah Populer, Tim Prima Pena, Gitamedia Press. 2006.
[4] Wawancara dengan Abdi Setiawan, 12 Oktober 2013, Yogyakarta.
[5] Diskusi dengan Rudi Mantofani, Dio Pamola, Jhoni Waldi dan Bayu W, Studio Patung Jhoni Waldi, Tegal Kenongo, Bantul Yogyakarta. 01 Desember 2013.
[6] Wawancara elektronik (email) dengan Handiwirman Saputra, Yogyakarta. 09 Desember 2013.