Selasa, 22 Juli 2014

"GasPool RemPoll" Fine Art Exhibition at Lapak36 Yogyakarta


Gas Pol, Rem Pol….!


Candaan ABCDE
Sebelum kita bertanya tentang apa yang akan dibuat dan didapatkan dari sebuah pameran (seni rupa) bersama? Mungkin lebih baik kita bertanya bagaimana sebuah pameran bisa digelar? Latah rasanya kalau hanya menyeragamkan satu cara, buka pendaftaran (open application), seleksi dan kemudian dipamerkan, dan penting kiranya untuk mengedepankan cara lain. Meskipun setiap cara, pola atau metode memiliki kekurangan dan kelebihan masing – masing. 

Cara inilah yang menarik di pameran seni rupa Gas Pol Rem Pol di lapak36 kali ini. Polanya seperti ini, si A datang menemui B, B menghubungi C, C meng-SMS D, lalu D mengontak E, begitu seterusnya hingga 16 orang seniman akhirnya sepakat untuk melakukan pameran bersama.  Ide dan gagasan “Gas Pol Rem Pol” pun lahir dari obrolan yang penuh canda, saling seloroh, ejek – ejekkan dan tunjuk – tunjukkan (candaan ABCDE). Di sela – sela suasana riuh tersebut Danin Jati A melontarkan kata – kata “Gas Pol Rem Pol” ae!, kemudian dilanjutkan oleh tanggapan teman – teman lainnya, opo kae?, maksud e opo?di gas kenceng mung di rem kenceng yo mandek to yo…! Lah koyok ngono wae wes artistic tho, tukas Danin sambil berdiri menirukan gaya pengendara motor yang tubuhnya bergetar dan bergerak berputar akibat di-gas dan di- rem sekaligus. Apik kae..! Apik kae..! tanggapan beberapa kawan diantara derai tawa menyaksikan polahnya tersebut.
Setidaknya ada dua hal yang dapat ditarik dari peristiwa tersebut: Pertama, nilai pertemanan dan persahabatan. Apabila kita lemparkan pada ruang yang lebih lebar, bukankah hal ini yang menjadi pondasi dari keguyupan khas seniman Yogyakarta! Sebab, jenuh rasanya selalu mendengar seniman itu harus seperti ini, seperti itu, harus bisa ini dan bisa seperti itu. “Ruang canda” (bagi saya) adalah ruang yang sesungguhnya mencerminkan kemenjadian diri, karena dia tercipta oleh interaksi/interrelasi-individu yang sederhana, alami, tidak pura – pura dan apa adanya sehingga individu dapat merefleksikan dirinya melalui setiap “candaan” ataupun menanggapi “candaan”. Kedua, di balik spontanitas munculnya ide dan gagasan tentang tajuk pameran ini ada baiknya kita simak apa yang ditulis oleh Danin Jati A (Gambar berikut ini).

Proses Bung…!
Kembali pada pertanyaan di awal,  tentang apa yang akan di buat dan didapatkan dari sebuah pameran (seni rupa) bersama? Secara umum, sebuah pameran bersama tentu merangkai keberagaman ekspresi, proyeksi-nya terllihat dari setiap karya yang diciptakan oleh masing - masing seniman. Secara positif dapat saling melengkapi, berkompetisi dan mengeksplorasi masing – masing gaya ataupun teknik tertentu. Terutama pada proses ini, aktivitas penciptaanya berada pada satu ruang yang sama, termasuk rentang waktu yang telah ditentukan (sebagian besar seniman yang terlibat dalam pameran ini memilih untuk berproses di Lapak36)

Selaras dengan hal tersebut, saya mencoba memaparkanya ke dalam beberapa bagian; Bagian pertama saya sebutkan sebagai proses “Respon alam dengan pola inseminasi”. Kata inseminasi biasa digunakan dalam bidang peternakan untuk pembuahan pada hewan dengan teknik buatan atau memasukkan benih jantan ke rahim indukan betina. Kuncinya terletak pada persepsi tentang rahim (alam) dan tindakkan atau perilaku (proses penciptaan yang dilakukan). Persepsi ini merujuk pada karya dan proses yang dilakukan Bambang Widarsono (Pink Forest), Ronal Efendi (Meluruskan Cakrawala dan Mencari Sinyal), Idi Pangestu (Sinar Desa), Danin Jati A (Turangga Beksa), Aji Yuda Laga (GPMB (Golek Pirang Meter Bung)), dan Putra Eko Prasetyo (Bijak Air).
Berikutnya adalah; Respon Ruang. Memperlakukan ruang tidak sekedar sebagai tempat atau wadah elemen objek, melainkan ruang sebagai konsep visual yang meng-inisiasi ide dan gagasan, rekreasi dimensi yang tidak terjebak pada sudut pandang tunggal atau sempit. Seperti yang dilakukan oleh Merlyna AP dengan karya Kaki Besi, Miftahul Huda (Fragmentasi Tisue), Nur Hananta (Menunggu Kabar I dan II), Rully Rahim (Pohonku Malang), Stefan Sixio (Main Bagus dan After Display).
Berbeda dari dua bagian di atas, karya Drajat Wibowo (Makhluk Tengah Malam), Kartiko Prawiro (Anti Slip), Constantia Rika (Kasih) dan Vani Hidayatur Rahman (DramaTrees#2) melakukan Imajinasi ruang: yaitu mengandaikan ruang tertentu dan memprediksi hal apa yang dapat dilakukan terkait kekaryaan seniman untuk atributif-ruang (atau tujuan lainnya).

Sebelum tulisan ini usai yang menggelitik adalah skema kekaryaan Santi Saned yang berjudul Sould Out. Dia merespon karya sahabat – sahabatnya dengan sebuah pita merah, umumnya sebagai tanda apabila karya tersebut terjual saat pameran. Layaknya sebuah doa yang dihantarkan untuk nilai – nilai kebersamaan, sekaligus peringatan tentang “harga” yang tidak selalu dilihat dengan mata uang.  

Menarik memang! Dibalik keberagaman skema kekaryaan (bersifat personal) dan kekayaan “material-karya seni”, tampak jelas bahwasanya kontelasi spirit yang terkandung dalam pameran ini adalah penekanan terhadap proses kreatif yang bersifat eksperimental. Dan apabila kita melihatnya dari titik yang lain, aktivitas ini memiliki daya untuk mengkritisi hingar bingarnya budaya transaksional yang terjadi dalam dinamika perkembangan seni rupa saat ini. Perkembangan yang apabila tidak bijak saat melihatnya akan membawa seniman pada ambivalensi sikap, minimalnya pada komitmen ideologi yang telah dipilih dan konsistensi. Tentu saya tidak ingin membahas tentang hal tersebut, sebab dari bentangan 23 karya seni oleh 15 orang seniman ini kita sudah dihantarkan pada eksotisme-diri dan seni yang sesungguhnya. Cukup dua patah kata, Proses Bung!.....Spirit Glocalization!
Bayu W