Gas Pol, Rem Pol….!
Candaan ABCDE
Sebelum kita bertanya tentang apa yang akan dibuat dan didapatkan
dari sebuah pameran (seni rupa) bersama? Mungkin lebih baik kita bertanya bagaimana
sebuah pameran bisa digelar? Latah rasanya kalau hanya menyeragamkan satu cara,
buka pendaftaran (open application), seleksi dan kemudian dipamerkan, dan penting
kiranya untuk mengedepankan cara lain. Meskipun setiap cara, pola atau metode
memiliki kekurangan dan kelebihan masing – masing.
Cara inilah yang menarik di pameran seni rupa Gas Pol Rem
Pol di lapak36 kali ini. Polanya seperti ini, si A datang menemui B, B
menghubungi C, C meng-SMS D, lalu D mengontak E, begitu seterusnya hingga 16
orang seniman akhirnya sepakat untuk melakukan pameran bersama. Ide dan gagasan “Gas Pol Rem Pol” pun lahir
dari obrolan yang penuh canda, saling seloroh, ejek – ejekkan dan tunjuk –
tunjukkan (candaan ABCDE). Di sela – sela suasana riuh tersebut Danin Jati A
melontarkan kata – kata “Gas Pol Rem Pol”
ae!, kemudian dilanjutkan oleh tanggapan teman – teman lainnya, opo kae?, maksud e opo?di gas kenceng mung
di rem kenceng yo mandek to yo…! Lah koyok ngono wae wes artistic tho, tukas
Danin sambil berdiri menirukan gaya pengendara motor yang tubuhnya bergetar dan
bergerak berputar akibat di-gas dan di- rem sekaligus. Apik kae..! Apik kae..! tanggapan beberapa kawan diantara derai
tawa menyaksikan polahnya tersebut.
Setidaknya
ada dua hal yang dapat ditarik dari peristiwa tersebut: Pertama, nilai
pertemanan dan persahabatan. Apabila kita lemparkan pada ruang yang lebih
lebar, bukankah hal ini yang menjadi pondasi dari keguyupan khas seniman
Yogyakarta! Sebab, jenuh rasanya selalu mendengar seniman itu harus seperti
ini, seperti itu, harus bisa ini dan bisa seperti itu. “Ruang canda” (bagi saya)
adalah ruang yang sesungguhnya mencerminkan kemenjadian diri, karena dia
tercipta oleh interaksi/interrelasi-individu yang sederhana, alami, tidak pura
– pura dan apa adanya sehingga individu dapat merefleksikan dirinya melalui
setiap “candaan” ataupun menanggapi “candaan”. Kedua, di balik spontanitas
munculnya ide dan gagasan tentang tajuk pameran ini ada baiknya kita simak apa
yang ditulis oleh Danin Jati A (Gambar berikut ini).
Proses Bung…!
Kembali pada pertanyaan di awal, tentang apa yang akan di buat dan didapatkan
dari sebuah pameran (seni rupa) bersama? Secara umum, sebuah pameran bersama
tentu merangkai keberagaman ekspresi, proyeksi-nya terllihat dari setiap karya
yang diciptakan oleh masing - masing seniman. Secara positif dapat saling
melengkapi, berkompetisi dan mengeksplorasi masing – masing gaya ataupun teknik
tertentu. Terutama pada proses ini, aktivitas penciptaanya berada pada satu
ruang yang sama, termasuk rentang waktu yang telah ditentukan (sebagian besar
seniman yang terlibat dalam pameran ini memilih untuk berproses di Lapak36)
Selaras dengan hal tersebut, saya mencoba memaparkanya ke dalam
beberapa bagian; Bagian pertama saya sebutkan sebagai proses “Respon alam
dengan pola inseminasi”. Kata inseminasi biasa digunakan dalam bidang
peternakan untuk pembuahan pada hewan dengan teknik buatan atau memasukkan
benih jantan ke rahim indukan betina. Kuncinya terletak pada persepsi tentang
rahim (alam) dan tindakkan atau perilaku (proses penciptaan yang dilakukan). Persepsi
ini merujuk pada karya dan proses yang dilakukan Bambang Widarsono (Pink
Forest), Ronal Efendi (Meluruskan Cakrawala dan Mencari Sinyal), Idi Pangestu (Sinar
Desa), Danin Jati A (Turangga Beksa), Aji Yuda Laga (GPMB (Golek Pirang Meter
Bung)), dan Putra Eko Prasetyo (Bijak Air).
Berikutnya adalah; Respon Ruang.
Memperlakukan ruang tidak sekedar
sebagai tempat atau wadah elemen objek, melainkan ruang sebagai konsep visual
yang meng-inisiasi ide dan gagasan, rekreasi dimensi yang tidak terjebak pada
sudut pandang tunggal atau sempit. Seperti yang dilakukan oleh
Merlyna AP dengan karya Kaki Besi, Miftahul Huda (Fragmentasi Tisue), Nur
Hananta (Menunggu Kabar I dan II), Rully Rahim (Pohonku Malang), Stefan Sixio
(Main Bagus dan After Display).
Berbeda dari dua bagian di atas, karya Drajat Wibowo (Makhluk
Tengah Malam), Kartiko Prawiro (Anti Slip), Constantia Rika (Kasih) dan Vani
Hidayatur Rahman (DramaTrees#2) melakukan Imajinasi ruang: yaitu mengandaikan ruang tertentu dan memprediksi hal
apa yang dapat dilakukan terkait kekaryaan seniman untuk atributif-ruang (atau
tujuan lainnya).
Sebelum tulisan ini usai yang menggelitik adalah skema kekaryaan Santi
Saned yang berjudul Sould Out. Dia merespon karya sahabat – sahabatnya dengan
sebuah pita merah, umumnya sebagai tanda apabila karya tersebut terjual saat
pameran. Layaknya sebuah doa yang dihantarkan untuk nilai – nilai kebersamaan,
sekaligus peringatan tentang “harga” yang tidak selalu dilihat dengan mata
uang.
Menarik memang! Dibalik keberagaman skema kekaryaan (bersifat
personal) dan kekayaan “material-karya seni”, tampak jelas bahwasanya kontelasi
spirit yang terkandung dalam pameran ini adalah penekanan terhadap proses
kreatif yang bersifat eksperimental. Dan apabila kita melihatnya dari titik
yang lain, aktivitas ini memiliki daya untuk mengkritisi hingar bingarnya
budaya transaksional yang terjadi dalam dinamika perkembangan seni rupa saat
ini. Perkembangan yang apabila tidak bijak saat melihatnya akan membawa seniman
pada ambivalensi sikap, minimalnya pada komitmen ideologi yang telah dipilih
dan konsistensi. Tentu saya tidak ingin membahas tentang hal tersebut, sebab
dari bentangan 23 karya seni oleh 15 orang seniman ini kita sudah dihantarkan
pada eksotisme-diri dan seni yang sesungguhnya. Cukup dua patah kata, Proses
Bung!.....Spirit Glocalization!
Bayu W