Kekuatan-Mental: Sebuah Argumentasi tentang
“kesadaran-aktif” (active consciousness)
Dalam
20 tahun terakhir ini, percepatan pertumbuhan pengetahuan dan teknologi laksana
ledakan, ditandai dengan meluasnya keilmuan dan penggunaan teknologi yang masif.
Akibat perubahan yang cepat dan ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi menciptakan
“kecemasan – kecemasan baru” atau
technostress. Selain itu, pola kehidupan masyarakat yang terjebak pada
“irama konsumstif” telah turut menandai pergerakkan zaman, me-nisbikan eloknya
hubungan antar manusia dan mengganti dasarannya dengan tingkat keber-punyaan
dan kekuasaan. Hal demikian pengaruhnya sangat besar terhadap berbagai persoalan
yang berkaitan dengan “mentalitas manusia”. Sehingga patut sama – sama kita
curigai, jangan – jangan ini menjadi tanda - tanda dari fenomena Alienasi-Mental
Manusia Kontemporer yang tunduk pada teknologi ciptaan mereka sendiri dan
seragam dalam satu tatanan “kekuasaan yang menjadi tuan”?
Mental
merupakan “kebulatan-dinamik” yang dimiliki oleh setiap individu, cerminannya
tampak pada sikap, perilaku dan juga kreativitas. Secara umum mental diartikan
sebagai “kesatuan unsur-unsur jiwa” yang meliputi pikiran, emosi, sikap
(attitude) dan perilaku. Satuan-aktual dari “kebulatan” tersebut menentukan
pola atau cara berpikir, bentuk emosional, sikap personal dan corak perilaku
individu. Sedangkan kreativitas dapat dilihat secara luas dan khusus.
Secara
luas kreativitas individu dimaknai sebagai sebuah kemampuan bagaimana mengatasi
masalah (problem solving). Terkait dengan “ke-khususan” kreativitas individu
dengan profesi seniman, saya lebih senang memandangnya sebagai “sebuah
keistimewaan yang aktif dan reflektif”. Yang dimaksudkan dengan “aktif” adalah; Kesadaran seniman tidak semata - mata
berkutat pada praktek “reproduksi-kreativitas” tapi juga melingkari pemaknaan
kreativitas itu sendiri sebagai hakekat “perubahan”, meskipun hal demikian
berada pada tataran subyektivitas-individual yang paling absurd sekalipun. Sedangkan
uraian “reflektif”nya merupakan proyeksi-individu yang merefleksikan realitas kehidupan
sebagai sebuah fenomena yang “terbuka” untuk disikapi, dikritisi, ataupun
diperbaharui melalui pintu – pintu estetis (karya seni).
Ikhwal
di atas berhubungan dengan konstruksi penciptaan karya seni, yang menurut
anggapan saya dimulai dari keajegan seniman dalam menyerap momen – momen
estetis melalui kapasitas inderawi. Setelah itu “ke-legowo-an” seorang seniman menentukan seberapa luas “ruang-analisis-diri”
yang mengendapkan atau membekukan momen estetis tersebut. Sedangkan yang paling
unik, adalah; peraduan semua hal tersebut yang kemudian ter(di)-proyeksikan
melalui karya seni dengan kode – kode estetika yang khas dan berkarakter.
Meskipun
berada dalam skema yang abstraksi, terdapat relasi yang erat antara mentalitas
seniman (individu) dengan praktek kreativitas (Karya Seni) sebagai “daya-hidup”
(meminjam istilah Albert Camus). Dalam konteks ini selanjutnya akan saya
bahasakan sebagai “Kekuatan-Mental”, yaitu; konstruksi dasar dalam personality-individu
(Seniman) yang menjadi sumber tenaga atau daya dorong untuk membangun “karakteristik-identitas”
diri dan karya seni. Ukurannya tentu relatif, tergantung seberapa “bulat”nya;
dinamisasi “ruang ke-luasan” seniman dalam memproyeksikan gagasannya, sekaligus
membuka “ruang-lain” yang mengakomodasi kebebasan “suara karya seni”, dan juga
kemampuan untuk menerima “kisi – kisi lain” sebagai bagian dari
“natural-impact”.
