Usap, kau usap setiap jengkal tubuhmu
Menari bersama impian buta
Pandang, kau pandang raut wajahmu
Tersenyum, mengejek cermin yang tak mampu
menandingi kecantikanmu
Raba, kau raba setiap lekuk tubuhmu
Penanda gairah yang mengharap hadirmu
Gerak, kau gerakkan dirimu
Mengejar sejengkal mimpi yang menaungi
hasratmu
Lihat, kau lihat duniamu
Terpaku dan terdiam mengunci kedua bibirmu
Dalam Lontaran takdir yang memasung dirimu
Diantara puji – pujian atas segala kemolekan
dan kecantikan
Yang menjadi tuaian nasibmu.
(Mitologi Tubuh,
Bayu W,
Yogyakarta 18 April 2011)
Tubuh manusia merupakan keseluruhan struktu fisik organisme manusia. Masing-masing
bagian merupakan system organ yang dirancang untuk melakukan fungsi kehidupan
yang esensial. “ Tubuh “ manusia juga dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi dan
komunikasi. Setiap individu meng-ekspresikan dan meng-komunikasikan dirinya
dengan menyampaikan segala yang ada dalam pikiran dan hati. Baik itu kedalam
dirinya sendiri maupun ke “ ruang sosialnya ”.
Tentunya memahami “ tubuh ” tidak berhenti pada titik
tampilan fisik yang menawan saja. Lebih jauh, representasi tubuh setiap
individu merupakan gerbang untuk memahami arti hidup dan kehidupan. Secara individu
langkah awalnya diiringi pertanyaan siapakah aku dan apa tujuan hidupku ? Dan
dalam lingkaran sosial, pertanyaan besarnya berkisar pada fungsi apakah yang
dapat dilakukan untuk membangun kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, mau
tidak mau setiap individu dituntut memiliki pemahaman yang baik akan arti,
tujuan dan fungsi hidupnya, agar dapat memaknai “ tubuh ” dengan elok.
Zaman terus
bergerak dan memunculkan
pandangan - pandangan baru tentang kehidupan, terutama proses memaknainya. Tak
dapat dipungkiri terjadi per-luasan
makna yang mengikuti gerak kehidupan. Terlihat jelas adalah perubahan yang
awalnya untuk memenuhi
kebutuhan
hidup secara individu dan kelompok, di Era ini setiap individu cenderung “ berlari ”
mengejar kesempatan agar dapat memenuhi kebutuhan fisiologi
dan merenggut kepuasan demi aktualisasi diri yang terkadang hanya sebuah
kesenangan. Apabila tidak bijak, terjebak pada jerat kesenangan yang jauh dari
makna aktualisasi diri yang seutuhnya.
Disamping
itu, hasrat selalu menjadi pemenang mengiringi irama kompetitif kehidupan abad
ini. Tak pelak, gaya hidup modern menjadi suatu keharusan meskipun ber-biaya
tinggi. Akibatnya individu mesti bekerja tanpa mengenal waktu dan menjalani
hidup dengan tergopoh - gopoh. Fenomena ini terus menjauh dari bayang kehidupan
yang “tenang dan sederhana”. Meskipun nilai kesederhanaan dan kedamaian hidup
tersebut bersifat subyektif.
Setiap tubuh
manusia menjadi identifikasi, gambaran, dan melewati proses penerimaan individu
terhadap “sosok” dirinya. keberagam bentuk tubuh manusia berfungsi sebagai
pembeda antara satu individu dengan individu lainnya.
Secara
mendasar kebutuhan tubuh adalah kebutuhan fisiologi, setelah itu bagaimana
membangun “ diri “ dalam mengarungi kehidupan. Sayangnya pada abad modern ini
sebagian individu terjebak pada persoalan yang tidak mendasar yaitu “bentuk
tubuh”. Persoalan “tubuh ideal” dapat menjadi persoalan besar yang menggerus
keyakinan dan kestabilan diri individu. Fenomena gaya hidup ini menggeser
pewajatahan nilai – nilai “ke-dalaman pribadi” dengan mengutamakan tampilan fisik.
Dampaknya
terlihat jelas, “ Pesona diri ” dengan kepribadian yang utuh terselimut kabut
tampilan. Lalu drama kehidupan di isi oleh tubuh – tubuh dan muka menawan namun
kelam. Karena dinamika kehidupan yang dibangun oleh pola interaksi antar
individu dipenuhi oleh penilaian baik dan buruk berdasarkan bentuk tubuh dan
tampilan. Bentuk tubuh dan wajah yang kurang ideal tidak lagi memiliki
kesempatan yang sama dalam mengaktualisasikan diri sesuai dengan kapabilitas
dirinya. Sungguh miris, ditengah kerasnya usaha penyatuan atas perbedaan Ras,
Suku, Agama dan Bangsa menjadi satu komunitas dunia yang utuh. Tumbuh satu
penilaian yang meruntuhkan nilai – nilai kesamaan sebagai makhluk yang
ber-label Manusia.
“ Tubuh ”
adalah anugerah, perbedaan bentuknya menjadi warna – warni yang menghiasi
kehidupan manusia. Dan “ ke-dalaman diri ” merupakan pilar utama untuk memaknai
perbedaan tersebut.
Bayu W