Setelah
sepenggal uraian mental yang di-gubah menjadi Kekuatan-Mental di atas, naïf
rasanya apabila Kekuatan-Mental dalam diri seseorang datang dengan tiba – tiba.
Sebab dia lahir melewati proses dan ditumbuh-kembangkan melalui beberapa faktor
yang saling berkaitan secara dinamis dan bersifat akumulatif (faktor – faktor
di bawah ini terbuka bagi pembaca untuk mengurangi atau menambahkannya); Faktor
pertama, Pendidikan. Yaitu; Didik-Diri-Realitas.
hubungan ketiga kata ini memiliki keluasan pengartian yang dapat dimaknai
secara subyektif, obyektif ataupun relatif. Terlepas dari itu, penulis lebih
suka menyusun peng-artiannya dengan mengadaptasi konsep Pendidikan Hadap
Masalah yang digaungkan Paulo Freire dan Y.B Mangunwijaya. Proses pendidikan
ini diterapkan dengan pengintegrasian realitas sebagai titik fokus untuk proses
pembelajaran, pengetahuan dan pemahaman. Sehingga dapat dilakukan oleh setiap
individu, komunitas, dan lembaga secara formal, informal ataupun non formal. Sedangkan
tujuannya bermuara pada pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang
tidak tercerabut dari budayanya, mampu menghadapi berbagai perubahan dan
meningkatkan kesejahteraan hidup (diri dan masyarakat) yang sesuai dengan
perkembangan zaman. Dengan kata lain, SDM yang berkualitas adalah individu dan masyarakat
yang memiliki karakter “Glocalization”.
Pendidikan-Realitas
sebagai salah satu faktor dari konstruksi “kekuatan-mental”, selaras dengan
ungkapan Paulo Freire tentang konsep pendidikan. Pendidikan merupakan jalan
untuk membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya,
memberikan peluang bagi pengakuan derajat manusia. Minimalnya, manusia dihargai
sebagai manusia. Lebih spesifik, konsep pendidikan harus terbuka pada
pengenalan realitas diri, prakteknya mengimplikasikan konsep manusia dan
dunianya, agar manusia menjadi subyek dirinya sendiri.
Yang
kedua adalah; Kemampuan-Kebebasan. Uraian
tentang hal ini saya awali dengan ungkapan bahwa: setiap individu adalah
makhluk yang ajeg dan unik, serta memiliki ke-khasan personal. Kaitannya dengan
“kemampuan” terlihat dari sifat-potensi yang melingkupi setiap individu, yaitu:
Potensi diri yang bersifat “natural-ability” (kemampuan dan bakat yang dibawa
semenjak lahir) dan potensi yang didapat berdasarkan proses pengalaman setiap
individu yang berbeda - beda. Kemudian “kebebasan” tertuang melalui; bagaimana
cara individu berfikir, bersikap, berperilaku dan bertindak yang seyogyanya
mengarah pada pencapaian tujuan hidup individu. Selanjutnya pemaknaan terhadap
kebebasan menjadi pertanggung jawaban individu secara aktual dan konkrit.
Faktor
yang ketiga: Keberanian. Siapa yang kehilangan Keberanian, dia telah
kehilangan segalanya! Ungkap Nietzche. Dan
jamak rasanya membaca pernyataan para pemikir lainnya yang sering kali berujung
pada ungkapan tentang keberanian yang menjadi kunci keberhasilan seseorang.
Lalu bagaimana menumbuhkan keberanian?. Keberanian dalam diri seseorang dapat
tumbuh ketika dia memahami ketakukan yang ada dalam dirinya. Pemahaman tersebut
dikonstruksi oleh beberapa hal, seperti: Keyakinan terhadap adanya jalan keluar
dari berbagai
situasi ataupun kondisi yang paling sulit sekalipun. Selalu berfikir positif
dan menikmati langkah kehidupan dengan bersikap apa adanya (jujur). Terus
bermimpi dan tidak takut berbuat salah, karena kesalahan adalah pembelajaran
yang menjadikan diri pribadi lebih matang dan lebih kreatif.
Dari
konstelasi di atas menghantarkan pemikiran ini pada argumentasi bahwa:
“Kekuatan-Mental” merupakan pemahaman terhadap kapabilitas diri (asal kata
kapabel=mampu,
gabungan dari kapasitas – kapasitas yang dimiliki individu) yang membawa
manusia pada “gerbang kesadaran”. melampaui kesadaran untuk mawas diri (introspective consciousness).
Yaitu: “kesadaran-aktif” (active consciousness) yang menggiring seseorang
menjadi pribadi yang “siap” menghadapi segala permasalahan hidup, berkarakter, jauh
dari sifat, sikap dan perilaku destruktif, dapat memberikan konstribusi positif
bagi individu lain dan berdedikasi dalam kehidupan masyarakat. Kaitannya dengan
konteks seniman dan karya seni terlihat dari kreativitas diri yang dapat meng-kreasikan
nilai – nilai kehidupan.
Mengerucut pada sebuah pertanyaan, apa dan bagaimana hubungannya
dengan diri dan karya patung Jhoni Waldi?
Jhoni Waldi Yang Saya Kenal
Saya pertama kali bertemu dengan Jhoni Waldi (Da Jon begitu saya
memanggilnya) pada pertengahan tahun 2008. Kala itu kami sama – sama Pameran
Seni Rupa disalah satu Art House di Jakarta. Pribadinya yang suka bercerita
(ngobrol) dapat menjalin dialog antara beberapa teman, sebelum dan seusai acara
pembukaan. Sungguh saya lupa tentang apa – apa yang kami perbincangkan kala
itu, namun saya masih sedikit mengingat ekspresi wajah, intonasi suara dan
gerak tangannya kala merangkai tulisan ini.
Semenjak itu saya sering berkunjung ke Studionya di wilayah Tegal
Kenongo, Bantul, Yogyakarta, di sana jualah saya melihat bagaimana Jhoni
mengeksekusi karya seninya. Singkat kata pada tahun 2011 dia mengutarakan
niatnya untuk berpameran tunggal dan kamipun banyak berdialog tentang gagasan –
gagasan yang akan dia wujudkan. Setelah gagasan tersebut kami teks-kan gayung
pun bersambut, pada bulan September 2012 Bentara Budaya Yogyakarta
mengapresiasinya dengan memberikan jadwal pelaksanaan pameran pada tanggal 17
Desember 2013.
Apabila merujuk pada relasi-umum antara peristiwa dan waktu tentu
banyak hal yang terjadi dalam rentanganya yang cukup panjang tersebut. Kondisi
tersebut juga sesuai dengan proses persiapan penciptaan karya seni patung yang
pastinya membutuhkan banyak waktu. Selama saya terlibat dan mengikuti proses
kekaryaan yang dipersiapkan untuk pameran tunggal Jhoni Waldi tersebut, saya
menemukan beberapa hal yang menarik, Yaitu:
Ide dan gagasan Jhoni, meskipun beberapa karyanya bersifat recalling-ide namun
dinamisasi pembaharuannya lahir dari spirit keberanian untuk terus men-ggali,
mang-analisa dan memilih gagasan mana yang dapat dia wujudkan denga maksimal.
Berikutnya, eksplorasi medium dan teknik yang
kemudian memperkaya bahasa visual karya patungnya. Dan terakhir adalah karakter personalnya yang pekerja keras dan
kebulatan tekad untuk mem-Fakta-kan pilihannya dengan konsisten menciptakan
karya seni patung.
Sebagai pribadi Jhoni memang terkenal dengan karakter personalnya
yang keras, tegas dan terkadang terkesan tidak terbantahkan. Tapi apakah
sedemikian faktanya?. Mengacu pada awal tulisan ini tentang Kekuatan-Mental, asumsi
tentang karakter personal individu tersebut dapat dikatakan sebagai fenomena-permukaan, yang ketika
“dijelajahi” lebih dalam akan sama sekali berbeda. Secara umum, Individu yang
memiliki “kesadaran-aktif” (active consciousness) dengan tuntutan
“kesiapan-diri” (langsung maupun tidak langsung) akan memberikan tuntutan pada
dirinya dan individu lainnya untuk siap dikritisi dan mengkiritisi, filter-dirinya
bersifat argumentatif. Sedangkan transformasi karakter personal yang tegas akan
menggambarkan spirit dirinya yang pekerja keras untuk meretas berbagai persoalan
hidup, baik permasalahan pribadi maupun persoalan yang menyangkut kekaryaan. Begitulah
Jhoni yang saya kenal. Terlepas dari subyektivitas personal saya ada baiknya
audiens menyimak uraian tentang Jhoni Waldi di bawah ini.
Jhoni Waldi : Si Pekerja Keras di Mata
Para Sahabatnya
Jhoni dapat dikatakan sebagai salah seorang sosok pematung yang konsisten,
secara formal dia telah mempelajari seni patung semenjak menempuh pendidikan di
Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Padang, Sumatera Barat. Selepas dari SMSR
(1993), dia melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan Strata 1 Seni Patung di
Institute Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Dan hingga saat ini dia tetap fokus
pada seni patung, karena dia meyakini seni patung adalah; medium seni yang dapat menampung seluruh ide dan gagasannya. Dari
titik ini saya melihat pilihan Jhoni tersebut tampak sebagai “satuan-aktual”,
cerminan dari kematangan diri pribadinya, ataupun bentuk kesadaran-diri-aktif
yang memahami konsekuensi - konsekuensi logis setelahnya.
Terlepas dari paragraf sebelumnya, tentu yang menarik adalah gambaran
tentang Jhoni Waldi dari para sahabat yang telah mengenalnya dikurun waktu yang
panjang. Berikut petikkan wawancara penulis dengan Abdi Setiawan, Seniman
Patung salah seorang sahabatnya;
Penulis : Melalui
cerita – cerita Jhoni anda adalah sahabat yang seringkali menjadi “tempat” baginya
untuk berbagi banyak hal. Bagaimana selama ini anda melihat Jhoni sebagai
seorang Pematung?
Abdi S : Menurut saya sebagai pematung, Jhoni
merupakan seorang pekerja keras. Pernah suatu waktu saya memintanya untuk
membuat “global-model” dari kayu jati (glondongan), kerjanya cepat dan tidak
membutuhkan lama dalam melakukannya. Hal itu persis ketika saya bertandang ke
studionya dan ketika itu saya juga melihat dia membuat “global-model”. Saya
akui spirit kerjanya kuat, tapi hal tersebut bisa “menjebaknya” karena menurut
saya kadang – kadang dalam membuat karya patung kita harus “menghentikannya”, bagaimana
memujudkan gagasan melalui visual karya yang terkesan belum “jadi”. Mungkin itu
yang membedakan kami!.
Penulis : Apakah hal
tersebut juga anda lihat sewaktu masih sama – sama kuliah (di Institute Seni
Indonesia) dulu?
Abdi S : Bagaimana ya..? setahu saya Jhoni termasuk
rajin dalam menciptakan karya patung semenjak awal – awal kuliah. Sedangkan
saya,,ha.ha..ha… Spiritnya mungkin iya! Namun sekarang ini, kalau boleh saya
mengatakan Jhoni sebaiknya menantang dirinya lebih keras, mungkin saja “keluar”
dari figure atau hal lain yang sifatnya “baru”. Sebab sayang, diakan memiliki
spirit kerja yang luar biasa kalau ditambah hal itu saya fikir akan menjadi
lebih baik.
Terkait dengan ide dan gagasan, eksplorasi medium dan teknik dapat
kita lihat dari kutipan diskusi antara Rudi Mantofani, Dio Pamola, Jhoni Waldi
dan saya sebagai penulis. Saya memulainya dari ungkapan Rudi Mantofani, “menjadi seniman itu dimulai dari pikiran
yang positif, karena terkadang sebagian orang belum bisa melapangkan hatinya
dan pinginnya dipuji terus”. Ungkapan ini sebenarnya diawali oleh candaan atau
pujian Rudi yang melihat kerapian Pustek Patung, yang kemudian direspon Jhoni
dengan ucapan terima kasih karena masih
ada yang memuji! Kemudian dilanjuti oleh Dio Pamola Tapi itu bisa menjadi kemungkinan lain lho da Rud? Coba kalau dibalik,
sehingga Pusteknya yang di atas!
Rudi
M : Sebentar Dio! memang terkadang
seniman dituntut untuk membalikkan logika orang dengan komposisi karya,
memainkan persepsi orang lain (public). Artinya begini, dari situ sebenarnya
kita bisa melihat bahwa ketika seniman berkarya dengan kesadaran, pengetahuan
dan kesungguhan, karena setiap orang dapat merasakan karya seni.
Keberhasilannya ditentukan dari kesunguh – sunguhannya. Istillahnya, hal itu
yang membedakan antara seniman yang satu dengan yang lainnya, sebab seniman
yang demikian memiliki identitas, karakter dan tidak terpengaruh oleh hal – hal
yang “lain”. Kekuatan apa adanya itu yang canggih! Dari situ rasanya tidak akan
terlalu penting untuk membicarakan karya Jhoni, cuma bagaimana jiwanya Jhoni
sebagai seniman, karena karya seni itu tidak berada pada penilaian bagus atau
tidak. Karena banyak orang (Seniman) yang seperti itu, sebab karyanya tidak
laku, tidak diapresiasi dan merasa gagal, kemudian perilakunya menjelek –
jelekkan orang, seperti Kolektor ini itulah! Penulisnya kentut! Kesalahan orang
saja yang dicari – carinya. Kan disitu kita dapat melihatnya!. Meskipun tadi saya
bercanda (pujian terhadap Pustek karyanya Jhoni di atas), tapi secara spontan
Jhoni masih mengucapkan terima kasih, dan spontanitas itu menarik buat saya.
Menarik…! Itu adalah
kerangka! cara berfikir dan cara bekerja, ketika konsepsi itu telah muncul kita
bisa melihat (Seniman dan Karya Seni) menjadi sesuatu hal yang menarik, asyik!.
Kesungguh – sungguhan itu sebenarnya tidak berhenti! tidak berbatas, itu bagi
saya harus tetap dijaga, menjadi Seniman kan tidak sekedar bekerja “baik”, tapi
konsisten dengan mengelola intensitasnya. Yang menentukan hasilnya karya adalah
konsistensi tersebut.
Penulis : Konsistennya dilihat dari
visualitas karyanya atau konsep berkarya seorang seniman?
Rudi
M : Kalau konsistentensi dilihat dari
visual karya, kita akan bisa berbeda dalam meng-artikannya. Komponen sebuah
karya itu kan ada visual atau wujudnya, gagasan atau tema-nya, kemudian jiwanya
dan bisa juga jiwa senimannya. Ketiga komponen ini bisa dievaluasi, Jhoni atau
seniman dapat mengevaluasinya. Seperti pada karya Jhoni kita dapat mengevaluasi
kerupaannya, material, keterampilan, artistik, komposisi, balance atau
keseimbangan – keseimbangan dan banyak lainnya. Dan untuk hal itu Jhoni “bisa”,
tentu bisa disini terkait pada bahasan level artistik yang beragam, tergantung
seberapa banyak seniman melihat dan terlebih pada proses memahami. Sebenarnya
seringkali orang (seniman) terpeleset pada proses memahami, ketika melakukan
proses penciptaan karya seni lebih tertarik pada “fisiknya” sehingga “kosong” ,
atau tidak tertarik pada “jiwanya”.
Contohnya, seperti
pada karya yang “Alumunium” itu (sembari menunjuk karya yang berjudul
“Menantang dan Keseimbangan”, material Alumunium) Bagaimana Jhoni menggunakan
material tersebut? tentu semestinya dapat meminimalkan kesalahan kerja, dapat
diarahkan pada ini lebih baik seharusnya! Itu yang saya maksudkan bagaimana
memahami bukan melihat, kalau sekedar melihat, Jhoni hanya berada pada tataran
asumsi material ini bagus karena “cling”, dari situ kita sebenarnya dapat
mengukur pemahaman diri terhadap material. Intinya adalah proses untuk
memahami. Terkait pengalaman, nilai dari proses memahami tidak sekedar tau atau
sekedar melihat. Nilai pengalaman merupakan bagaimana memahami, dan itu adalah
nilai tertinggi pengalaman.
Penulis : anda
kan satu angkatan dengan Jhoni (mereka sama – sama mengambil studi Seni Patung
di Institute Seni Indonesia Yogyakarta). Bagaimana anda melihat proses berkesenian
Jhoni semenjak mahasiswa hingga saat ini?
Rudi
M : Kalau seperti itu
pertanyaannya,….(terdiam dan berfikir). Saya tentu tidak mengikuti proses Jhoni
Waldi secara rapi. Namun secara umum dengan kurun waktu tersebut sebenarnya
kita bisa saja melihat bagaimana perkembangan artistik, visual dan gagasan
Jhoni Waldi. “Kurang” rasanya pibadi saya untuk memaparkannya, sebab nantinya
terkait dengan hasil yang sifatnya relatif, dan saya lebih tertarik untuk
membahas prosesnya. Proses yang terkait dengan inovasi, pencarian – pencarian,
material ataupun gagasan. Rasanya Jhoni belum begitu “leluasa” melakukan
perbandingan – perbandingan yang nantinya berhubungan dengan pertanyaan tentang:
apa ini? kenapa begini? mengapa begitu? Kenapa menggunakan ini? Atau kenapa harus
seperti itu?. Karena, ketika ide atau gagasan itu muncul, tuntutannya kan
“ke-gilaan” seniman. “Benar”nya di sini tidak terkait dengan salah atau benar,
tapi bagaimana seniman nantinya dapat mengeluarkan kapasitas dirinya dengan
maksimal. Kalau Jhoni membuat grafik dari pengalamannya saya fikir grafiknya
tidak terlalu naik, hal itu bukan berarti “buruk”, sebab potensi setiap orang
itu kan berbeda. Tapi dari hal tersebut seseorang dapat melihat kembali agar nantinya
dapat menaikkan grafiknya sendiri, dengan “eksis” kembali, serius dan melakukan
evaluasi pada setiap prosesnya. Karena sekarang ini Jhoni telah mengalami
“perubahan - perubahan”, perkembangannya secara real akan terjadi ketika Jhoni
terus “berbuat”, sehingga berbuatnya yang mesti ditingkatkan. Jendela (kelompok
seni) sebenarnya dikenal kan cuma karena mereka mau “berbuat”, bekerja atau mau
mencoba sajakan! Bukan karena pintar, cerdas atau hebat, sederhananya seperti
itu. Karena mencari yang “jenius” itu susah (dalam konteks semua seniman). Dan
kalau boleh di-levelkan, tingkatannya beda – beda tipis antara satu seniman
dengan seniman lainnya, perbedaannya terletak pada siapa yang bisa “mengolah”
dengan baik, siapa yang sungguh – sungguh dan berani menghabiskan waktunya
dengan banyak.
Penulis : Lalu
bagaimana anda memperhatikan konsep dalam ke-karyaan Jhoni Waldi yang dilihat
sekarang ini?
Rudi
M : Sebenarnya konsep Jhoni…….(berfikir
sembari memperhatikan beberapa karya “Hilang Akal Sehat” di samping kanan
tempat duduknya) Mungkin lebih baik saya mengajukan pertanyaan pada Jhoni,
dengan cara saya, karena dengan caranya Jhoni tentu telah dilakukan. Artistik
yang saya maksudkan tentu ada ukurannya, dalam mewujudkan sebuah ide dan
gagasan. Bagi saya tentu yang bisa secara mudah atau apa istilahnya…? Dari situ
gagasan Jhoni, sebenarnya juga tidak terlalu rinci dapat saya baca, karena
sayakan bukan pengamat. Sebenarnya dengan bahasa “me-nubuhkan” persoalan –
persoalan sosial Jhoni, mengertikan maksud saya? Karya - karya Jhoni bukan
hanya membuat tubuh, tapi “me-nubuhkan” istilahnya dalam bahasa saya, karena kekhawatiran
dari persoalan Jhoni. Harapan saya sih, mungkin perkembangan bukan sekedar
visual saja. tapi tidak apa – apa kalau seandainya Jhoni mengatakan “oh nggak
seperti itu Rud! Saya tidak menginginkan pretensi apapun dalam karya saya!”.
Jhoni bisa saja mengatakan seperti itu!
Ditengah dialog tersebut Jhoni
kemudian memaparkan salah satu konsep karyanya
Jhoni
W : Boleh saya jelaskan kronooglis tentang karya ini (Hilangnya Akal
Sehat), karya menginjak kepala ini: Konsep dasarnya, awalnya pada tahun 2000
saya pernah menggarap karya visual kepala denga memainkan bentuknya menggunakan
“Jarajak” (kawat; seperti kawat yang sering digunakan untuk kandang ayam).
Seperti figur kepala yang“terpukul”, tapi lebih pada konteks kejiwaan yang
didasari oleh masalah kejenuhan dan kemuakkan. Sebenarnya karya ini adalah
pengembangan gagasan atau ide yang pernah saya alami, tanpa seperti itu saya
juga tidak akan mengetahuinya, proseslah. Kemudian ketika berdialog dengan
Mikke (Mikke Susanto) pun terjadi pertanyaan tentang; apakah kamu tidak
terfikir tentang pemikiran baru dalam proses ke-karyaan? Minimalnya tentang apa
yang kamu lihat, kamu rasakan dan kamu baca dalam kehidupan sehari – hari. Kemudian
saya pertanyakan kembali, harus apa dan bagaimana saya? Saya pun menyadari
kejenuhan – kejenuhan ini akan meledak ketika diikuti rasa minder, malu dan
seterusnya. Ibaratnya ada problem tapi tidak bisa disampaikan kepada orang
lain, ada pukulan yang telak tapi tak tampak, namun kerasa. Dari situ saya
mulai membaca diri saya lebih dalam, kemudian saya merasakan benar – benar udah
ke-injak ini kepala! Sebelum saya melepaskan gagasan ini ke-publik, saya
melihat suasana ter-kini (ruang sosial), budaya malu juga sudah tidak ada! Baik
itu secara politik, hukum dan budaya, ya sudah, akhirnya saya melihat orang
dapat menginjak kepalanya sendiri atau diinjak oleh orang lain. Saya pun merasa
pas untuk melepas karya ini ke-publik. Kemudian karya ini saya setting ulang
untuk merespon fakta umum tersebut, begitulah kronologis konsepnya.
Rudi
M : Yaa…..! mungkin posisi kita ngobrol
saat ini “tahap-tangganya” menjadi naik. Tentu saya tidak dalam posisi untuk
menilai itu, tapi pemikiran tersebut dapat kita diskusikan kembali, karena
sebenarnya dalam bahasa “media” saja persoalan itu ada. Yang menjadi permasalahan
kita, bagaimana cara kita melihat dari sisi yang “unik”, karena dari situlah
sisi keistimewaan seniman ketika dia dapat melihat dengan cara yang berbeda.
Persoalan yang sama itu tidak apa – apa, tapi cara melihatnya dengan berbeda
itu lho Jhon, sekecil apapun “ruang”. Namun ada keyakinan ketika melihat itu
Jhoni memahami, dan ketika memahami Jhoni akan menemukan peluang sekecil
apapun. Salah satu cara untuk melihat indikasi tersebut ketika kita berdiskusi.
Secara umum proses berfikir itu menjadi dasar, tapi semangat untuk berfikir
dengan cara berbeda, itu yang menarik, apalagi berbeda tapi “benar” dan dapat
dipahami oleh orang lain. Maksud saya ini yang menjadi motivasi berfikir, dan
tidak asal berbeda.
Dan itu perlu terus
dikerucutkan dengan pertanyaan dan sanggahan yang kita munculkan dari diri
sendiri, sehingga pada level tertentu Jhoni benar – benar meyakini kalau Jhoni
adalah seniman. Menemukan sesuatu hal yang baru dan dapat dipertanggung
jawabkan. Mungkin yang muncul saat ini bahasa “media”, tidak masalah karena
dari situ awalnya tinggal bagaimana Jhoni mengambil posisi ke satu sudut
tertentu, atau ke tengah sekalian, dan itu perlu strategi. Maka dari itu cara
berfikir pun perlu strategi, tidak hanya strategi visual, dan itu yang saya
sebut sebagai artistik-berfikir, keunikkan sebuah gagasan.
Dan di ujung diskusi kami, Rudi
Mantofani sempat mengatakan “seharusnya
ada sebuah pertanyaan tentang tekhnik yang digunakan Jhoni dalam menciptakan
karya – karyanya” dan jawaban atas itu, lanjutnya.
Rudi
M : Saya menyukai tekhnik Jhoni
(penempelan logam), tekhnik penggarapan yang unik dan tidak mungkin digunakan
oleh seniman lain. Tapi di sisi lain tekhnik tersebut sekaligus dapat
melemahkan Jhoni, terkait efektifitas waktu pengerjaan karya patung.
Lain ladang lain pula
ilalangnya. Perumpamaan ini tentu tidak mempunyai pretensi apapun, selain cara
pandang dan cara ungkap yang berbeda antara Abdi Setiawan, Rudi Mantofani dan
Handiwirman melihat sosok Jhoni Waldi dan proses berkeseniannya. Pernyataan
Handiwirman saya dapatkan melalui wawancara elektronik (email), berikut
ungkapannya.
Bagi saya, Jhoni merupakan seorang seniman pekerja keras, dan
memiliki kebanggaan akan dirinya sebagai Orang Minang. Meskipun pengolahan
tubuh sebagai sumber ide penciptaan seni patung telah memiliki sejarah yang
cukup panjang, hingga saat sekarang pun hal itu tidak pernah habis untuk direka
ulang dan dimaknai dengan berbagai sudut pandang. Dengan ketetapan hati dia
mengolah material dengan tampilan Stilisasi Figuratif, sehingga pada akhirnya,
menurut saya Jhoni benar – benar menjadi sangat mahir dan terampil dalam
mengolah semua ide yang dimilikinya menjadi wujud karya tiga dimensi (patung).
“Kekuatan-Mental”:
Melepas Belenggu Keterbatasan
Tidak
lepas dari uraian – uraian di atas. Saya berpendapat bahwa: Jhoni dapat
dikatakan sebagai seseorang yang berani melemparkan dirinya ke “arena seni”
secara utuh. Mengabdikan talent-nya dengan penuh keyakinan untuk terus berjuang
menciptakan karya seni (patung) tanpa sedikitpun membelokkan langkahnya. Sebab
saya yakin aliran energi yang melingkari ataupun dilingkarinya menuju pada
suatu maksud, karya yang berbicara. Meskipun getaran – getaran kegelisahan yang
terasa pada obyek(-subyek) patungnya pada awalnya menjadi respon emosional personal
terhadap kenyataan hidup, atau emosi-terpiuh (saya artikan sebagai transfer
emosi dari realitas yang ditangkap oleh seniman, diolah dan diproses kemudian
muncul dalam karya ciptaan seniman), tapi tampak dengan jelas, dia berniat
untuk membaginya kepada khalayak secara seksama
dan dapat dipahami multi-persepsi.
Kemudian,
apakah dari bahasa gerak (tubuh) patungnya Jhoni Waldi yang secara simbolik menggambarkan
fenomena Alienasi-Mental Manusia Kontemporer yang tunduk pada teknologi ciptaan
mereka sendiri, dan seragam dalam satu tatanan “kekuasaan yang menjadi tuan”?
Saya fikir ini patut sama – sama kita waspadai, untuk menemukan kunci “gerbang
kesadaran” yang melampaui kesadaran untuk mawas diri (introspective
consciousness). Yaitu: “kesadaran-aktif” (active consciousness) yang dapat
dimiliki oleh siapapun, dengan profesi apapun. Melalui Pameran Tunggal Seni
Patung Jhoni Waldi ini sepertinya mengajak kita semua melihat diri (masing –
masing kita) lebih dalam; Apakah dalam diri ini masih tersimpan ruh “Kekuatan-Mental”, cahaya (yang
dapat dibagi) untuk memahami, memaknai dan membangun kehidupan yang di(ter)batasi
oleh belenggu keseragaman keinginan (kuasa) dan kepentingan (ekonomi) manusia
kontemporer. Spirit Glocalization!
Bayu W